Selasa, 17 Desember 2013

Yoga dalam Sivaatrikalpa

Kajian Yoga dalam Siwaratrikalpa

I.                   Pendahuluan
Sastra menurut teori semiotik adalah tanda yang khas. Hasil kreasi orang yang suka mabuk bermain, yakni bermain kata. Tradisi menamai mereka sastrawan, pujangga, penyair atau sang kawi. Permainan katanya baru akan selesai manakala kata telah menjadi wacana yang indah. Sistem bahasa dalam sastra adalah sisem tingkat dua. Oleh karena itu, arti sastra adalah arti dari arti yang lazim disebut makna (Suarka, 2007:55). Keberadaan karya sastra  merupakan hasil kreasi pengarang yang dibangun berdasarkan tiga konvensi:konvensi bahasa, konvensi sastra, konvensi budaya. Konvensi selalu ada tegangan antara tradisi dengan pembaharuan. Maka untuk memahami karya sastra , mau tidak mau harus memperhatikan konvensi dan penyimpangan konvensi yang melingkupi karya yang dikaji ( Yasa, dkk, 2008:4)
Dalam hal ini sastra juga dikenal dengan sebutan basa makulit artinya wacana indah yang mengandung makna berlapis – lapis yang dibangun dan ditata melalui keterpesonaan sang pujangga bermain alamkara “bermain dengan  bahasa” baik sabdaalmkara “bermain dengan bunyi bahasa” atauun juga artalamkara, bagi sang kawi-wiku adalah sarana untuk mencapai kelepasan ( Yasa, dkk, 2008:3)
Kisah Si Lubdaka adalah hasil imajinasi Mpu Tanakung yang digubah lewat kekawin dan memiliki tema-amanat agama-budaya. Kisah ini merupakan rekaman religius peradaban masyarakat yang hidup pada zaman Majapahit. Beliau berusaha membuat kisah yang pemeran utamanya bukan dari kerajaan melainkan masyarakat walaka/biasa. Secara eksplinsif dalam kisah Lubdhaka adalah kisah yang mendramatiskan kehidupan berburu yang secara agama berburu adalah tindakan himsa karma yang secara tegas dilarang oleh ajaran Agama Hindu. Untuk mendapatkan kebahagiaan manusia agar hidup selalu didasari oleh cinta kasih atau ahimsa prinsip hidup tanpa kekerasan. Ahimsa mukhayaning dharma “ahimsa adalah darma yang terutama”.
Himbauan Bhagawan Wararuci, mengajarkan bahwa “ada sepuluh perbuatan dosa”. Karmaphala namanya.(1) dengki pada kepunyaan orang lain (2) benci kepada mahkluk lain (3) tidak menyakini karmaphala, itulah tiga pikiran. (4) berkata jahat (5)berkata kasar (6) berkata fitnah (7) berkata bohong, itulah dosa dari ucapan. (8) membunuh (9) mencuri (10) berzinah, inilah tiga dosa tingkah laku (Saracamuscaya sloka 74-76).
Si Pembunuh jelas tidak mungkin mendapat ke-siwa-an, sebab secara normatif, rahmat-Nya hanya mungkin akan diperoleh dengan kasih. Kasih dalam pikiran adalah kebenaran, kasih dalam perasaan adalah kedamaian, kasih dalam prilaku adalah darma, dan kasih dalam pengertian adalah tanpa kekerasaan. Itulah empat pilar nilai kemanusiaan (Narayana, 1988 :23)
Dengan demikian Si Lubdaka adalah manusia pembunuh itu, lalu memperoleh rahmat Siwa adalah kisah yang naif atau nonsen. Anehnya kenapa selalu dibaca oleh anak nyastra “sastrawan religius Bali” terutama manakala mereka melakukan puja siwaratri. Oleh sebab itu perlu diajukan pertanyaan, adakah kisah Si Lubdaka tersebut bersifat maya “selubung” yakni menyelubungi makna yang sebenarnya?. Jika hal tersebut benar adanya, jalan seperti apa yang Mpu Tanakung tawarkan kepada umat untuk mencapai siwaloka atau kelepasan.

II.                Pembahasan
2.1  Kisah Pemburu Bernama Si Lubdaka
Si Lubdaka adalah manusia rimba, suku terasing wangsa Nisāda. Ia mondok bersama anak, istri, dan wangsanya di tegalan bukit hutan. Mereka hidup sederhana dan penuh suka cita. Nikmat hidupnya dari berburu. Binatang buruannya bukan binatang sembarangan. Ia hanya suka memburu dan membunuh binatang besar, terutama mong “harimau”, wek “babi hutan”, gaja “gajah”, dan warak “badak”.
Pada hari catur dasing kapitu krsna “ hari ke empat belas paro terang sasih ke 7 [bulan Magha]”, dengan pakaian berburunya yang khas : krsnāmbarakancuga “ hitam membiru langit”, ia berangkat berburu menyusuri hutan gunung yang indah ke arah timur laut seorang diri. Banyak asrama yang tidak lagi terawat dan rusak dilewatinya. Sambil terus mendaki menyusuri pedalaman hutan yang indah, ia siaga dengan panahnya mengintai binatang buruan. Tetapi sial, tidak seekor binatang pun muncul. Hari pun sore. Si Lubdaka lapar, haus, dan kelelahan. Walau begitu, ia berfikir. “ tidak ada guna pulang tanpa hasil buruan”. Oleh karena itu, ia terus melanjutkan perburuan. Menjelang malam, tibalah ia di pinggir danau. Ia mamenĕk pang ing maja tĕhĕr manongi talaga “ naik pohon maja dan di cabang pohon itu ia siaga dengan panah memandangi tepian danau mengintip harapannya”. Pikirnya : “ mudah-mudahan ada binatang minum air”. Tetapi sekali lagi ia sial. Malam tiba, kegelapan hutan yang sunyi menakutkannya. Lubdaka mengantuk. Ia takut jatuh dan takut menjadi mangsa binatang buas. Maka ( Wirama Aswalalita, pupuh 5:5) :
Dadi wĕkasan mapet pangalimur harip mata sakeng takut makĕjĕpa,
pinipik ikang rwan ing maja nirartaran tinibakĕn ring wway adalem,
ri dalĕm ikang tataka hana teki rakwa Śiwalingga nora ginawe,
yata kahanan ikang sakala wilwaparna tumibā tanora minaha.
Artinya :
“ kemudian ia berusaha menghibur rasa kantuk dan saking takutnya ketiduran,
dipetiknyalah daun bilwa lalu dijatuhkannya ke air danau yang dalam,
Di dalam danau itu adalah Śiwalingga alami,
Tanpa disengaja Śiwalingga itulah yang ditimpa oleh daun-daun wilwa yang dijatuhkannya”.
Ketika fajar menyingsing, ia pulang dengan tangan kosong. Sore hari, menjelang petang ia tiba di pondoknya. Anak istrinya menyambut kedatangannya dengan rasa sedih dan haru. Istrinya menyuguhkan air dan sedikit nasi. Lalu, Si Lubdaka tidur kelelahan. Hari-hari berikutnya mereka lalui seperti biasa : berburu dan bersenang-senang gurau dan lama kemudian, Si Lubdaka sakit tua lalu mati. Kematiannya ditangisi. Mayatnya bhinasmi tĕlas ing gĕsĕng “dibakar gosong”.
Alkisah, Si Lubdaka Roh sedih melayang-layang di udara. Ia pangling, tidak tahu jalan ke alam baka. Hyang Śiwa mengetahui itu, maka Beliau mengutus para gana “abdinya” untuk menjemputnya. Sabdanya : hanang nisādātma sudhīra ring brata, ika papag denta wawan mare nghulun “ di sana ada Si Lubdaka Roh, orang yang teguh melaksanakan brata. Jemputlah ia, iring ke sini menghadap Aku”. Para gana tercengang dan bingung menerima perintah Bhatāra Śiwa. Mereka berfikir, bagaimana mungkin roh seorang pembunuh bisa masuk Śiwaloka. Maka mereka bertanya penasaran ( Wirama Wangsastha, pupuh 11:8-9) :
....,.....,
mapeki don Hyang mami kĕdwa mamaksakĕn,
tĕka nikang Lubdhakajīwa ghataka,
Apan sajīwanya sadāmati mrga,
samātra tapwan magawe tapabrata,
ndya tĕka donanya tĕkeng Śiwalaya,
kĕnohnya yan mungsira tambra gohmukha.
Artinya :
“......,.......,
Ya Tuhanku, apakah tujuan Anda menghadirkan Si Lubdaka Roh,
roh seorang pembunuh itu ke Śiwaloka.
Kok perintah ini sepertinya dipaksakan.
Padahal, selama hidupnya ia selalu berburu membunuh binatang.
Sama sekali tidak pernah melaksanakan tapabrata.
Lalu, apa manfaatnya ia di Śiwaloka.
Bukankah lebih baik ia dijebloskan ke kawah neraka?”

Untuk menghilangkan keragu-raguan para gana tersebut Śiwa bersabda (Wirama Śārdūlawikridita, pupuh 12:1) :
....,....,
hāh wwantĕn ta ya tang bratenulahakĕnya ndug sĕdĕngnyan dadi,
atyantādhika ning bratanya ta ya kājar de nikang rāt kabeh,
manggĕh ling nikang ādiśāstra Śiwarātripunya tan popama.

Artinya :
“....,...
Oh ya, ada brata yang ia laksanakan ketika masih hidup.
Sangat sempurna caranya melaksanakan brata, itu dipercakapkan oleh masyarakat.
Menurut kitab suci disebut brata Śiwarātri, brata yang penuh berkat,
tiada tanding keutamaannya”.
Demikianlah penjelasan Bhatara Siwa. Para gana puas, lalu berangkat menjemput roh Si Lubdaka dengan kendaraan kebesaran Siwa yang bernama Puspaka. Sementara di Yamaloka, Bhatara Yama, Sang Penegak dharma pun tahun betul siapa Si Lubdaka. Ia adalah pembunuh dan kini telah mati. Atas dasar itu, Beliau mengutus para kingkara”abdi Bhatara Yama”untuk menjemput Si Lubdaka Roh. Perintah-Nya (Wirama Aswalalita pupuh 14:4):
.....,.....
lumarisa mangkatangalapa Lubdhakatma wawanen ya ring Yamapada,
apusanan tan haris-harisen inggal-inggala phalanya dusta satata
Artinya :
“Jemputlah segera Si Lubdhaka Roh. Bawalah ia ke alam Yama. Ikat ia kuat-kuat, berangkatlah segera. Begitulah pahala orang yang selalu berbuat dosa”
Alkisah, Si Lubdhaka Roh kesakitan tak alang-kepalang. Ia diikat dan disiksa oleh prajurit Yama. Tidak beberapa lama datanglah prajurit Siwa. Si Lubdhaka Roh tak urung menjadi rebutan. Karena prajurit Siwa dan prajurit Yama sama kukuh menjalankan perintah tuannya. Akan tetapi, prajurit Siwa lebih digjaya. Prajurit Yama dipukul mundur. Si Lubdhaka Roh dinaikkan ke Puspaka dan diiring dengan perasaan suka ria ke Siwaloka.
Sesampainya di Siwaloka, Si Lubdhaka Roh disambut oleh Hyang Siwa dengan sabda manis membahagiakan (Wirama Ragakusuma, pupuh 29:2-5)
......,.........
Bhagyan prāpta bapangku sang Paramadharma suyaśa atisatya ring brata,
Ngke ngke tāparĕk i nghulun sipi girang mami bapan ri datĕngta ri nghulun.
Nahan donku angutus watĕk gana humundanga kita datĕngeng Śiwalaya, atyanta rĕnangkw denta mamangun brata paramapawitra tan sipi,
mangke pweki nihan tĕmunta phala ning gumaweyakĕn ikang bratādhika, sakweh ning ganasangghya tan hana liwat-liwata ri kita katwangan.
Lawān toh tariman tĕkapta panganugrahan mami ri kita ndatan salah, astwa-nĕmwa śarīra mukhya sahaneng Śiwapada saha ratnapuspaka, mukhyang astagunādi pada kasraha ri kita lawan trilocana.
Salwir ning warabhūsanārja maka bhūsana mami ya ta kawwate kita. Kantĕnanya tanora bheda ni hawakta lawan iki sarīra ni nghulun,
Sāsing ramya niking Śiwālaya kiteka wihikana mamuktya tan waneh,
Yawat panca mahādhibhūta salawasnyan inajarakĕn ing jagattraya, tāwat mangkana tekihĕn lawas ananta tumĕmu suka ring Śiwalaya.
Artinya :
“selamat datang anak-Ku, berbahagialah, Ananda adalah pengamal dharma yang utama, penuh jasa, sangat teguh melaksanakan brata.
Mari-mari mendekatlah, Aku sangat bahagia menyambut kehadiranmu, Nah, beginilah maksud-Ku mengutus para gana menjemputmu untuk diajak datang ke Śiwaloka.
Hatiku sangat senang, oleh karena Ananda telah melaksanakan brata yang sangat utama yang penuh berkah itu.
Nah sekarang terimalah berkah-Ku, karena Ananda telah berhasil melaksanakan brata yang utama.
Semua prajurit-Ku, para gana itu tidak akan ada yang berani lancang melangkahimu. Kini, Ananda komandan yang patut mereka hormati.
Dan ini, terimalah anugrah-Ku, hanya kepadamu tidak ada yang lain.
Semoga engkau mendapatkan wujud mulia, segala yang mulia, juga kendaraan puspaka yang berlimpah mutumanikam, di Śiwaloka.
Juga yang sangat utama, yakni las_aguna: anima dan yang lainnya, begitu juga trilocana, semua itu Aku serahkan kepadamu.
Karena kenyataannya, tidak ada bedanya dirimu dengan ini didiriku.
Segala yang indah yang ada di Śiwaloka engkaulah yang berhak menikmati, tiada yang lain.
Selama Pancamahābhuta dipelajari orang di jagat raya, selama itulah Ananda dapat menikmati rasa bahagia di Śiwalaya” 
Sementara di Yamaloka, prajurit kingkara melaporkan segala kisah derita yang barusan mereka alami kepada Bha_āra Yama. Si Lubdhaka Roh telah direbut paksa oleh para gana dan telah diiring dengan tanda kebesaran ke Śiwaloka. Mendengar itu Yama terkenyak heran dan marah. Dharmanya merasa dilecehkan. Yang melecehkan justru Bha_āra Śiwa, Sang Jungjungan yang telah memeberinya wewenang sebagai penegak dharma. Katanya “Ada apa gerangan. Bagaimana mungkin ini terjadi. Ini melanggar dharma “hukum”. Ia yang berbuat baik masuk sorga. Sebaliknya, ia yang berbuat jahat pantas masuk neraka. Si Lubdhaka jelas pembunuh. Karena itu, ia adalah orang jahat dan karena itu pantas masuk neraka. Tetapi kok dimuliakan di Śiwaloka? Ini aneh, ini penyimpangan. Aku tidak puas. Aku belum bisa terima. Aku ingin tahu alasannya”. Maka, Bhatara Yama bergegas ke pucak Gunung Kailasa menghadap Bha_āra Śiwa.
Bhatara Yama, setelah tiba di hadapan Bhatara Śiwa  menghaturkan pujastuti. Śiwa tahu maksud kedatangan Yama. Oleh karena itu Bhātara Śiwa kembali menjelaskan mengapa Si Lubdhaka Roh mendapat pahala ke-Śiwa-an. Mendengar wejangan Śiwa, Yama puas lalu kembali ke alamnya.
Setelah kepergian Yama, Bhatāri Giriputri yang sedari tadi diam penuh perhatian mendengarkan sabda Bhatāra Śiwa, lalu bertanya : “Ya jungjungan-Ku, bagaimana cara melaksanakan brata Śiwaratri (Śiwarajani) yang penuh berkah itu?” Maka, Śiwa pun menjelaskannya dan Mpu Tanakung mencatat penjelasan itu dengan Wirama Jagatnatha (pupuh 37) dalam Kakawin Śiwaratrikalpa dalam 9 bait. 

2.2.  Makna Estetik - Religius Laku Hidup Si Lubdhaka
Mpu Tanakung berkata: “wruh ngwang nisphala ning mango jenek alanglang I kalangen ikang pasir wukir”. Terjemahan : Aku tahu, percuma saja menikmati keindahan, jika hanya melanglang buana lalu terpesona menikmati keindahan pemandangan pesisir-gunung. Dengan wacana itu, Mpu Tanakung boleh jadi ingin menyapa kita, para pembaca: “Percuma saja anda menikmati lapis-lapis kulitnya saja yang berupa wirama, jalan cerita, dan permainan bunyi atau kata-kata yang membangun kekawin ku itu. Hikmah Siwaratri baru mungkin tersingkap manakala anda berhasil mengupas lapis-lapis tanda yang aku narasikan menjadi kisah Si Lubdhaka. Dan apabila anda ingin tahu kedalaman makna kisah ini, inilah manggala “syair kunci” berirama Ragakusuma “kembang rasa asmara” untuk membuka tabir tanda-tanda bermakna yang aku narasikan itu”. Mpu Tanakung lalu bersenandung:
Sang Hyang ning Hyang amurtti niskala sirati-kinenyep ing akabwatan lango,
sthulakara sira pratisthita haneng hrdaya kamala Madhya nityasa,
dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana,
nghing pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana tulusa digjayeng lango.
Artinya :
Dewatanya para dewa yang berwujud niskala, Beliaulah yang sesungguhnya selalu menjadi pusat renunganku dalam mencari pengalaman estetik-religius. Namun dalam wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam padma hatiku. Untuk itu, (pada hari suci Siwaratri) aku melakukan dhyana, stuti, kutamantra, japa dan mudra. Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah Beliau berkenan menganugrahi aku jaya dalam pengalaman estetik-religius.
Menurut Rasti, dkk (2004: 35 - 41), cerita Lubdhaka memiliki makna di dalamnya. Dalam bahasa Sanskerta lubdhaka berarti pemburu. Dikatakan bahwa semua manusia adalah pemburu. Ada yang berburu dharma, ada yang berburu artha, ada yang berburu kama. Secara umum pemburu diartikan sebagai orang yang selalu mengejar buruan, yaitu binatang (sattwa). Kata sattwa berasal dari kata Sat yang artinya inti yang mulai atau hakekat, sedangkan twa berarti sifat. Jadi kata sattwa berarti sifat inti atau hakekat. Dengan demikian, nama Lubdhaka melukiskan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
Mengenai hakekat hidup, apabila dikaji secara filosofis-religius, hidup mengandung makna kesempatan untuk berkarma, malah dalam kitab suci Reg  Weda disebutkan, “Tuhan hanya mau menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri dan bekerja keras yangdilandasi oleh dharma”. Tujuan segala macam karma itu adalah pembebasan diri dari perputaran punarbhawa, sehingga bisa mencapai moksa. Dengan demikian tujuan hidup ini adalah agar tidak hidup lagi dalam artian bersatu dengan Sang Pencipta.
Dengan memakai tokoh seorang rakyat miskin yang selalu melakukan perbuatan membunuh (himsa karma), mengisyaratkan bahwa siapapun dapat bertobat. Semua orang pasti pernah berbuat salah. Kenyataan ini juga menyadarkan kita kita agar tidak putus asa, untuk kembali ke jalan dharma. pintu dharma selalu terbuka lebar bagi siapa saja yang sadar akan dosa-dosanya. Dalam kekawin Nitisastra disebutkan,”… tan hana satru manglewihaning ana geleng ri ati”. Artinya tidak ada musuh melebihi musuh yang menyelinap di dalam hati. Sedangkan dalam kekawin Ramayana disebutkan, “Ragadi musuh mapara ri hati ya tonggwania tan madoh ring awak.” Artinya raga (nafsu) adalah musuh utama, di hati tempatnya tidak jauh dari badan. Musuh-musuh dalam hati tersebut meliputi: nafsu (kama), kerakusan (lobha), kemarahan (krodha), kebingungan (moha), kemabukan (mada), dan irihati (matsarya). Keenam musuh tersenuit disebut dengan Sad Ripu.
Watra (2007:13-14) yang menguraikan bahwa Nama Lubdhaka adalah nama kiasan mendekati arti kata pemburu (bahasa Sanskerta). Pemburu dilukiskan dengan binatang (sifat binatang yang sudah diruwat disebut Sattwa). Secara etimologis Sattwa berasal dari kata “Sat” (Roh Tunggal) yang identik dengan hakekat Brahman, kalau di bhuana alit disebut dengan atman. Sedangkan “twa” berarti sifta mendekati keburukan atau sering disebut “binatang” (perilaku seperti binatang), kalau di bhuana alit disebut Triguna (Sattwam, Rajas, Tamas). Disinilah manusia secara universal, tidak saja agama Hindu harus melakukan tindakan-tindakan preventif, yang disimbolkan “mejagra” semalam suntuk. Tetapi arti sesungguhnya secara universal hati-hati terhadap gejala buruk yang disebabkan oleh Alam, dan secara individu berhati-hatilah bisa selamat dengan pengaruh alam tersebut, dan jika dikaitkan dengan realitas manusia maka hati-hatilah menggunakan Tri Guna, agar bisa selamat selama menjalani hidup ini yaitu damai dan sejahtera sampai menjelang menyatu dengan-Nya.
Sedangkan Yasa dalam Atmaja, (2009: 50-59) menguraikan tentang makna dari cerita Lubdhaka dari perspektif yoga meliputi:
Tanda
Kemungkinan Arti dan makna
Si Lubdhaka mondok di hutan, hidup sederhana bersama anak dan istrinya
Prototipe orang mondok mengingatkan kita kepada sebuah pertapaan. Si Lubdhaka berarti seorang pertapa. Kebiasaan pertapa adalah hidup menyepi. Membiasakan diri hidup sederhana dengan mengasingkan diri ke tempat-tempat sepi dengan cara mondok di hutan atau pinggir pantai adalah laku hidup aparigraha.
Kebiasaan hidupnya adalah berburu binatang tepilih: mong “harimau” wek “babi hutan”, gaja”gajah”, dan warak “warak”.
Memburu dalam arti berusaha mengendalikan atau melenyapkan sifat-sifat binatang yang ada dalam diri. Binatang adalah lambang dari sifat rajas,”egois, keakuan” dan tamas “malas, suka nikmat seksual, kepemilikan” yang menyebabkan orang berlumur dosa yang disebut trimala: a. kasmala “melakukan perbuatan hina; membunuh, mencuri, dan berzina”, b. mada “mabuk karena merasa: cantik, kaya, pandai, bangsawan atau kedudukan, sakti, minum, dan berani”. dan c. moha “kebingungan karena kama (penuh nafsu)”, krodha (pemarah), mada (pemabuk), matsarya (iri hati). dan lobha (tamak) dan berusaha menaklukkan pancaklesa “binatang buas yang hidup dalam diri manusia” berusaha merupakan laku hidup tapah yakni usaha sungguh – sungguh ingin menaklukkan musuh yang paling buas yang ada dalam diri.
Suatu kali ia berangkat berburu pada catrudasing kapitu krsna
Waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan dikatakan memiliki 16 kala “kekuatan duniawi”.  1+6 = 7 kemungkinan merupakan simbolik dari sapta timira, dan pada hari panglong hari ke 14 pro kemungkinan 1+4 = 5 merupakan panca indrya, terang ini bulan telah kehilangan 14 kala “daya pesona duniawinya”. Dan pada hari ini hanya tinggal 2 kala “kekuatan duniawi” lagi. Oleh karena itu, para guru suci penganut paham Siwa menganjurkan para peminat pengalaman spiritual untuk lebih meningkatkan usaha spiritualnya pada purwani Tilem. Karena pada hari dimaksud para pemburu pengalaman religius hanya perlu mengalahkan 2 kala “nafsu duniawi” lagi. Dua kala itu adalah kala yang palig kuat diantara 14 kala yang lainnya. Bila mampu mengalahkannya, maka diyakini rahmat Siwa akan turun berupa pencerahan rohani: memiliki pengetahuan spiritual dan berbahagia. Dua kala yang dimaksud adalah raga atau kama “nafsu birahi, keakuan” dan dwesa “kebencian, kepemilikan”
Pagi hari memakai pakaian hitam kebiru-biruan
Pakaian khas kebesaran Majapahit. Pagi hari disebut brahma muhurta “hari Brahman”, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja Tuhan. Dapat dibandingkan dengan kebiasaan pendeta di Bali yang melakukan upacara Nyurya sewana, memuja Bhatara Siwa raditya tepat ketika mata hari baru terbit di ufuk timur.
Berjalan sendirian
Mengikuti jalan yang disebut nirwrtti marga, jalan spiritual bagi seorang pertapa atau jnanin. Karena berangkat sendirian berarti tidak ada teman bicara, berarti monabrata atau tidak bicara.
Siaga membawa panah
Panah merupakan lambang pikiran, maka dapat dikatakan bahwa ini merupakan pemusatan pikiran, bekontemplasi
Ke arah timur laut
Kiblat suci yang merupakan sandi dari kiblat Utara simbol ratri “malam, gelap, hitam” dengan kiblat Timur simbol Siwa atau Iswara “siang, terang, putih”. Boleh jadi juga simbol sandi antara paham sakti dengan paham siwa. Mengingat, Siwa-sakti: tantrisme yang kuat pengaruhnya di zaman jayanya Hindu di Jawa dan Bali. Dalam konteks ini pada zaman Majapahit.
Selama perjalanan ia menjumpai banyak tempat suci rusak dan tidak berpenghuni lagi
Membayangkan situasi politik dan kehidupan religius di akhir zaman Majapahit.
Tidak seekor binatang buruan  pun yang didapatkan di hari itu
Ego “sifat binatang” sang pertapa sudah tidak diketemukannya lagi di dalam dirinya. Artinya, sang pertapa telah berhasil mengalahkan keakuan dan rasa kepemilikannya
Tidak terasa, senjakala pun tiba “malam”
Senja kala adalah hari sandi antara terang dengan gelap yang menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu pertapa harus lebih awas dengan meningkatkan kesadaran spiritualnya. Malam dalam rangka yoga menandakan gelap bhatin karena pengaruh panca klesa atau lima rintangan dalam pikiran yang menyebabkan kekhawatiran.
Naik pohon wilwa “bila, maja” yang tumbuh di pinggir danau. Si situ ia duduk di camping pohon itu dan bergadang.
Untuk tidak dikuasai klesa Si Lubdhaka naik pohon Bilwa di campangnya duduk dengan nyaman. Begadang berarti meningkatkan kesadaran dengan jalan meditasi untuk memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Sadar berarti jagra. Pohon maja adalah lambang tulang punggung yang secara spiritual di dalamnya terdapat cakra-cakra (yang terkenal sapta cakra) “simpul-simpul spiritual yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan”. Duduk nyaman berarti sikap asana atau duduk di camping pohon boleh jadi melambangkan titik kosentrasi, yakni pada titik meditasi di tengah-tengah antara otak kiri dan otak kanan, yakni di otak tengah. Otak kiri berkaitan dengan rasio dengn cara berpikir linier, sedangkan otak kanan berkaitan dengan rasa dengan cara berpikir asosiatif. Sementara di otak  tengah atau pusat berkaitan dengan hal yang bersifat spiritual dengan cara berpikir transformatif, integratif, dan holistik (Sumardjo, 2007: 55-63), harmoni antara rasio dan rasa, bijaksana.
Naik pohon boleh jadi juga melambangkan bangkitnya daya sakti yang disebut Kundalini sang pertapa, yakni manakala ia telah berhasil melenyapkan rasa keakuan dan kepemilikan dari dalam dirinya. Naik dimaksud adalah naiknya daya sakti dari muladara cakra “simpul rohani yang berada di dalam tulang ekor” melalui cakra-cakra di atasnya menuju ke sahasra cakra “simpul rohani yang ada di atas ubun-ubun”.
Ranau “Danau”
Yoni adalah lambang Sakti atau Dewi saktinya Siwa, lambang kesuburan
Di tengah danau itu ada Siwalingga “nora ginawe” Batu berdiri sendiri
Lingga adalam lambang Siwa. Kata nora ginawe mengisyaratkan sifat alami atau abadi; Siva adalah realitas yang abadi. Tidak dibuat, karena segala yang dibuat sifatnya tidak abadi; lambang kesadaran. Siwalingga inilah yang menjadi pusat kosentrasi dalam proses dharana hingga samadhi.
Pinipik ikang rwani ing maja “memetik daun maja” sampai fajar menyingsing, semua daun maja jatuh mengenai Siwalingga, tidak dengan sengaja.
Kata pinipik “dipetik” menyarankan makna memetik sari ajaran Siwa. Kata rwan atau ron atau don “berarti daun  dapat juga berarti tujuan” dirangkai dengan maja “daun maja (wilwa, atau bodi)” melambangkan kesadaran. Dengan demikian artinya sang pertapa selalu berusaha memetik sari ajaran untuk memperoleh kesadaran. Memetik satu persatu daun bilwa, artinya secara sistematis dari satu tataran ke tataran lainnya dalam melakukan yoga atau dapat diasosiasikan tahap asana hingga mencapai samadhi dengan bersatunya ibu kundalini dengan sahasrara cakra. Daun ini juga melambangkan berbagai jenis keinginan, itulah yang ia petik dari objek kesukaannya lalu dikosentrasikan ke danau. Daun di jatuhkan ke danau artinya Lubdhaka melakukan dhyana. Danau boleh jadi lambang hredaya “hati nurani” atau anahata cakra. Subjek yang bermeditasi ada di ajna cakra sedangkan objek meditasinya ada di anahata cakra. Tuhan yang berwaktulah yang ia stanakan dalam padma hatinya yaitu anahata cakra. Hingga daun itu mengena lingga, artinya Lubdhaka mengkontemplasikan pikiran dengan melakukan mudra, stuti dan japa. Dalam konteks inilah jagrabrata diberi makna, yakni olah kesadaran (budhi) dengan mempelajari Siwa tattwa (ajaran hakikat ketuhanan) sampai akhirnya ia mencapai pencerahan rohani. Oleh karena itu, tujuan olah budi (wilwa, maja) yang disarankan Mpu Tanakung haruslah dipusatkan atau dijatuhkan kepada Siwalingga. Artinya, hanya terpusat kepada Tuhan. Dengan demikian dapatlah akhirnya dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakan bahwa jagabrata (juga mona dan upawasa); mahaprabhawa nikanang brata pangalimur kadusta-kuhaka, satata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat “Sangat manjur kegunaan brata Siwaratri: upawasa-mona-jagabrata itu untuk meruwat sifat dusta dan keji; (a) tidak beramal sedekah, (b) tidak berbuat jasa, (c) tidak berbuat bajik, (d) tidak mengendalikan diri. Perilaku dusta dan keji itulah sesungguhnya kasmala “dosa”
Cara meruat dosa itu adalah dengan melakukan: (a) dhyana “meditasi”, (b) melagukan stuti “syair-syair pujian” (c) merafal kutamantra “formula, mantra, mantra puncak”: (d) melakukan japa “mengucapkan nama Tuhan secara berulang menurut hitungan yang ditentukan; (e) melakukan mudra “gerak jari yang khas seperti yang dilakukan oleh para sulinggih ketika memuja, termasuk di dalamnya melakukan asana dan pranayama” (Zoedmulder, 1995). Dhyana “meditasi” mencapai samadhi “kemanunggalan, tidak diperoleh secara sengaja, tetapi spontan. Karena kata orang suci dalam keadaan itu rasio dan perasaan tidak berfungsi lagi. Hal ini dilakukan hingga fajar menyingsing, artinya Lubdhaka berhasil mencapai pencerahan spiritual, berkah hari suci Siwaratri, karena berhasil mengalahkan kala “waktu malam” : pancaklesa
Setelah fajar Lubdhaka turun dan pulang dan tiba di pondok sore hari menjelang petang (hari Tilem)
Kembali dari perjalanan suci yang dilakukan selama dua hari satu malam: 36 jam. Dalam artian telah lampu dari kesunyian dan melakoni hidup sebagaimana biasanya.
Setibanya di pondok Si Lubdhaka baru makan
Mengisyaratkan laku upawasa “puasa tidak makan dan tidak minum” selama 36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, dari purwani Tilem sampai besok senja kala hari ke 15, Tilem,
Si Lubdhaka tua, sakit lalu mati. kematiannya ditangisi
Lubdhaka adalah orang yang dicintai. Dicintai karena ia orang baik, berjasa kepada keluarga dan warganya. Tanpa itu tidak mungkin ia ditangisi.
Si Lubdhaka Roh diikat dan disiksa oleh prajurit Yama; para Kingkara
Bagaimanapun baik dan berjasanya orang sekali waktu tentu pernah berbuat dosa. Sesuai dengan hukum karma, setiap perbuatan pasti berpahala. Karma buruk menerima siksaan dan keterikatan.; neraka. Hal ini dapat dibandingkan dengan kisah Yudistira dalam Swargarohanika Parwa. Bagi yang sedikit dosanya terlebih dahulu mendapat siksa; neraka. Baru kemudian menikmati pahala baiknya; sorga.
Si Lubdhaka roh direbut pasukan Yama, lalu didudukkan dalam kendaraan Siwa yang bernama Puspaka dan diiring ke Siwaloka. Di sana ia mendapat berkah keSiwa-an; sama dengan Siwa
Sebaliknya karma baik mendapat pahala masuk Siwaloka; mendapatkan rahmat penampakan Tuhan; mencapai moksa “kebebasan”. Dikatakan ada empat kebebasan:
1.      Salokyamukthi, yakni bilamana orang dapat merasakan kehadiran Tuhan dimana pun ia berada
2.      Lebih utama dari salokyamukthi adalah samipyamukthi, yakni manakala orang dapat merasakan bahwa segala sesuatu sebagai perwujudan kemuliaan Tuhan,
3.      Sarupyamukthi, yakni hidup dalam kehadiran Tuhan yang tiada putusnya, selalu menyaksikan kemuliaan Tuhan dan diliputi oleh kesadaraan Tuhan dimana pun ia berada
4.      Sayujnamukthi disebut juga ekanthamukthi adalah kesadaran tertinggi, yakni hanya bila rasa perbedaan lenyap, keadaan manunggal tercapai. Dikatakan bahwa tingkat kesadaran ini hanya dapat dicapai dengan rahmat Tuhan (Narayana dalam Kasturi, tt: 62). Lubdhaka mendapat anugrah ini, mengingat sabda Bhatara Siwa: “tanora bheda ni hawakta lawan iki sarira ni nghulun” “tiada bedanya dirimu dengan diri-Ku ini”.


2.3     Siwa & Maya Tattwa : Paham Ketuhanan dan Yoga Mpu Tanakung
Kakawin siwaratri mengandung dua persoalan hidup yang bersifat paradoks. Masalah paradoks yang dimaksud adalah pasangan beroposisi antara siwa dengan ratri, secara teologis siwaistis disebut Bhatara Siwa personifikasi azas Siwa tattwa dengan Bhatara Uma personifikasi azas maya tattwa atau sering juga disebut sebagai Siwa-sakti (Yasa, dkk, 2008 :30-31). Kata Siwa, berasal dari bahasa sanskerta yang berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan untuk salah satu menifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bergelar Sang Siwa. Dalam fungsi beliau sebagai pe-mralina atau pelebur segala yang patut dilebur (ke-papaan) atau diprelina untuk mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan yang bahagia. Ratri artinya malam, malam disini dimaksudkan kegelapan. Jadi siwaratri artinya malam untuk melebur atau memralina (meleyapkan) kegelapan hati menuju jalan yang terang (Sudharta, 1992 :6). Dalam masalah paradoks atau oposisi biner atau rwabhineda adalah hidup seorang manusia. Manusia dikatakan terlahir setengah dewa setengah bhuta. Siwa menandakan idealis yang niskala, sementara sakti menandakan yang realis yang sakala.
Dalam pokok narasi menggala “kepala syair” kakawin Siwalatrikalpa,
Sang hyang ning hyang amurti niskala sirati-kinenyep ing akabwatan lango
Sthulakara sira pratisthita haneng hrdaya kamala nityasa
Dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana
Nghing pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana tulusa digjayeng lango
Artinya :
Dewatanya para dewa yag berwujud niskala, Beliaulah yang sesungguhnya selalu menjadi pusat renunangku dalam mencari pengalaman estetik- religius.
Namun dalam wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam padma hatiku
Untuk itu, (pada hari suci siwaratri) aku melakukan dhyana, stuti, kutamantra, japa, dan mudra. Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah Beliau berkenan menganugrahi aku jaya dalam pengalaman estetik-religius.
Mpu Tanakung bermaksud menghimbau kita agar gemar berburu sattwa. Kata sattwa berarti mahkluk hidup atau binatang dapat juga berarti sifat murni atau kebaikan (Zoetmulder, 1995 :1056). Arti kedualah yang yang lebih dipacu untuk diburu, yakni berburu kebajikan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan digjayeng lango kejayaan hidup :hidup bahagia”. Pengalaman hidup bahagia adalah pengalaman estetik yakni indahnya akrab dengan lingkungan hidup. Pengalaman estetik selain sebagai tujuan juga sebagai sarana untuk muktang klesa ”melebur papa, dosa”. Dengan leburnya papa berarti dapat muliheng nirasraya “mencapai pengalaman religius, kembali ke alam kelepasan” (Yasa, dkk, 2008:35).
Mpu Tanakung disebut laku Yoga sastra dalam usahanya menciptakan Tuhan yang tak berwujud ke Tuhan yang berwujud. Kenapa demikian ? karena bagaimanapun juga, terefleksi bahwa pikiran manusia cendrung terikat oleh namarupa “nama dan bentuk”. Wujud yang paling mengikat manusia adalah badan jasmani, diri kita sendiri. Oleh karena itu Mpu Tanakung memilih wujud untu dipakai umpan memancing pikiran. Tujuannya agar pikiran mudah dikonsentrasikan, ditarik dan dikontemplasikan. Akan tetapi kini wujud sebagai umpan memancing bukan duniawi tetapi wujud Ilahi. Ia yang transenden dimaksud adalah tujuan terutama yang sesungguhnya diburu oleh Mpu Tanakung melalui yoga sastra “kontemplasi melalui sarana dan jalan seni bahasa. Yang dimaksud mencapai tujuan adalah menemukan-menghayati dan mengalami ke-siwa-an “kebenaran-kebajikan-keindahan”. Akan tetapi , Mpu Tanakung menyadari betul bahwa Ia yang transenden ini tan kagrahita dening manah mwang indriya “tidak dapat dipikirkan dan dirasakan”. Sehingga hal itu sangat sulit dicapai. Sarat pencapaiannya adalah diam total dalam yoga samadhi “kemanunggalan”. Diam total berarti tidak bergerak, tidak berpikir, dan sekaligus tidak dirasakan. Keadaan diam yang dalam hal ini adalah keadaan yang paradoks dengan kemanusiannya manusia (Yasa, dkk, 2008:36).
Sekali lagi, kemanusian Mpu Tanakung yang kreatif itulah yang menjadi alasan mengapa ia lebih memilih menghadirkan Tuhannya turun ke tataran manusia dengan sifat – sifat-Nya, yang manusia dewa, yakni dalam wujud-Nya yang sekala-niskala “nyata-rohani”,; berpribadi dan praktis. Stulakara sira prathistita haneng hrdaya kamala madhya nityasa “namun dalam rangka cipta sastra, wujud-Nya yang berpribadilah yang aku pilih. Aku muliakan Ia sebagai Tuhan yang bertahta di hati sanubariku yang bagaikan kembang padma ini. Proses Tuhan turun ke tataran manusia inilah disebut tantris. Proses sakral yang dinarasikan dalam kakawinnya ditandai dengan pembayangan konsep sandhi “pertemuan” kiblat, yakni membayangkan pergeseran kiblat timur bergeser ke Utara dan kiblat Utara bergeser ke timur. Pada satu titik tengah yaitu antara timur dengan utara terjadilah perkawinan kosmis. Perkawinan ini disebut lila “permainan” Tuhan yang membuahkan segala yang menjadi (Yasa, dkk, 2008:37).
Tuhan yang sagunalah yang dimohon oleh Mpu Tanakung untuk hadir. Keberhasilan menghadirkan Tuhan dalam hati sanubari berarti berhasl mendapatkan taksu. Taksu sebagai hasil yoga sastra adalah daya pengalaman estetik-religius “digjayeng lango”. Laku yoga sastra oleh Mpu Tanakung adalah laku seorang bakta”abdi yang tulus” yang suka mewirama-kan kakawin cetusan nuraninya. Tokoh yang dihadirkan oleh Mpu Tanakung adalah tokoh inkonvensional yakni tokh jelata, seorang pemburu dari suku terasing dan miskin diberinama lubdhaka. Puncaka senandung sujud baktinya dapat kita nikmati kembali dalam narsi cerila Si Lubdahka. Disitu terdapat dua syair Raga Kusuma (pupuh 33) :
Om sembah ning anasraye carana pengkaja bhuwanapatiki tinghali,
Wahyawahya panembahi ngwang i kiteka satata kinabhaktyam i ghulun,
Byaktabyakta kiteng sarat kita hurip ning ahurip agawe halahayu,
Sang manggeh pinakesti ning mahaling manah anilaraken dasendriya.
Ring diksadi nirwty atita pinakartanika kita wisesa tan kalen,
Yan ring weda kitawak ing pranawa mantra taya lewiha len saka kita,
Murtyamurti kitatisuksma saka ring tanu kita maganal sakeng angong
Munggw ing sthawara janggamadi kita kewala paran angungsi sunyata.
Artinya :
Om, sembah hamba yang tiada berpelindung ini pada kaki padma-Mu Hyang Bhuwanapati, saksikanlah
Lahir-batin sujud bhakti hamba kepada-Mu
Engkaulah satu-satunya Tuhan yang selalu hamba puja
Engkau nyata-tidak nyata di dunia ini.
Engkau jiwa dari yang hidup
Engkaulah pencipta baik-buruk
Engkaulah yang langgeng menjadi pusat renungan, yang menyucikan pikiran, yang meleyapkan sepuluh nafsu.
Dalam diksa dan yang lainnya, dalam nirwrti, dari awal sampai akhir,
Engkaulah penguasa tiada lain
Dalam weda engkau berwujud pranawa mantra, tidak ada yang lebih utama dari-Mu, Tuhanku.
Engkau berwujud tak berwujud, engkau sangat sukma, engkau jiwa dalam badan
Engkau lebih besar dari yang besar
Engkau ada pada tumbuh-tumbuhan, binatang dan yang lainnya
Engkaulah yang menjadi tujuan orang yang mencari sunyata
(Yasa, dkk, 2008:40).
Dalam cerita Si Lubdhaka, dua syair tersebut adalah pujastusti Bhatara Yama kepada Bhatara Siwa. Dalam dua syair tersebut tampak terangkum pandangan dunia dan orientasi estetik-spiritual sang penyair yang berusaha menghadirkan Tuhan dari tataran wasistadvaita ke tataran Tuhan dwaita. Agar berkenan hadir berstana dalam hati sanubari, mewahyukan diri-Nya ke luar dari badan sang pujangga. Sehingga dengan demikian, Ia dapat menikmati sebagai sebuah drama hidup laku (kaula-gusti) (Yasa, dkk, 2008:41).
Sang Hyang Bhuwanapati “sang penguasa jagat, yang mahasuci” yang dipuja Mpu Tanakung. Ia tiada lain adalah yang keberadaannya (2) byaktabyakta “nyata-tidak nyata”. Di dunia ini Ia adalah hurip ing ahurip “jiwa dari yang hidup” (4) yang agawe halahayu membuat “baik-buruk”. Sang manggeh “yang langgeng”. Yang pinakesti ning mahalilang manah “menyucikan pikiran”. (6) yang ani laraken dasendrya “menghilangkan sepuluh nafsu duniawi”. Bagi penganut diksadi yang juga disebut prawrti marga “penganut agama yang lebih mementingkan ritual dan pengamut nirwrti marga “penganut agama yang lebih mengutamakan tatwa, jnana yoga pengetahuan spiritual dan laku mistik”. Ia adalah wisesa “tuhan yang mahakuasa”; (8) inti weda “pengetahuan suci” yaitu Om, yakni pranawa mantra “mantra yang paling utama”. Keberadaan-Nya murtyamurti “berwujud tak berwujud”, antisuksma “sangat halus” dan saka ring tanu “tiang peyangga dalam badan”, yang ada pada sthwara janggamadi “tumbuh – tumbuhan, binatang dan mahkluk lain”. Sehingga paran ing angungsi sunyata “dituju oleh orang yang memburu kesunyatan, kelepasan”, demikianlah rasa ni de niranujaraken stawa ri suku Bhatara Sangkara “rasa yang dilagukan oleh Bhatara Yama sebagai gita-puja yang dipersembahkan pada kaki padma Bhatara Sangkara (Siwa) (Yasa, dkk, 2008:43-44).
Dihadapan Tuhan Ia adalah abdi yang anasraya “merasa tak berpelindung”, maka asraya  “mohon belas kasihan” dengan cara memuja yang etis di carana pangkaja bhuwanapati “kaki padma Sang Hyang penguasa semesta”. Sembahyanya adalah bakti tulus wahyawahya “lahir-batin”. Disitu, dalam syair dilukiskan dua pribadi : (1) pribadi kecil yang memuja: Bhatara Yama (Mpu Tanakung yang merasakan dirinya kecil dan tak berarti di hadapan Tuhan) (2) pribadi agung: Sang Bhuwanapati atau Bhatara Siwa, dihayati esa, purna dalam keagungan-Nya (Yasa, dkk, 2008: 41).
Ya Tuhan aku ini abdi-Mu, hal ini terus diucapkan, Tuhan dihayati Mahahadir di hatinya. Kapanpun Ia pergi, dimanapun ia berada, ketika apapun yang ia lakukan. Itulah keyakinan yang praktis bagi Mpu Tanakung. Praktis, karena tidak menyebabkan dirinya pangling. Oleh karena itu, ia dapat diam kontemplatif. Diam dalam kondisi yoga seperti yang disarankan oleh baris ketiga bait manggala. Tuhan tidak lagi dihayati berada diluar dirinya. Tuhan tidak lagi beranjak dalam dirinya tetapi kini, Tuhan telah menyatu dalam dirinya, dan disitu selalu dirasakan nyata hadir. Hadir dalam hatinya (Yasa, dkk, 2008:42)
Menjadi seorang bakta atau menjadi sang kawi-wiku yang tulus sangatlah sulit. Perintang utamanya adalah diri sendiri yang khilap dan silau oleh pesona duniawi. Hilap karena tidak tahu, bahwa Sang Ego adalah siluman yang menyelinap bertahta dalam hati, lalu kita serta merta mendewakannya. Inilah penghalang utama bernama Sang Ego adalah mehkluk jejadian. Ia adalah penjelmaan enam emosi yang disebut sadwarga, kama, krodha, lobha, mada,moha dan irsya.  Inilah musuh yang paling berbahaya, yang ada dalam diri manusia. Ini juga tantangan terbesar manusia untuk akhirnya dapat menyatu dengan Sang pencipta. Sang Ego yang dimanjakan menjadi raja dalam diri, yang akan menjerumuskan orang dalam dosa, papa (Yasa, dkk, 2008:48-49).
Mpu Tanakung memandang Sang Ego sebgai musuh diri, sebagai mahkluk yang bersifat binatang. Oleh karena itu, Sang Ego dilukiskan dalam sastranya sebagai binatang. Tidak sembarang binatang, tetapi binatang buas, besar, binatang berbisa. Ia yang tidak jagra ”waspada” akan keberadaannya tentu akan menjadi korban keganasannya (Yasa, dkk, 2008:49).
Kini jelaslah makna pesan orang bijak Mpu Tanakung, pun orang bijak lainnya. Bahwa derita yang kini kita alami adalah suatu ambisi kita yang berlebihan, beragam yang menyebabkan manusia pangling, atau bingung. Sehingga seakan – akan manusia lahir hanya untuk menjadi abdi setia Sang Ego. Kenyataan hidup inilah yang Mpu Tanakung katakan sebagai orang yang berada dalam keadaan ratri “kegelapan” atau manusia tidak berkesadaran. Oleh sebab itu manusia harus berusaha keras untuk membalik kesadaran atau usaha penyangkalan diri yang disebut tapabrata. Menyangkal Sang Ego sebagai raja semu dalam diri, mengapa? Karena ia bukanlah raja yang sesungguhnya (Yasa, dkk, 2008:53).
Kata Mpu Tanakung (Siwaratrikalpa, 37:1,5), ada tiga brata penting yang patut dijadikan landasan utama bila kita bercita-cita untuk melenyapkan bhranta “kebingunan pikiran”, menghapus papa “dosa” dan muliheng nirasraya “mencapai hidup bahagia”. Mengapa Tapabrata ? karena tapabrata “usaha terkendali secara sistemik” adalah landasan yoga yang menjamin para pemburu hidup berhasil mendapatkan pengalaman estetik-religius. Tiga brata utama dimaksud adalah monabrata, upawasa, jagrabrata. Lalu apa yang menjadi alasan rinci mengapa tiga brata sangat penting dijadikan sarana mencapai siwa. Jawaban dan pemahamannya baru akan ditempuh melalui pengupasan maya tattwa. Karena mayalah yang menyelubungi kesadaran Yang Sejati. Sehingga untuk menemukan Sang jati Diri, maya yang menyelubungi ituah yang terlebih dahulu harus kita sikap. Dalam Bhagavadgita 7. 25 Sri Krsna bersabda :
naham prakasah sarvasyo, oga-maya-samavrtah
mudho yam nabhijanati, loko mam ajam avyayam
artinya :
terselubung oelh yogamaya-Ku, aku takkan kelihatan oleh semuanya.
Dunia terkecoh oleh maya-Ku. Karena itu mereka tak mengetahui aku yang tak terlahirkan dan kekal abadi.
Maya juga disebut prakrti yang difungsikan sebagai sarana-Nya untuk berkreatifitas. Sri Krsna bersabda (bhagavadgita 9.8) :
Prakirtim svaam avastabhya, visrjami punah-punah,
Bhuta-gramam imam krtsnam, avsasam prakrter vasat
Artinya,
Dengan mengkreativitaskan prakerti-Ku, Aku menciptakan mahkluk berulang kali, dan mahkluk menjadi tanpa daya oleh kekuatan pakerti- Ku
Hakikat maya tattwa adalah segala yang berwujud  sahan-hana ning bhawa siluman “ini sesungguhnya bersifat siluman”, bersifat relatif, ilusi dapat mengambil berbagai wujud sesuai kehendak (lila) pemiliknya yaitu Tuhan. keberadaan maya inilah disebut dengan ratri. Ia yang tidak menyadari ratri ini dipastikan hidupnya terikat trsneng wisaya “nafsu, terikat lekat mati pada nikmat wujud sensual duniawi. Dalam konteks siwaratri artinya, ia jatuh : sengsara, ,enangis sedih, hatinya gelap bagai pekat gelapnya malam pada hari ke 14 pada gelap sasih ke 7. Ratri inilah yang menyelimuti kesadaran atau Siwa (Yasa, dkk, 2008 : 58).
Dalam Prasna Upanisad seperti yang telah ditulis oleh Rohit Mehta dalam bukunya Mencari Tuhan Dalam Diri. Maya atau ratri ini berbentuk badan. Badan yang meyelimuti kesadaran ada lima lapis. Lima lapisan badan ini pancamaya kosa (1) annamaya kosa “ badan kasar”, (2) pranamaya kosa “ badan nafas” (3) manomaya kosa “badan pikiran” (4) wijnanamaya kosa “ badan intlegensi atau budhi” dan (5) anandamaya kosa “ badan kebahagiaan atau rasa”. Pendakian spiritual adalah usaha yang sistemik untuk menyucikan atau meruwat maya atau ratri dengan olah rasa dan olah budhi yang dicetuskan dengan mulat sarira (Yasa, dkk, 2008 : 58).
Badan dalam aspeknya yang tiga disebut tri sarira: (1) sthula sarira yakni badan yang dibangun dari anna “sari – sari makanan dan minuman”. Badan ini lebih bersifat tamas “lembam” (2) suksma sarira yakni badan  halus yang berupa prana “daya hidup” dan manah “pikiran”. Badan ini bersifat rajas “aktif”. (3) antahkarana sarira yakni badan astral atau badan dewa kita yang berupa wijnana “intlegensi” dan ananda “kebahagiaan”. Badan ini bersifat satwam “terang” (Yasa, dkk, 2008 : 58-59).
Secara spiritual badan yang telah disucikan atau diruwat dari maya atau ratri, seperti halnya pura layak disebut dengan meru sarira. Menyucikan badan berusaha mengecilkan pengaruh rajas, tamas dengan jalan memupuk satwam. Artinya berusaha amuter tutur “membalik kesadaran” yakni dari berkesadaran badan (rajas, tamas)  menjadikan berkesadaran jiwa (satwam). Badan itu bisa disebut meru sarira apabila telah berhasil menyucikan badan kasar dan badan halus (Yasa, dkk, 2008 : 59). Penyangkalan diri semacam itulah sang guru sastra-spiritual yang bernama Mpu Tanakung mau bersusah payah menggubah kakawin dengan mengisahkan laku hidup Si Lubdhaka. Artinya, dengan metode bercerita, para peminat hidup bahagia diajar atau dihimbau untuk tekun berjuang memburu binatang yang disebut Sang Ego. Kita dihimbau agar memperhatikan makna ketekunan Si Lubdhaka mengawasi kehadiran binatang buruan (Yasa, dkk, 2008:54).
Penyucian atau ruwatan pertama itu adalah badan kasar. Secara spiritual ada tiga cara meruwat badan kasar ini (1) upawasa “pantang makanan sembarangan” atau puasa dalam kurun waktu tertentu. Secara biologis hal ini untuk menjaga kesehatan organ percernaan dengan mengistirahatkan sementara. Dalam artian lain, hanya memakam makanan yang sattwika, yakni makanan yang memberikan sehat lahir batin. Karena makanan yang sattwika ini akan mempengaruhi badan prana dan badan manah yang memberikan output pada perilaku yang baik, dalam terminologi hindu perilaku ini disebut kayika parisuddha. Makanan sattwika diperoleh dari cara memperoleh, mengolah, menyajikan hingga menelan dengan cara yang baik dan benar. (2) melakukan asana “olahraga hindu yaitu dengan melatih hatha yoga dan surya namaskara dan (3) sauca mandi atau tirtayatra “mandi suci” (Yasa, dkk, 2008 :62). Kalau dikaitkan dengan astanggayoga Patanjali proses penyucian badan kasar ini masih dalam tataran yama, nyama dan asana. Yama pengendalian diri yang ditekankan  dalam diri. Nyama pengendalian yang ditekankan lebih di luar diri sebagai pengkukuhan yama. Asana adalah latihan fisik untuk selajutnya masuk ke tataran meditasi. Pernyataan ini terdapat dalam  yoga marga rahayu halaman 25 dan Yoga Kundalini.
Penyucian atau ruwatan kedua yakni permurnian badan yang lebih halus disebut pranamaya kosa. Caranya adalah dengan cara olah pranayama “olah nafas yang sistemik dalam yoga”. Nafas ini berkaitan dengan bunyi. Bunyi dalam terminoligi hindu disebut wak atau wacika. Agar wacika parisuddha kita haruslah melatih daya bicara dengan monabrata “puasa , pantang mengucapkan kata – kata kotor, berkata fitnah, mengendalikan wicara hanya mengucapakan kata – kata sanwacana “yakni kata – kata yang menyebabkan orang lain bahagia” (Yasa, dkk, 2008 : 62-63).
Langkah ruwatan yang ketiga adalah pemurnian suksma sarira “ badan halus yang bersifat pikiran. Pikiran merupakan akumulasi emosi dan keinginan. Karena keberadaan pikiran ibarat monyet “tidak bisa diam”. Pikiran yang tidak terkendali dan tidak fokus sama halnya dengan energi yang terbuang percuma. Pikiran disebut sebagai raja dari sepuluh indriya kita yang disebut sebagai dasendriya. Sehingga pikiranlah yang harus dijinakkan yang nantinya setelah jinak mampu memandu sepuluh indrya yang lainnya dengan jinak pula. Agar mata tidak jelalatan melihat rupa kesukaan, telinga tidak jelalatan mendengar suara kesukaan, hidung tidak mendengus-dengus menciumi bau kesukaan, lidah tidak menjilat – jilat rasa yang nikmat dam kulit tidak ketagihan meyentuh atau meraba objek kesukaan. Maharsi Patanjali merumuskan ajara yoganya yoga’s wrtti nirodah “yoga adalah usaha sistematis untuk mengendalikan dan mendiamkan gerak-gerik pikiran (Yasa, dkk, 2008 : 63-64).
Tujuan Mpu Tanakung melakukan yoga adalah agar ia selalu jagra atau dapat mahalilang manah “berpikiran jernih” atau disebut juga manacika parisuddha. Secara lebih teknis jagrabrata dilakukan dengan mulat sarira “melihat diri” dengan melakukan meditasi  :
1.      Pratyahara, menarik atau melepaskan indrya – indrya dari objeknya
2.      Dharana, lalu mengikat atau mendiamkan sekejap pada pusatnya diotak
3.      Dhyana, kemudian difokuskan, dikontemplasikan pada objek maditasi “perwujudan Tuhan, sinar atau yang lainnya yang dipandang religius (Yasa, dkk, 2008 : 65).
 Hanya dengan murni-sucinya trikaya inilah badan antahkarana sarira yang bagai matahari itu tampak. Badan astral ini berwujud jyotir “sinar” disebut juga surya jnana “sinar pengetahuan” yakni badan dewa yang terdiri dari dua lapisan yaitu badan wijnanamayakosa dan anandamaya kosa. Badan kembar inilah dalam sastra suci Hindu dilukiskan sebagai padma hrdaya “teratai hati” (Yasa, dkk, 2008 : 65).
Atas dasar itulah, dapat dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakang brata siwaratri : upawasa, monabrata dan jagrabrata sebagai brata paramapawitra “brata yang sangat utama”. Dengan kata lain, manakala trikaya telah suci, ketika ituah terjadi pencerahan, jati dirinya tersingkap menjadi pengalaman sejati dan kebahagiaan.
Rahasia dalam kisah Lubdaka telah terungkap melalui sabda Mpu Tanakung “Brata Siwaratri adalah brata paramapawitra”. Brata yang utama ada tiga yaitu : upawasa, monabrata dan jagrabrata. Pertama upawasa adalah puasa dalam kurun waktu tertentu untuk mengistirahatkan organ percernaan, dan pantang dengan makanan sembarangan, makan makanan yang sattwika yaitu makanan yang menyebabkan sehat lahir batin. Badan yang kesehatannya terjaga disebut kayika parisuddha. Kedua, monabrata adalah puasa tidak berbicara, pantang mengucapkan kata – kata yang kotor, kasar,  mengendalikan wicara yang hanya mengucapkan kata penuh makna yang membuat orang lain dan diri kita bahagia. Inilah wacika parisuddha.  Ketiga, jagrabrata adalah puasa melek, senantiasa menjadikan diri sadar. Jagra intinya berpikiran yang jernih dan suci. Inilah yang disebut manacika parisuddha. Jadi, brata Siwaratri adalah tri Kayaparisuddha, sehingga terjadi pencerahan terhadap sang jiva dan kebenaran serta pengetahuan sejati terungkap yang menjadikan kebahagiaan (Yasa, dkk, 2008 : 94).
Dapat ditelaah maksud Mpu Tanakung lewat karya sastranya adalah mengapai Tuhan melalui jalan Brata Siwaratri dengan jalan upawasa, monabrata dan jagrabrata yang disamakan dengan tri kayaparisuddha. Seperti halnya juga tujuan ini terdapat dalam yoga yaitu untuk memperluas kesadaran sampai mencapai taraf kesadaran kosmik (kesadaran Tuhan). Untuk itu diperlukan berbagai upaya, upaya kasih, upaya pikiran, upaya kata – kata dan upaya perbuatan. Sebagai aliran yoga menghendaki agar muridnya mengembang kasih yang agung (universal) (Kamajaya, 1998: 73). Inilah menjadi alasan mengapa yoga itu dilakukan sehari – hari, bahwa segala kegiatan hidup itu adalah yoga. Namun perlu digarisbawahi orang dikatakan telah melakukan yoga dalam perspektif brata siwaratri apabila telah melaksanakan tri kayaparisuddha yang suci.
Secara epistemologis, yoga itulah jalan kuno yang kembali ditawarkan Mpu Tanakung sebagai jalan efektif untuk muktang klesa “meruwat ego”. Jalan kuno yang dimaksud, boleh jadi jalan atas pengalamannya sendiri. Karena, orang suci pantang omong kosong. Katanya dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana “dalam usahaku untuk mendapatkan pengalaman estetik-religius, aku melakoni yoga (1) dhyana “meditasi” ; (2) stuti “mengkidungkan gitapuja; (3) kuta mantra “mengucapkan mantra utama” ; (4) japa “ mengulang-ulang nama Tuhan”; (5) mudra “melakukan olah raga atau tari spiritual” (Yasa, dkk, 2008:55).
Dikisahkan Si Lubdhaka mengabdikan diri untuk terus menerus menjadi penyelidik, lalu membidik dan menghujam binatang buruan dengan panah. Panahnya ternyata adalah panah dhyana, yakni daya kosentrasi yang tajam. Hingga suatu hari tidak ditemukan lagi binatang buruan di hutan. Hutan yang belantara yang ada dalam dirinya. Sang Ego lenyap dalam api kesadaran, dan tumbuhlah daya spiritual yang ditandakan dengan Lubdhaka naik pohon bila dan duduk awas dicabangnya. Artinya, Si Lubdhaka berhasil duduk yoga mengharmonikan budi dengan rasa hati. Ketika itu lingga pun dilihatnya dan dijadikan pusat konsentrasi (Yasa, dkk, 2008:54).
Secara aksiologis, ada tiga wacana yang menjadi yang tampak dalam karyanya Mpu Tanakung Siwaratrikalpa: (1) akabwatan lango “berusaha mendapat pengalaman estetik” (2) muktang klesa “ruwat dari dosa” (3) muliheng nirasarya “ kembali pulang ke asal, mencapai kelepasan atau mencapai pengalaman religius”. Tujuan pertama dijadikan jalan atau sarana untuk mencapai tujuan kedua, yakni untuk menghibur diri karena ringrang i manahnya lot kasih harep “gelisah mencari pelipur hati yang bingung dipanglingkan oleh pikiran yang memelas banyak harap”. Itulah ke-papaan yang ingin Mpu Tanakung  ruwat melalui yoga sastra, dengan ruwatan dosanya berarti mendapat bekal untuk mencapai kelepasan. Katanya : muktyang klesa silunglunganya muliheng nirasraya juga “ harapanku, mudah – mudahan dengan merangkai kata menjadi syair Siwaratri itu aku dapat bebas dari penderitaan” (Yasa, dkk, 2008:55).

2.4  Refleksi Makna Kisah Siwalatri Dalam Kehidupan Masa Kini
Dapat ditelaah maksud Mpu Tanakung lewat karya sastranya adalah mengapai Tuhan melalui jalan Brata Siwaratri dengan jalan upawasa, monabrata dan jagrabrata yang disamakan dengan tri kayaparisuddha, sehingga terjadi pencerahan terhadap sang jiva dan kebenaran serta pengetahuan sejati terungkap yang menjadikan kebahagiaan. Seperti halnya juga tujuan ini terdapat dalam yoga yaitu untuk memperluas kesadaran sampai mencapai taraf kesadaran kosmik (kesadaran Tuhan). Untuk itu diperlukan berbagai upaya, upaya kasih, upaya pikiran, upaya kata – kata dan upaya perbuatan. Sebagai aliran yoga menghendaki agar muridnya mengembang kasih yang agung (universal) (Kamajaya, 1998: 73). 
Kegelapan yang sering disebut dengan papa. Papa dalam bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat, dan hina. Untuk meleyapkan ke-papaan dilakukan dengan cara brata siwaratri Manusia dilahirkan dengan berbadan bhuta kala. Untuk menyucikan manusia dari badan bhuta kala, manusia diajarkan untuk melakukan upacara – upacara penyucian dari bayi dalam kandungan hingga upacara perkawinan. Perlu diingat upacara ini hanya sebagai lambang yang bernilai sakral, yang berfungsi untuk menyucikan manusia dari segala kotoran batin (Sudharta, 1992 :7). Berkenaan dengan itu, tulisan ini juga ditkemukakan berdasarkan pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah kebaikan, apabila makna (kebaikan) teks (Brata Siwaratri) dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke wilayah aplikatif, kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih sebagai bukti daripada menjadi saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau manusia hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam  tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa “brata siwaratri meminta pelaksanaan perbuatan daripada meyimpannya menjadi pengetahuan hapalan yang hanya eksis dalam pikiran dan ucapan. Inilah semangat utama yang mengalirkan tulisan ini hendak memasuki wilayah – wilayah dunia praksis kehidupan. Kehidupan kekinian yang disini selalu merefleksikan pada dua dunia: masa lalu dan masa depan” (Yasa, dkk, 2008 :103).
Masyarakat dikatakan sebagai sebuah organisme mengalami perkembangan dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang kompleks. Perubahan menurut Rostow lima evolusi (the five stage scheme) masyarakat tradisional menuju prakondisi tinggal landas, kemudian perkembangan menjadi masyarakat pematangan atau pendewasaan, dan akhirnya mencapai masyarakat modern. Menurut, tahapan masa kristis terhadap perkembangan masyarakat adalah tahapan tinggal landas. (Yasa, dkk, 2008 :105).
Masyarakat tradisional ditandai dengan rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga cara hidup lebih ditempuh dengan cara – cara yang diwarisi dari generasi terdahulu. Masyarakat dikuasai dengan kepercayaan – kepercayaan tentang kekuatan di luar jangkauan akal sehat sehingga muncul jenis-jenis pemujaan kepada arwah – arwah. Mata percahariannya lebih banyak pada sektor agraris atau petani. Selanjutnya, masyarakat tradisional ditandai oleh produksi sangat terbatas sehingga pertumbuhan ekonomi madeg atau mengalami pertumbuhan yang tidak berarti (Yasa, dkk, 2008 :106)
            Tahapan masyarakat prakondisi tinggal landas merupakan masa transisi ketika prasyarat untuk lepas landas mulai berkembang. Pada tahapan ini masyarakat masih berada dalam nilai-nilai tradisional, tetapi nilai-nilai baru datang dari sektor eksternal secara bertubi – tubi. Akibatnya, terjadi goncangan psikologis antara dua kutub nilai lama-baru sehingga produktifitas belum sepenuhnya dapat menjadi andalan bagi penciptaan modal.
Tahap ketiga, tahapan tinggal landas ini ditandai dengan hilangnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Pada masa ini telah terjadi pergerakan menuju masyarakat modern. Dilanjutkan dengan fase pendewasaan atau setelah lepas landas akan terjadi suatu proses kemajuan yang panjang yang terus menerus ke depan, meskipun terjadi pasang-surut. Pasang-surut inilah disebut sebagai negara berkembang yang sering muncul kecemasan yang dihadapi dengan tergesa-gesa. Kelima, menurut pemikiran Rostow pada saat negara telah mencapai fase zaman konsumsi massa tinggi, ada kenaikan pendapatan masyarakat yang signifikan sehingga konsumsi  tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Masyarakat yang disamakan dengan organisme mengalami dinamika yang diwarnai modernisasi, indusrtilisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat industri adalah titik puncak modernisasi, yakni masyarakat konsumtif setelah melewati lima tahapan  (Yasa, dkk, 2008 :104-112).
Modernisasi ini diwarnai dengan peningkatan kesadaran kemajuan rasionalitas. Dalam hal ini manusia diposisikan sebagai subjek yang berpusat pada rasional dan alam sebagai objek  yang harus dikuasai dan dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan. Kesejahteraan inilah alat sekaligus tujuan  yang selalu ambigu baik arti ataupun maknanya dalam dunia praktis. Kesejahteraan disimbolkan sebagai uang. Ketika pohon dibabat, burung ditembak, ikan dipancing dan sumber air mengering toh manusia juga tidak bisa makan uang. Akan tetapi, demi uang negara berkembang berlomba – lomba menciptakan kemajuan demi kesejahteraan melalui proses modernisasi dan industrilisasi. Proses transisi inilah masa titik kerawanan dalam bidang sosial dan budaya yang melahirkan banyak masalah. Dalam menghadapi dampak modernisasi dan industrilisasi terutama yang berkaitan dengan degradasi moral kemanusiaan yang merupakan titik penting dan menjadi proyek brata siwaratri.
Ciri – ciri umum masyarakat dalam modernisasi. Modernisasi dan indrustrilisasi yang pada dasarnya merupakan penerapan pengetahuan ilmiah dalam segi – segi kehidupan, ternyata secara sistematis menumpulkan ketajaman mata hati (Yasa, dkk, 2008 :122). Dalam proses modernisasi dan industrilisasi manusia telah kehilangan kemanusiaannya ”human lost”. Ciri modernisasi produktifitas menjadi satu – satunya cara untuk mengkukuhkan stastus sosial individu di tengah – tengah masyarakat. Produktifitas –kerja dan hasil kerja menentukan derajat kemungkinan perolehan peluang untuk mendapatkan alat pemuas nafsu dan selera yakni uang dan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatakan produktifitas tersebut. Orang ditakar-ukur berdasarkan jabatan dalam dunia kerja dengan kata lain status sosial ditentukan oleh seberapa besar imbalan, fasilitas kekuasaan secara materi. Malahan cara- cara hegemonik mendekati orang yang dipandang dapat mengantarkan pada status yang diinginkan juga tidak ditabukan. KKN pun pada gilirannya tidak dapat dihindari. Cara bajik dan picik sama saja, sejauh dimaksudkan meraih uang, kekuasaan dan alat pemuas lainnya. Ini menyiratkan orientasi masyarakat tentang kerja lebih menekankan kemakmuran semata. Padahal makna kerja yang sejatinya adalah yadnya seperti apa yang disebutkan dalam Bhavadgita kini telah bergeser keluar dari hakikat kerja itu. Kerja semata – mata untuk urusan mulut perut dan pemuasan terhadap nafsu-selera. Kesejahteraan material diposisikan menjadi instrumen bagi tercapainya kesejahteraan batin dan karenanya dapat dipahami materi itu hanyalah alat bukan tujuan. Apabila materi menjadi tujuan maka aktor – aktor dan agen – agen pembangunan hipokrit, sebagaimana dikatakan oleh Krishna bahwa “ Ia yang duduk mengendalikan panca inderanya, tetapi pikirannya ingat kenikmatan yang menjadi objek inderannya, sesungguhnya ia adalah hipokrit” ( bhagavadgita III:6). Dalam kategori ini, dikatakan ia yang berbicara tentang kebijaksanaan, tetapi berbuat sebaliknya. Ia yang berkata – kata tentang kesejahteraan batin, tetapi lebih mengusahakan dan mengutamakan kesejahteraan material. Pada akhirnya ia yang munafik adalah ia yang menganiaya diri sendiri (Yasa, dkk, 2008 :120).
Oleh hasil – hasil beragam barang duniawi yang memancing gairah penikmatan kepemilikan dan manusia memburu nafsu-selera. Nafsu melahirkan keninginan penikmatan yang cendrung lahir dari dalam diri, sedangkan selera melahirkan keinginan kepemilikan yang cendrung lahir dari luar diri. Intinya nafsu selera itu selalu mengalirkan keinginan dan keinginan itu tidak sama dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan adalah kepentingan yang sudah dekat dengan alat pencapaiannya (Yasa, dkk, 2008 :96). Ini adalah ciri manusia berkesadaran badan artinya manusia yang selalu mencari hidupnya di luar dirinya. Ia menganggap bahwa objek-objek duniawi yang ada di luar dirinya, yang ia sukai adalah sumber kebahagiaan. Ia selalu rindu dan mengejar objek – objek duniawi kesukaannya.  Manusia menjadi mahkluk malang yang menganiaya dirinya sendiri dengan menjadi budak nafsu-seleranya.
Dalam konteks duniawi, empat pilar yang menjadi landasan hidup manusia. Dharma “karakter luhur” merupakan landasan dasar yang utama dalam mencapai tujuan hidup, sedangkan artha adalah alat untuk memenuhi keinginan yang buka dalam tataran nafsu selera tapi kebutuhan. Bukan sebaliknya, artha menjadi tujuan hidup dengan meniadakan dharma demi tercapainya keinginan untuk memenuhi nafsu selera. Demikian kepuasaan nafsu-selera, ternyata manusia sedang mengalami proses modernisasi dan industrilisasi telah mengaburkan batas baik-buruk, benar-salah dan beradab-biadab. Untuk memperjelas batas-batas itu diperlukan pengendalian pikiran ucapan dan perbuatan dalam koridor moralitas sebagaimana yang telah dianjurkan Brata siwaratri (Yasa, dkk, 2008 :125-126).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membangkitkan manusia untuk menggempur tembok – tembok kebodohan sehingga manusia mengalami perkembangan yang begitu pesat dalam bidang material. Akan tetapi dalam bidang moral- kemanusiaan manusia mengalami perkembangan yang sebaliknya yakni terjadi degradahi moral dan dehumanisasi yang semakin akut (Yasa dkk, 2008 :139).
Kemajuan terknologi yang mulanya menawarkan kepraktisan kini menjadi bumerang tersendiri bagi konsumen yang menggunkan hal tersebut secara tidak efesien. Kemajuan teknologi yang pesat memunculkan kerawanan kanibalisme (Yasa, dkk, 2008 :127). Seperti internet yang membawakan manusia pada pergaulan tanpa batas. Banyak informasi tentang manusia hilang akibat pergaulan tanpa batas. Internet menjadi sarana tawar menawar efektif kerajinan eksport-import yang sebaliknya, sarana ini mematikan pedagang-pedagang pasar seni tradisional. Pembunuhan karakter seseorang misalnya dengan memanipulasi wajah tokoh penting (penguasa atau juga penguasa) dengan wajah bintang film porno. Misalnya juga, FB yang belakangan ini menjadi tren manusia modern juga digunakan secara tidak wajar sebagai pembunuhan dan keretakan persahabatan, pasangan dll dengan mengupload gambar- gambar, kata – kata yang tak bermoral. Internet yang juga sebagai akses data tanpa batas secara negatif membiarkan konsumen yang belum cukup usia untuk mengakses hal-hal yang tak bermoral seperti film porno, gambar porno. Malahan pesan singkat (sms) dan juga BBM belakangan ini diketahui memiliki daya terhadap keretakan terhadap keretakan dan kelantakan para pemuda modernis-industris. Ini menunjukkan bahwa kemajuan Iptek bukan saja memberikan kemudahan berburu materi tetapi juga penghancuran kemanusiaan dan moralitas. Rupanya, manusia tidak menyadari dua azas dua yang disebut oposisi biner (rwa bineda) yang ada pada setiap apa yang ada didunia ini, dimana ada kemudahan disitu ada kesukaran, dimana ada kebahagiaan disitu pula ada kesedihan. Dimana tempat tipu muslihat, disitu kemunafikan banyak diterima dan kejujuran tersingkirkan.
Modernisasi dan industrilisasi juga menimbulkan perubahan besar daam bidang nilai, sikap dan kepribadian yang sering diwujudkan dalam konsep manusia modern. Menurut Lauer (2003:98) manusia modern adalah manusia yang gemar mencari sesuatu sendiri, memiliki kebutuhan berprestasi, dan memiliki motivasi mencari sesuatu yang berbeda dari orang lain. Motivasi ini disebutnya empati, yakni kapasitas melihat diri sendiri menurut situasi orang lain. Dalam konteks ini upawasa menganjurkan hati-hati dengan keinginanmu. Menurut upawasa keinginan mencari sesuatu yang baru itu bukan dosa, tetapi perlu disempurnakan dengan nilai-nilai kesucian karena menjadi spritual berarti tidak menolak efektifitas, partisipasi dan nalar namun melampauinya. Upawasa selalu mengajarkan tunjukkan dirimu yang sederhana, rangkulah kodratmu yanh asli, tahanlah rasa ingat dirimu dan batasi keinginanmu. Ingat tidak ada kutuk yang lebih besar daripada merasa kurang puas, tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu ingin memiliki (Yasa, dkk, 2008 :136-138).
Pembangunanisasi yang melekat dalam modernisasi tanpa disadari telah menjadi bagian integral dalam penciptakan kenikmatan inderawi ternyata berlangsung diluar kesadaran. Berdirinya super-market atau mall-mall di kota misalnya, telah menjadi kebanggaan warga kota tetapi dibalik kebanggaan itu tanpa disadari mereka telah dididik menjadi masyarakat konsumtif. Menahan diri, agar tidak tergoda oleh indahnya barang-barang industri dalam super-market atau mall-mall menjadi anjuran upawasa (Yasa,dkk, 2008 :134).
Pada masa transisi ke jaman modernisasi berlomba – lomba untuk mengejar nafsu-selera yng memainkan peran yang sublim. Akibatnya manusia kehilangan daya beda antara kebutuhan dan keinginan dan inilah manusia rasional yang tanpa rasionalitas. Mengendalikan keinginan yang selalu dalam koridor kebutuhan. Diasumsikan brata siwaratri :upawasa, mona, dan jagra menemukan jalanya untuk mengembalikan nafsu-selera kepada kebutuhan nyata sesuai dengan kodrat dan harkat manusia. Hal inilah mekanisme kontrol sosial yang dinamid dan produktif (Yasa, dkk, 2008 :97). Brata siwaratri : upawasa, monabrata dan jagrabrata mengembalikan semu menjadi kebahagiaan sejati. Upawasa misalnya menunjukan jalan untuk memahami sad ripu yaitu enam musuh dalam diri sebagai enam sumber kehancuran diri. Upawasa memberikan wiweka tentang nafsu-selera yang sebagai objek – objek indrawi yang bersifat relatif. Nafsu –selera yang terpenuhi akan menimbulkan kesenangan yang menimbulkan keserakahan (loba). Walaupun terpenuhi, kelobaan senantiasa menimbulkan kekurangan sehingga ada usaha untuk memenuhi secara membabi-buta atau kemabukan (mada). Kemabukan inilah kemudian menimbulkan kebingungan (moha). Sebaliknya, apabila nafsu-selera tak terpenuhi timbullah amarah (krodha) dari kemarahan hilanglah akal sehat yang meyebabkan melemahnya daya beda sehingga menimbulkan kedengkian (matsarya) dan dari kedengkian menimbulkan kebingungan (moha). Seperti wejangan Sri Krsna “ dengan memikirkan benda duniawi munculah keingin untuk memiliki. Dari keinginan yang tak terpenuhi timbullah amrah, dari amarah timbullah kebingungan dan dari kebingungan hilanglah kesadaran. Dengan hilangnya kesadaran hancurlah kemanusiaan “ (Bhagavadgita II. 62-63). Dengan demikian nafsu-selera baik terpenuhi atau tidak pada akhirnya akan membawa pada kebingungan dari kebingungan inilah membuat manusia dilematis. Dilematis membuat manusia tersesat tak terarah. Pemuasan nafsu-selera berdasarkan objek – objek duniawi hanyalah sementara (Yasa, dkk, 2008 :122).
Makna upawasa secara holistik adalah pengengkangan terhadap nafsu-selera. Ini merupakan srategi membatasi nafsu-selera yang menggebu – gebu dan menjalani kehidupan menurut azas kecekupan. Dengan azas kecukupan adalah kata lain kebutuhan yang terkendali bararti menekan kemunculan kebutuhan – kebutuhan baru, berkurangnya kebutuhan berarti berkurangnya produksi baru ataujuga berkurangnya nafsu-selera. Pada gilirannya upawasa dapat menjadikan orang selalu matang dalam mengenal objek – objek indrawi dan mengatasi nafsu-seleranya. Sehingga, orang terhindar dari pengaruh negatif proses modernisasi dan industrilisasi (Yasa, dkk, 2008 :123).    
Makna Monabrata tidak semata – mata hanya diam, tetapi berbicara secara hati – hati dengan berlandaskan kesadaran. Monabrata adalah jalan untuk membangun komunikasi yang baik dalam masyarakat. Karena kenyataannya, tidak sedikit salah paham dimulai dari ketidaksesuaian antara cara penyampaian pesan sehingga menimbulkan kegagalan dalam komunikasi. Seperti halnya konflik, perang berawal dari kegagalan dalam membangun komunikasi yang sering disebut dengan mis comunication. Dalam rangka membangun komunikasi inilah monabrata, yakni pengendalian ucapan dalam tata krama manusiawi menjadi kebutuhan yang mendesak dalam masyarakat global. Sarasamuccaya, sloka 119 disenandungkan dalam lantunan palawakya :
Apan ikang ujar yan rahayu ta kojarannya, tan tunggal ikang sukha kapuhara denya, yadyapin rahayu towi, yan tan rahayu kojarannya, irikang umajarakenya tuwi, pwan pamuhara lara
Artinya,
Karena perkataan itu jika maksudnya baik, dan secara baik pula diucapkannya, hanyalah kesenangan yang ditimbulkan olehnya, meski maksudnya baik, jika tidak secara baik diucapkannya, bahkan kepada yang mengucapkkannya pun menimbulkan hati duka.
Memperkaya kompas jagrabrata “puasa melek” yakni usaha keras menjadikn diri selalu sadar atau pengendalian kesadaran. Jagrabrata mengajarkan kesadaran dalam pikiran yang dijelmakan dengan tindakan. Karena jagra ini adalah manacika parisuddha, memang menjadi paling penting dalam ajaran brata siwaratri. Pentingnya pikiran yang jernih dalam pengendalian indera dalam tindakan, dijelaskan dalam Bhagawadgita III.7
Sesungguhnya orang yang dapat mengendalikan panca inderannya dengan pikiran, dengan panca inderanya bekerja tanpa keterikatan, ia adalah sangat dihormati

Apabila kemanusiaan merupakan nilai tertinggi pada diri manusia dan kehormatan merupakan nilai tertinggi pada kemanusiaan. Kesadaran kerja dalam kehormatan merupakan dasar komitmen tujuan dari setiap yajna. Manusia bukan bekerja semata – mata hanya untuk memenuhi nafsu selera namun tetap pada hakikat kerja itu sendiri sebagai yajna. Manusia bekerja tanpa pernah terikat dengan hasilnya. Dalam konteks perkembangan iptek jagra bukan menghambatnya tetapi jagrabrata menyampaikan himbauan kepada manusia kepada fitrah dirinya bukan semata – mata material, melainkan hidup yaitu Tuhan – pujaannya, asal mula dan leburnya alam semesta. Jagrabrata memberikan kesadaran agung, yang berawal dari dalam diri di tengah – tengah menciutnya moral dan nilai melalui persebaran barang – barang hasil industri dan informasi yang tanpa bentuk. Sehingga kebenaran menjadi barang langka yang semakin buram. Pikiran manusia bercabang memikirkan pesatnya produksi barang – barang modern yang membuat pikiran manusia linglung dan semakin tertutuplah pikiran yang jernih itu. Coba renungkan ketika kita mengincar sesuatu yang sangat memikat hati, namun apa kau tahu apa yang terjadi setelah kita mendapatkannya, tidak akan ada keinginan yang menggebu-gebu mendobrak nafsu seperti ketika baru memilikinya. Sesuatu itu akan menjadi biasa – biasa saja. Begitulah hal ini terjadi berulang – ulang. Tak ada kepuasan  dari keinginan itu. Seperti anak kecil yang menangis ketika tidak dibelikan mainan. himbauan jagrabrata ini adalah janganlah selalu mementingkan sesuatu hal yang tidak penting dalam kehidupan ini. Dengan demikian manusia menjalankan jagrabrata  telah memiliki kesadaran akan kebahagiaan semu ini dan beralih mengejar kebahagiaan yang sejati.
            Dalam konteks ini manusia berani mengkikis lapisan dunia kasarnya yang terdiri atas anna “makanan” dan prana “nafas hidup”. Dengannya manusia mampu mengekspresikan dunia halus yang sukma melalui mana “pikiran-subjektif-nondimensional” sehingga ia siap memasuki dunia simbol tanpa simbol dengan widjnana “kecerdasan semesta” untuk tiba pada dunia tanap dunia, ananda “kebebasan”.
Brata siwaratri mengajarkan berpikir, berkata, berbuat dan tindakan bajik. Kasih menjadi dasar komitmen dan tujuan yang dianjurkan Brata Siwaratri seperti halnya juga dalam ajaran yoga kasih menjadi dasar yang membawakan kebahagiaan yang memberi ketenangan kepada semua pihak. Bhagavan Baba menyatakan bahwa “ kasih sayang merupakan jalan termudah untuk mendapatkan anugrah Tuhan dan menyadari keberadaanNya pada segala sesuatunya. Kasih sayang janganlah didasarkan dengan kasta, keyakinan, status sosial ataupun pencapaian intelektual seseorang. Kasih sayang merangkul segalanya ; ia tak dapat hanya diarahkan pada seseorang dan mengesampingkan yang lainnya. Ia merupakan arus yang mengalir yang menerpa segalanya, yang membawa pada perluasan sedangkan kebencian akan menyebabkan kontraksi dan kematian. Inilah dasar ajaran kitab Sanatama Dharma. Hati yang dipenuhi dengan kasih sayang tidak akan menampilkan pemikiran – pemikiran yang dapat mengakibatkan kekerasan. Tuhan adalah kasih sayang, Tuhan kedamaian, Tuhan adalah kekuatan ( Maswinara :2000 :53-54). Bhagavan satya Narayana dalam ajarannya yang menyiratkan bahwa hanya kasih sayanglah yang dapat menyatukan seluruh keberadaan di alam semesta raya ini dalam persaudaraan semesta karena sumber dari padanya adalah Tuhan itu sendiri sebagai pengejawantahan kasih sayang atau prema svarupa. Svami Vivekananda dalam menyampaikan ajaran vedanta kepada orang – orang barat mengatakan bahwaKasih sayang ilahi ibarat segitiga yang setiap sudutnya melambangkan tiga kondisi yang mendasarinya, yaitu : kasih sayang tak mengenal tawar menawar, kasih sayang tak mengenal rasa takut dan kasih sayang tak menginginkan adanya persaingan” (Maswinara : 2000 :49). Sehingga dapat dikatakan bahwa kasih yang universal merupakan tali-temali yang erat terhadap segala bentuk kehidupan di dunia, baik hubungan erat manusia dengan Tuhan, hubungan erat manusia dengan manusia dan juga hubungan erat manusia dengan lingkungan dalam ajaran Tri Hita Karana. Kasih menciptakan komunikasi yang jauh dari perkataan bohong, fitnah, keji, kasar dan kemunafikan karena monabrata mengajarkan mengatakan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri dan orang lain. Jagrabrata senantiasa mendorong kesadaran manusia pada setiap kesempatan dalam puncaknya untuk tidak berlaku semena – mena terhadap sesama. Sebagai juga implementasi ajaran weda tentang sifat Tuhan berada dimana-mana yang secara logis dapat diartikan bahwa manusia itu adalah Tuhan, binatang adalah Tuhan hingga pada akhirnya semua isi alam semesta juga adalah Tuhan. Filsafat Vasistadvaita menurut Sri Ramnuja juga mengajarkan bahwa alam beserta isinya berawal dan berakhir dari, kepada Tuhan. Dalam upawasa memberikan landasan untuk tidak mementingkan diri sendirida tiadanya pamrih pribadi dalam setiap tindakan. Mengingat baik habitus (proses persepsi sosial), habitat (kondisi sosial) maupun habit (kebiasaan bertindak) telah berada dalam lingkup kasih bersama Brata Siwaratri. Dengan demikian pengaruh negatif perkembangan iptek pada eglo (era globalisasi) dapat dihindari (Yasa, dkk, 2008 :127).

III.        Penutup
Atas dasar analisis – analisis diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa gambaran cerita Lubdhaka adalah mengandung makna spiritual dari seseorang yogi yang tekun memuja Dewa Siwa. Makna tersebut terselubung dalam lapis – lapis karya sastranya, sehingga untuk mendapatkan isinya seseorang harus mengupas terlebih dahulu kulitnya. Ia yang senantiasa mengejar hakikat yang mulia dan telah mencapai puncak yang tertinggi dalam yoga disebut samadhi. Yoga dalam siwaratri dilaksanakan pada hari pengelong 14 kapitu yang dimana sang yogi mendapatkan titik kulminasi dari yoganya yaitu samadhi. Atau juga karena waktu sakral tersebut adalah waktu yang mengandung janji suci Kosmis. Cara bhakti kepada Bhatara Siwa ialah dengan mengendalikan diri sehingga mencapai kesadaran diri. Dengan kata lain Si Ludhaka telah berhasil memburu binatang yang ada dalam dirinya secara sistematis dengan senjata panah (vidya), dan setelah pangelong 14 kapitu sudah binasalah semua buruan binatang yang ada dalam dirinya sehingga mencapai alam siwaloka. Ini dilambangkan dengan jagrabrata, melaksanakan upawasa dan monabrata. Lubdhaka sebagai seorang pemburu. Kerjanya hanya membunuh, menyakiti, menyiksa itu disebut himsakarma. Himsakarma yang dimaksud adalah membunuh Sang Ego dalam diri, sehingga timbulah rasa kasih terhadap ciptaan Tuhan. Atas dasar inilah ahimsa karma menjadi dasar ajaran yoga. Setelah melalui tahap ahimsa karma inilah seseorang melaksanakan yoga ke tahap berikutnya.
Ada tiga wacana penting yang tampaknya secara runut diformulasikan oleh Mpu Tanakung dalam karyanya : Kakawin Siwaratrikalpa. Wacana ynag dimaksud (1) akabwatan lango “berusaha mendapat pengalaman estetik” (2) muktang klesa “ruwat dari dosa” (3) mulihang nirasraya “kembali pulang keasal, mencapai kelepasan atau mencapai pengalaman religius”. Itulah ke-papa-an yang ia ingin ruwat dengan yoga sastra dan dengan ruwatan ia mendapat bekal untuk mencapai tujuan akhir yakni mencapai kelepasan. Inilah juga tujuan dari disiplin ilmu yoga.
Tujuan akan tercapai melalui perjalanan yang panjang yang dibumbui dengan berbagai rintangan. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan manusia harus fokus atau kosentrasi dan tetap teguh demi tercapainya tujuan itu. Inilah proses yang sama, yang ditawarkan oleh jalan yoga yang disebut astanggayoga. Jadi, dengan demikian dapat penulis katakan Brata siwaratri adalah salah satu bentuk ajaran yoga. Hanya saja bentuk ajaran yoga yang didominasi oleh jnana yoga yaitu pengendalian yang lebih ditekankan pada diri sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sudibya bahwa “Bebanten tapa, brata, yoga dan semadhi merupakan bagian dari kehidupan untuk melihat diri ke dalam sebagai salah satu upaya tanpa lelah dan tanpa henti dalam mengendalikan keinginan tanpa batas yang distimulasi panca indria” (Sudibya, 1997 :65).

Daftar Pustaka
Atmaja, I Made Nata,dkk. 2009. Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Surabaya:Paramitha

Kamajaya,  Gede. 1998. Yoga Kundalini (Cara Untuk Mencapai Siddhi dan Moksa). Surabaya: Paramita

Maswinara, I Wayan. 2000. Kedamaian di Tengah – Tengah Prahara. Surabaya : Paramita

Maswinara, I Wayan. 2000. Lima Nilai Kemanusiaan dan Keunggulan Manusia. Surabaya : Paramita

Rasti, Ni Wayan, dkk. 2004. Siwaratri, Tinjauan Sosioreligius dan Filosofis. Surabaya: Paramitha

Sudharta, Tjok Rai. 1992. Siwaratri Makna dan Upacara. Denpasar : PT Upada Sastra

Sudibya, I Gde. 1997. Hindu dan Budaya Bali Bunga Rampai Pemikiran. Denpasar : PT BD

Watra, Wayan, dkk. 2007. Pandangan Filosofis, Etika dan Upakara Dalam Siwaratri di Era Modern. Surabaya: Paramitha

Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri (Wacana Perburuan Spiritual Dulu dan Kini). Denpasar: Fakultas Ilmu Agama UNHI Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma

Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar: Fakultas Ilmu Agama UNHI Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar