Rabu, 18 Desember 2013

Historis Sanggah Dadia Banjar Let Desa Sukawana Paketan



HISTORIS SANGGAH DADIA BANJAR LET
BANJAR PAKETAN, DESA SUKAWANA

2.1 Sejarah Pembangunan Sanggah Dadia Banjar Let
Sejarah berdirinya Sanggah Dadia Banjar Let ini berakar dari Pasek Kayu Selem yang berada di Desa Songan. Dikatakan bahwa Sang Pasupati memiliki putra yang bernama Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Mereka adalah 5 orang Brahmana yang bersaudara kandung. Mereka lazim disebut dengan panca Rsi atau Panca Dewata yang terlahirkan di Bali. Kelima Mpu itu pada masa kecilnya pernah belajar di Bharata Warsa (India) setelah tamat dari pendidikannnya beliau kembali ke Indonesia dan melakukan yoga di Gunung Semeru Jawa. Mereka sangat terkenal dengan karena kepandaian dalam berbagai ilmu, seperti agama, pemerintahan, kedyatmikan dsb. Keempat bersaudara tersebut menetap di Bali kecuali Mpu Baradah tinggal di Jawa Timur sebagai penasehat raja Erlangga ( Sadia, dkk,1982 :95-96 ; Soebandi, 2008 : 32-33 ; Soebandi, tp : 44-45).
Mpu Semeru alias Mpu Mahameru pemeluk aliran Siwa, tiba di Bali pada hari Jumat kliwon Wuku Pujut purnamaning sasih kawulu candra sengkala Jadma siratmaya muka, tahun icaka 921 (tahun 999 M) selanjutnya berparhyangan di Besakih. Bilau memiliki putra yang bernama Mpu Kama Reka yang berparhyangan di Tapuriang. Mpu Kama Reka memiliki anak kembar buncing yang bernama Ni Ayu Cemeng dan Kayu Ireng. Singkat cerita Setelah pernikahan Ni Ayu Cemeng dengan Kayu Ireng yang kemudian bertempat tinggal di Goa Song, membuahkan empat orang anak yang bernama Kayu Selem, Celagi, Kayua dan Kayu Menyan. Masing – masing anak beliau bertempat tinggal menyebar di tempat yang berbeda – beda. Kayu Selem berstana di desa Songan, Taru Menyan berstana di Desa Truyan, kayua berstana di Desa Pinggan dan Celagi di Pedaan atau Padang sari.
Sebagai warga Pasek Kayu Selem mengalami penyebaran di seluruh pelosok wilayah Bali dan tibalah seorang wayah bernama Prau yang memiliki dua orang anak, satu anak laki dan  satu anak perempuan di Desa Sukawana, Banjar Paketan. Anak perempauan beliau menikah di daerah Desa Sukawana di banjar Kelod namanya. Anak laki – lakinya yang bernama Wayah Tindih memiliki 13 orang anak yang terdiri dari 12 anak laki – laki serta seorang anak perempuan dan tetap menetap di Banjar Paketan. Anak perempuannya menikah di daerah Kintamani, kemudian anak  laki-laki beliau menyebar ada yang bertempat tinggal di daerah Blandingan, Panji, Tamblang, Munti, Metra, Tiingan (Plaga), 3 orang laki yakni (Komor, Tekun, Wande) tetap menetap di Banjar Paketan sisanya belum diketahui. Nah, kemungkinan dari ketiga pendahulu inilah yang menetap dan tinggal meneruskan keberlangsunagan hidup. Hingga tumbuh berkembang menjadi banyak dan mendirikanlah pemujaan kepada leluhur yang kini disebut sebagai Sanggah Dadia Banjar Let.
            Bagan perjalanan pendahulu atau wayah hingga menetap di balik bukit panorajan atau bukit penulisan sekarang.
Sang Pasupati
      Tapu Riang            Goa Song        Kayu Selem     Paketan

2.2 Palingih – palinggih Sanggah Dadia Banjar Let
Sebelum Mpu Kuturan datang ke Bali, hanya ada tiga pura yang dikelola oleh kerajaan – kerajaan di Bali yaitu : Pura Segara lambang dari Bhur loka, Pura Penataran lambang Bhuah Loka dan Pura Puncak lambang Swah Loka (Wiana, 1993 : 82-83). Namun ketika pada masa pemerintahan Gunaprya Dharmapatni atau Udayana Warmadewa pada Icaka 910 sampai dengan 933 (988 sampai dengan 1011 M). Tatkala ketika itu penduduk kerajaan Bali mayoritas orang – orang Bali Mula, yang menganut 9 aliran yang disebut dengan sekte atau paksa. Dimana dalam pelaksanaan keagamaannya memuja salah satu Tuhan sebagai Istadewatanya. Hal ini kemudian yang mengakibatkan berbagai perselisihan. Oleh sebab itulah, Panca Rsi diatas diundang oleh Raja Bali ketika itu untuk membantu mengatasi kemelut yang terjadi daam tubuh masyarakat Bali Mula terkecuali Mpu Baradah (Soebandi, 2008 :31).
Pada suatu hari Mpu Kuturan selaku ketua Majelis Pakira-kiran I Jro Makabehan, mengadakan rapat besar atau pasamuan agung  di Bataanyar. Rapat ini mengundang tokoh dari masing – masing penganut keprcayaan dan pemeluk agama, yang dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni :
a.       Mpu Kuturan alias Mpu Rajakretha atau pemimpin rapat besar sebagai wakil dari penganut Buddha.
b.      Tokoh dari masing – masing penganut sekte atau paksa dari orang – orang Bali Mula
c.       Tokoh dan peminpin aliran Siwa yang diwakili oleh Mpu Semeru.
Dari rapat besar itu salah satu keputusan penting yang ditelorkan setiap anggota Desa Pakraman diberikan secutak tanah untuk pekarangan rumah, dan keharusan mendirian tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur dengan palinggih pokok berbentuk rong tiga pada masing – masing rumah tangga, kemudian palinggih ini dikenal dengan sebutan Kamulan dan tempat susi ini sekarang lazim disebut merajan atau sanggah( Soebandi, 2008 :38).
Merajan dilihat dari istilah berasal dari bahasa Sanskerta yaitu raja atau yang disebut juga rajan secara umum berarti raja sebuah sebutan kepala pemerintahan. Kata rajan mendapat awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna sebagai tempat untuk memuliakan dan memuja yang dalam kesempatan itu berarti tempat memuliakan arwah leluhur. Sedangkan kata sanggah berasal dari kata sanggar secara harfiah berarti kuil atau sangga yang dalam kaitan anangga yang berarti memegang tinggi – tinggi juga berarti pula bermakna menjungjung atau memuja. Sanggah berarti tempat suci untuk menjungjung tinggi atau memuja leluhur. Dengan demikian antara merajan dengan sanggah memiliki makna yang sama sebagai tempat untuk memuja arwah leuhur (Soebandi, 2008 :23 – 24).
Menurut lontar siwagama, tempat suci ini dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu pura untuk keluarga dalam pekarangan rumah yang disebut Kemulan. Pura untuk tingkatan keluarga yang lebih besar memiliki palinggih dan Gedong Prtiwi yang sering disebut pura Merajan Gede atau Sanggar Gede.
Pura Kawitan yaitu Pura yang Penyiwinya ditentukan oleh ikatan ”Wit” atau asal muasal atau ikatan leluhur berdassarkan garis keturunan geneologis seperti : Sanggah/pemerajan, Prthiwi, Ibu/Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedarman dan sejenisnya. Jenis pura yang tergolong pura kawitan ini juga sering disebut pura dadia  dan pura Batur (bukan pura batur yang ada di kintamani). Yang dimana pura kawitan ini berfungsi untuk memuja roh leluhur yang telah Sidhadewata (telah mencapai alam ketuhanan) dan jika dilihat dari segi sosiologis pura kawitan ini juga berfungsi untuk mempersatukan atau merukunkan umat dari tingkat keluarga terkecil hingga tingkat keluarga paling besar yang berasal dari satu keturunan. (Wiana, 1993 : 82-83).
Mengenai jumlah palinggih – palingih yang dibangun di masing – masing dadia berbeda – beda jumlahnya karena terkadang palinggih – palinggih yang dibangun itu dibuat berdasarkan orang – orang yang dianggap berjasa dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itulah, jumlah bangunan antara dadia yang satu dengan dadia yang lainnya tidak tentu jumlahnya.
Sesuai dengan bukti tulisan yang terdapat dalam Balai Peparuman atau Pelik Sanggah Dadia Let ini dilakukan pembugaran pertama kali pada tanggal 6 April 1989 dan selesai penggarapannya tanggal 2 September 1989. Setelah pebugaran pertama, maka pada tahun 2011, dilakukan pembugaran kembali yakni menggunakan padas hitam. Sanggah Dadia Let terletak di sebelah kanan jalan, (jalan menuju Pura Dalam Balingkang) tepatnya di sebelah utara balai Banjar Paketan. Pengemong Sanggah Dadia Banjar Let terhitung jumlahnya hingga saat ini adalah 108 kepala keluarga. Terkait dengan pembangunan palinggih yang ada di Dadia Banjar Let pertama dibuat untuk memuja leluhur (Sidhadewata), kedua memuja beberapa istadewata sebagai dewa tertinggi dan ketiga juga untuk memuja orang – orang yang telah berjasa untuk keberlangsungan hidup masyarakat dengan bentuk palinggih Gedong Perucut. Wayan Nurkancana mengatakan bahwa bangunan dan jenis pemujaan dalam Sanggah Dadia disesuaikan dengan kepercayaan yang dianut, jika paham dwaita yang dianut maka ada pemujaan terhadap pertama kepada Parama siwa atau Tuhan yang Esa, kedua Sada Siwa setaraf dengan Dewa – dewa dan yang ketiga adalah pemujaan terhadap Siwatma atau Jiwatma atau juga roh leluhur.
Adapun palinggih Sanggah Dadia Banjar Let Sukawana, Br Paketan adalah sebagai berikut :
Jeroan atau utama mandala terdiri atas :

1.         Balai  Peparuman atau Pelik
Pada hari piodalan di sanggah dadia Banjar Let pratima atau benda – benda yang disakralkan yang menjadi wakil wadagNya dihias dengan segala macam hiasan kebesaran, dan diarak dengan segala kemegahan untuk kemudian ditahtakan di balai peparuman atau pelik (balai pesamuan). Di balai inilah Bhatara-bhatari dan tamunya mengambil tempat untuk turut untuk merayakan hari besar di Sanggah tersebut, dan bersama tuan rumah menerima penghormatan dan persembahan dari umat. Balai peparuman atau pelik ini juga berfungsi sebagai tempat untuk menghaturkan upakara atau sesajen pengenem ulu celeng.


2.      Palinggih Ibu Kamimitan
Menurut keputusan dalam seminar kesatuan tafsir terhadap aspek – aspek agama hindu dimana ditetapkan bahwa kemulan rong tiga adalah palinggih Tri Murti atau Hyang Kamimitan atau Hyang Kemulan. Oleh sebab itu Palinggih Hyang Kemulanatau Ibu  Kamimitan atau disebut juga Hyang Kemulan sebagai tempat memuja asal muasal manusia atau kawitan. Kedua kata ini berasal dari kata kemulan yang berasal dari kata mula “ asal” dan wit “sumber”. Memuja Tuhan dalam fungsinya sebagai leluhur disebutkan dalam Bhagavagita X sloka 23 dinyatakan bahwa “apapun yang kau puja, akan sampai juga kepada-Ku” (Jendra, 1998 :77). Lalu memuja Bhatara Guru, yakni Tuhan sebagai Guru dengan tujuan agar mendapat pencerahan pikiran sehingga dapat melakoni hidup sepatutnya. Dalam rangka itu dilakoni tradisi berguru untuk mendapat ilmu pengetahuan duniawi maupun spiritual. Rsi yadnya. Tetapi juga berarti hormat kepada leluhur, karena leluhur sekaligus juga dapat dipandang sebagai guru keluarga. Beliau di stanakan dan dipuja di sanggah kemulan (di ruang kanan dan ruang kiri ): pitra yadnya. Secara simbolik ia melakukan pemujaan bhakti dalam bentuk upacara dewa yadnya: melakukan pemujaan kepada Dewa, Ayah Ilahi di sanggah kemulan (ruang tengah) (Yasa, dkk, 2006 :52).
Dengan demikian  bangunan Ibu Kamimitan yang berong (me-ruang) tiga dihubungkan juga dengan ajaran Tri Rnam, yakni Tiga Hutang manusia yang harus dibayar kepada :
1)      Hutang kepada Sang Hyang Widhi dan semua manifestasiNya
2)      Hutang kepada Maha Rsi
3)      Hutang kepada leluhur ( Sudarsana, 1998 :62)
Menurut keputusan dalam seminar kesatuan tafsir terhadap aspek – aspek agama hindu dimana ditetapkan bahwa kemulan rong tiga adalah palinggih Tri Murti atau Hyang Kamimitan atau Hyang Kemulan. Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No. 41/2003) hal tersebut sejalan dengan lontar – lontar berikut ini :
1)        Lontar Usana Dewa yang menyatakan dsb:
Yang berstana pada hyang kemulan adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para Siwa yaitu ayah. Di kemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu ibu. Di kemulan rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang Hyang Tuduh
2)        Lontar Gong Besi
“....pada kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang Kuasa yaitu Sang Hayng Tunggal, mempersatukan wujud....”
3)        Lontar Purwa Bumi Kemulan
Yang berstana di Sanggah kemulan adalah Atman sebagai Bhatara Guru
4)        Lontar Siwa Gama Kemulan
Yang berstana di sanggah kemulan adalah Sang Pitara dengan menyebutkan “....Kramanta Sang Pitara muliheng batur Kamulannya nguni”
Jadi, lontar – lontar tersebut, menekankan bahwa yang berstana di palinggih Ibu Kamimitan atau Hyang kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru. Jika ada yang menyatakan bahwa yang berstana di sanggah Kemulan adalah Tri Murti dalam pengertian Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai dewa Brahma, Visnu dan Siwa maka pemikiran itu tidaklah benar. Tegasnya, Roh suci leluhur atau Dewa Hyang atau Bhatara Bhatari keluargalah yang distanakan dan disembah di Kemulan Rong Tiga dan atau Kemulan Rong Kalih (Suhardana, 2006 : 123-124).
Sehingga dapat penulis katakan bangunan palinggih Ibu Kamimitan yang berong tiga tersebut adalah palinggih tempat memuja Leluhur, yakni rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang Tunggal.

3.         Palinggih Ayu Mas Melanting
Palinggih Ayu Mas Melanting adalah pemujaan Tuhan dalam bentuk Dewi Kemakmuran dan kesejahteraan umatnya yaitu Dewi Laksmi atau Dewi Sri. Tuhan diibaratkan adalah seorang presiden yang memiliki banyak ajudan seperti DPR, Mentri, Gubenur, Bupati dll. Nah, palinggih inilah yang dipersonifikasikan sebagai ajudan presiden. Ketika rakyat kecil ingin memohon bantuan berupa dana untuk keberlangsungan, maka pengajuan proposal ini tidak secara langsung diajukan kepada presiden namun melalui tangan dan kaki atau bawahan Presiden tersebut. Begitu halnya Presiden ketika menyumbangkan segala sesuatunya sebagai wujud partisipasinya kepada rakyat mesti melalui bawahannya (Jendra, 1998:77). Inilah sekiranya usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui cara memanusiakan Tuhan agar jarak antara manusia dengan Pencipta terasa dekat seperti layaknya ibu dan anak. Palinggih ini juga tempat pemujaan bagi masyarakat yang memiliki kesamaan profesi. Profesi sebagai petani penghasil palagantung, palabungkah. Petani tentu mengambil juga profesi sebagai pegadang untuk menjual hasil panen mereka kepada saudagar. Sehingga tidak salah jika masyarakat Dadia Banjar Let juga mendirikan palinggih ayu Mas Melanting sekalipun daerah ini jauh dari pasar. Palinggih Ayu Mas Melanting merupakan salah satu palinggih penyawangan dari Pura Subak Tenten yang berada di sebelah timur dekat SDN 4 Sukawana Banjar Paketan.
Dengan adanya pemujaan Dewi Laksmi yang diyakini sebagai Dewi yang memberi rejeki sehingga manusia menjadi makmur, dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi bahagia. Dalam konsepsi Hindu diyakini Dewi Laksmi adalah sakti dari Dewa Wisnu. Sehingga dapat penulis katakan bahwa bangunan palinggih Ayu Mas Melanting merupakan adanya pengaruh dari sekte Waisnawa.

4.         Palinggih Ratu Ayu Subandar
Palinggih ratu Sunbandar ini adalah pemujaan terhadap dewa yang tidak terdapat dalam nama – nama dewa tertinggi dalam Agama Hindu sekalipun demikian, tetap memiliki kedudukan yang sama terhormatnya dengan dewa – dewa dalam Agama Hindu. Palinggih ini merupakan penyawangan dari Pura Ulundanu Batur di Desa Batur, Pura Balingkang di Desa Pinggan dan pura Penataran Agung Besakih, pemujaan yang diwarisi sebagai pemujaan yang mengikuti tradisi cina (Gunawan :2012:20).
Keberadaan Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar ini memiliki dua warna mencolok yakni merah dan kuning. Merupakan warna ciri khas tempat peribatatan masyarakat Tionghoa. Tempat pemujaan khusus kepada Kang Cing Wie istri raja Sri Jaya Pangus. Palinggih ini diyakini sebagai tempat pembawa berkah.
Ini menandakan masyarakat Bali sejak jaman prasejarah telah memiliki hubungan kekerabatan melalui jalur perdagangan. Sebagai juga sebuah kajian historis bahwa kata ratu yang diduga berasal dari bahasa Austronesia, yang merupakan pemujaan terhadap leluhur oleh masyarakat Bali (Ardika, 1997 :6). Dilihat dari bangunan dan bentuk Palinggih Ratu Ayu Subandar yang merupakan penyawangan dari Pura Dalem Balingkang menggunakan sejumlah uang kepeng dan gunci sebagai tempat menaruh dupa. Dari uraian ini maka bangunan Palinggih Ratu Ayu Subandar adanya pengaruh dari etnis Cina dengan kepercayaan Buddha. Mungkin jadi, ada juga pengaruh dari sekte Boddha.

5.         Palinggih Padmasana atau Surya
Padmasana berasal dari dua kata padma yang berarti teratai merah dan asana yang berarti sikap duduk. Padmasana berati tempat duduk dari teratai berwarna merah (Titib, 2003 : 106). Padmasana adalah lambang makrokosmos atau alam semesta yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Siwa Aditya). Palinggih surya adalah bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai upa saksi segala kegiatan manusia yang berkaitan dengan upacara yadnya. Dalam lontar Siwagama gelar Surya Raditya adalah gelar atas anugrah dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena bhakti dan kepadaian beliau oleh sebab itu dalam segala ritual beliau sebagai saksi atas pelaksanaan upacara yadnya tersebut. Dijelaskan oleh I GB Sugriwa, Dwijendra Tattwa (1991 :5) sebagai symbol luhuring akasa dan sebagai symbol upasaksi terhadap kegiatan yajna.
Bahan bangunan umumnya terbuat dari batu padas, kadang – kadang dari batu karang laut (putih) atau juga daribatu lahar (gunung agung). Dari bentuknya yang sederhana padmasana terbuat dari pasir semen dan tidak ad yang mengunakan kayu.  Kadang – kadang pada belakang bangunan terdapat pahatan burung Garuda yang mendukung Dewa Visnu yang membawa Amrtha. Kadang – kadang dipahatkan pula ukiran angsa yang sedang mengepak – empakkan sayapnya. Tidak ada padmasana sebagai pemujaan terhadap roh leluhur (Atmasiddhadevata). Bangunan atau palinggih Padmasana tersebar pada sebagian pura di Bali dan juga hampir semua pura di luar Bali menggunakan Palinggih Padmasana sebagai palinggih utama. Di Besakih misalnya bangunan padma berjejer berdiri tiga dengan yang dilinggastanakan adalah Parama Siwa (tengah), Sada Siwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri) (Titib, 2003:107).
Dapat dilihat pada gambar Palinggih Padmasana diatas menggunakan batu padas. Dibelakangnya (seperti gambar disamping ) dipahatkan relief Dewa Visnu yang menunggangi burung Garuda diatasnya burung angsa dan Padmasana ini beruang (me-rong) satu dengan palih tiga yaitu palih taman (bawah), palih  sancak (tengah) dan palih sari (atas), tidak menggunakan bedawag nala. Dilihat dari rong dan pepalihan maka padmasana yang ada di Banjar Let ini adalah jenis padmasari. Palinggih ini barada di tempat timur laut menghadap barat daya. Bangunan ini merupakan kristalisasi dari sekte Sora (surya).

6.         Palinggih Kayu Selem
Walaupun sudah mendirikan sanggah kemulan, masyarakat juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci asalnya. Pemujaan ini dilakukan pada setiap adanya upacara dalam tempat suci tersebut. Untuk menghemat biaya dan untuk memudahkan jalan persembahyangan, dewa-dewa yang bersemayam di tempat suci asalnya dibuatkan palinggih dalam sanggah pamrajan yang bam itu. Karena demikian, maka tidak mengherankan apabila palinggih­-palinggih di dalam sanggah pamerajan tidak tetap jumlahnya dan bisa mencapai duapuluhan, malahan bisa lebih. Palinggih Kayu Selem adalah palinggih penyawangan Pasek Kayu selem yang berada di Desa Songan. Palinggih inilah yang mencirikan warga masyarakat Dadia Banjar Let sebagai warga pasek Kayu Selem.

7.         Palinggih Padang Sari
Palinggih padang sari adalah pelanggih penyawangan dari kawitan yang berada di Pedaan Padang sari yang merupakan salah satu semeton Kayu Selem. 

 8.         Palinggih Taksu
Bangunan ini menggunakan batu padas, yang berong satu, mengenai kata taksu memiliki fungsi sebagai pemberi kekuatan kepropesionality kepada masyarakat sesuai dengan keahliannya. Agar apa yang menjadi perannya dalam masyarakat mampu dimainkan seseorang dengan sungguh – sungguh sehingga orang tersebut dikatakan metaksu atau berkharisma. Menurut ajaran agama Hindu profesi tersebut ada sepuluh yakni :
1)      Guna Rsi profesi sebagai pendeta
2)      Guna Wibawa profesi sebagai pagawai, pejabat
3)      Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
4)      Guna sangging profesi sebagai tukang pahat
5)      Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi dan pemusik
6)      Guna Balian, profesi sebagai dukun, bidan, perawat dsb
7)      Guna Sastra profesi sebagai pengarang, pengawi, penulis
8)      Guna Dagang, profesi sebagai saudagar, pengusaha
9)      Guna Senteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama
10)  Guna Tani profesi sebagai petani
Dengan adanya sepuluh profesi memerluksn snugrsh dari Ida Hyang Widhi melalui manifestasiNya yaitu Sang Butha Kala Raja, beliaulah sebagai Sedahan Taksu. Taksu itu sesungguhnya adalah kekuatan magis dari Ida Hyang Widhi, dimana kekuatan tersebut adalah kekuatan gravitasi (gaya tarik) dan kekuatan tersebut menyatu dengan kekuatan manusia serta membangkitkan manusia sehingga manusia memiliki kharisma, kakuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya. Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat perlu dibuat sebagai stana beliau (Sudarsana, 1998 :63-65)

9.         Palinggih Kemulan
Bentuk bangunan ini adalah menggunakan turus lumbung yang berong satu. Tiangnya menggunakan kayu dapdap dan tempat rongnya menggunakan pohon bambu yang dijalin setengah lingkaran dan untuk menyatukan antara tiang dan rongnya digunakan tali dari ijuk yang dijalin. Pada gambar tidak terlihat tiang dapdap dan rongnya, karena masih dalam proses pembugaran jadi palinggih kemulan ini masih rusak. Fungsi bangunan ini adalah bukti secara niskala bahwa masyarakat nunas tanah di areal tersebut untuk dibanguni sanggah atau merajan. Sehingga tidaklah salah kenapa bangunan ini disebut kemulan (mengingat kemulan berarti mula) karena bangunan inilah yang pertama didirikan.
Perkembangan penduduk yang semakin lama makin bertambah banyak. Karena kepadatan penduduk, banyak penduduk yang semula tinggal dekat tempat-tempat suci pergi ke tempat lain yang agak jauh. Perpindahan ini mungkin disebabkan oleh karena mencari penghidupan yang baru atau karena desanya dirasa tidak aman, sering terjadi kerusuhan dan perampokan seperti halnya desa Ju1ah pada sekitar abad XI, sebagaimana diberitakan dalam prasasti Sembiran A IV. Pada tempat yang baru ini, mereka membuat suatu bangunan yang sifatnya sementara. Bangunan ini dibuat dari ”turus pohon dapdap” sebagai tiangnya dan dibuatkan sebuah ruangan dengan balai-­balai yang dibuat dari bambu untuk tempat me1etakkan sajian. Bangunan suci jenis ini disebut ”turus lumbung” http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/05/esensi-konsepsi-pura-sebagai-tempat-suci-di-bali/ (kamis 18 okt. Pukul 8:55).
Dapat penulis contohkan Sanggah Turus Lumbung (lihat gambar disamping namun gambar ini adalah sanggah turus lumbung yang ada di masing – masing pekarangan rumah) Sanggah yang terbuat dari pohon dapdap dan juga di awal pembuatan sanggah, banyak umat yang menggunakan pepohonan ini yang dipercayai sebagai taru sakti. Turus dapdap merupakan tameng atau perisai, yakni alat untuk melindungi diri ; dan lumbung, yakni tempat untuk menyimpan padi untuk penghidupan. Namun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi maka didirikanlah sanggah permanen. Mengenai batasan waktu penggunaan turus lumbung memang secara mutlak tidak ada ketentuannya. sebab sesuai dengan sifat ajaran agama hindu yang luwes, pengalamannya selalu dikembalikan kepada umat yang bersangkutan, Terutama masalah kemampuan umat untuk membuat sanggah yang permanen atau tidak. Sebagaimana disebutkan, sanggah ini juga merupakan salah satu tempat suci dalam pekarangan rumah.
Namun keberadaan Sanggah Turus Lumbung di Desa Sukawana masih tetap eksis sekalipun taraf ekonomi penduduknya sudah dapat dikategorikan cukup. Bangunan palinggih ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal) yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal inilah yang disebut ” kemulan atau sanggah kemulan”. Peninggalan-peninggalan bangunan ini juga dapat dijumpai di desa­-desa Bali Kuno, seperti di Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno lainnya. Lama kelamaan oleh karena kebudayaan manusia makin maju, maka dalam perkembangan sejarah bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (merong dua). Dalam perkembangan selanjutnya bangunan rong dua berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu. Bangunan seperti ini merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur mereka yang telah disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan yang memakai ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti sebagai sanggah kemulan, sebagai tempat pemujaan leluhur.

10.     Pyasan Kayu Selem
Pyasan berasal dari kata pehiasan artinya tempat untuk menghias atau merangkai simbul arca, daksina palinggih. Namun khusus pada bangunan ini adalah Beliau Ida Bhatara – Bhatari Kayu Selem sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Pyasan kayu selem ini dibuat untuk tempat pertemuan Ida Bhatara- Bhatari Kayu Selem, yang berlangsung pada setiap ada upacara di sanggah dadia,  pyasan ini berfungsi sebagai balai untuk Bhatara-Bhatari berhias. Dengan kata lain Pyasan adalah bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, dimana disini juga diletakkan sesajen (banten) yang dihaturkan kepada dewa yang dipuja sebagai jamuan layaknya seseorang yang bertamu.

11.     Pyasan Padang Sari
Pyasan ini berfungsi sama halnya dengan pyasan Kayu Selem yakni untuk balai pertemuan Bhatara – bhatari Padang Sari dengan semetonNya yakni Bhatara-bhatari Kayu Selem dan juga tempat persembahan jamuan kepada Bhatara- bhatari yang dipuja di tempat suci asal mula.

 12.     Palinggih pasimpangan pegonjongan
adalah bangunan yang hanya menyediakan tempat singgah bagi para dewa, yang bertahta di tempat lain, tetapi menjadi pelindung tetap dari pura itu. Namun demikian, jika dihayati lebih mendalam, sesungguhnya bukan saja pasimpangan, melainkan palinggih pun dan bahkan puranya sendiri merupakan tempat singgah belaka dari para dewa. Dikatakan demikian, karena tempat menetapnya ada1ah di “kahyangan atau di puncak gunung”. Kedatangannya di pura hanyalah pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu diadakannya upacara piodalan di pura itu. Pada saat inilah pura itu penuh dengan”tamu agung” yang terdiri atas semua para dewa yang ada sangkut pautnya dengan pura tersebut.

Jaba Tengah atau madya mandala terdiri atas :
  
13.     Pasimpenan Siang Anti
Siang Anti berfungsi sebagai tempat persimpanan benda yang disakralkan. Adapun benda yang disakralkan yang disungsung oleh dadia Sanggah Let berupa : Bajra Sangku, Saka, Keris, Manik, dan Jinah Gempeng atau uang Bolong. Ketika hari piodalan benda – benda sakral ini di arak kemudian di wangsuh dan ditempatkan pada balai paruman atau pelik. Setelah upacara piodalan usai maka para Bhatara - bhatari kembali lagi ke persemayaman masing­-masing dan benda – benda sakral ini diarak kembali ke tempat penyimpanannya yakni Persimpenan Siang Anti.
Dari uraian diatas, benda – benda sakral atau pratima merupakan adanya pengaruh dari sekte pasupata karena cara pemujaan yang menggunakan sarana berupa benda – benda sakral sebagai simbol tempat turunnya atau berstananya Tuhan adalah ciri dari sekte pasupata. Benda sakral seperti jinah gempeng atau uang bolong yang merupakan bukti pengaruh kebudayaan Budhha di Bali yang jika ditinjau hal ini merupakan pengaruh dari sekte Boddha.

14.     Palinggih Hyang Balian
Bangunan palinggih ini digunakan untuk memuja roh – roh yang telah suci yang dianggap berjasa dalam kehidupan pengempon Sanggah dadia Banjar Let. Seperti layaknya tugas balian yang dapat dikatakan sebagai seorang tabit atau orang yang ahli dibidang pengobatan.  Seperti dukun, dokter, perawat, bidan dll. Boleh jadi masyarakat pengempon Sanggah Dadia Banjar Let nunas tamba (obat) kepada Balian. Sehingga untuk mengenang jasa – jasa beliau dibuatkanlah palinggih Hyang Balian. Palinggih ini berdiri diujung utara diantara Palinggih Dewa dan palinggih Truna Pangod.

15.     Palinggih Dewa Hyang
Palinggih Dewa Hyang adalah palinggih yang digunakan untuk menstanakan Leluhur yang telah mendapat upacara pitra yadnya atau ngaben. Letak palinggih ini diantara palinggih Hyang Balian dan palinggih Truna Pangod. Palinggih ini juga sebagai tempat memuja leluhur, mengahatur sesajen atau soda baik ketika upacara atau tidak. Misalnya seperti hari raya Galungan dan Kuningan, dan juga hari raya Posa. Sesajen ini juga dihaturkan pada Palinggih Hyang Balian dan Truna Pangod.

16.     Palinggih Truna Pangod
Bangunan palinggih ini digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur yang tidak menikah atau sukla brahmacari. Palinggih ini berdiri paling selatan diantara palinggih Dewa Hyang dan Hyang Balian.

17.     Palinggih Tugu
Bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan luas dasar sekitar 0,60 X 0,60 meter, tinggi sekitar 2 meter terdiri dari tiga bagian yaitu dasar, badan, kepala atau tepas, batur dan tengek.dari bawah mengecil ke arah bidang – bidang pasangan membentuk ruangan tempat sesajen. Bahan bangunan dari batu alam, batu karang laut atau jenis batu lainnya. Fungsi bangunan untuk menstanakan sarwa Bhuta/kala atau roh – roh halus lainnya. Bila bangunan prasada, meru dan padmasana atau gedong mengambil tempat pada posisi utama mandala (di timur berjejer ke barat), maka bangunan Tugu mengambil posisi selatan atau barat yang disebut posisi teben. Tugu disamping dibuat di Sanggah Dadia juga dibuat di pekarangan rumah dan di tempat – tempat yang diyakini angker biasanya sebagai palinggih Banaspatiraja (Titib, 2003:110).
Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan suci Tugu adalah Sang Hyang Durga Manik sebagai kekuatan pelindung, pengayom, dan pendidik umat manusia. Dikatakan sebagai pelindung dan pengayom karena Beliau memiliki kemahakuasaan menolak perbuatan jahat dan Beliau memberi anugrah jalan kehidupan manusia mencapai keserasian, keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Dikatakn mendidik, apabila manusia lupa dengan keberadaan Beliau maka Beliau akan mendidik dengan cara mengganggu keserasian, keseimbangan manusia dengan alam sehingga muncul bebarapa permasalahan seperti sakit, keributan rumah tangga, kemandulan dsb. Dengan demikian Beliau memiliki dua kekuatan yaitu kekuatan Dharma dan kekuatan wisesa atau yang seing dikenal oleh pemuja Siwa adalah Siwasakti. Oleh sebab itulah, kain poleng yang menjadi busanaNya menjadi simbul kedua kekuatan tersebut (Sudarsana, 1998 :67-68).
Dilihat dari fungsi bangunan tersebut jika dikaitkan dengan sekte – sekte yang pernah berkembang di Bali. Dimana Tugu diposisikan sebagai stana sarwa Bhutakala atau roh – roh alam bawah untuk mengatur atau menolak kekuatan-kekuatan (niskala) magis atau untuk melindungi manusia. Tentu jika ditinjau dari kedudukan Palinggih Tugu ini, dapat disamakan dengan kedudukan Ganesa sebagai Dewa Wigna yaitu penghalang gangguan. Sehingga dapat penulis katakan pelingigih Tugu ini adalah pengaruh dari sekte Gonapatya.

Nista Mandala terdapat palinggih :
18.     Palinggih Pengubeng
 Palinggih Pengubeng ini berfungsi untuk tempat mengayat atau mohon ijin dari nista mandala bagi masyarakat Sanggah Dadia banjar let yang mengalami cuntaka. Layaknya seorang anak yang hendak jalan – jalan atau berpergiaan sudah tentu mohon ijin atau restu kepada orang tuanya namun ketika anak ini tergesa – gesa maka anak ini minta tolong atau nitip pesan kepada adiknya untuk menyampaikan mohon restu kepada orang tuanya. Secara sekala boleh jadi kedudukan ini disamakan dengan seorang satpam (security) atau juga tukang pos.

2.3 Jenis Upakara dan Mantra pada Upacara Piodalan
Upacara piodalan Sanggah Dadia Banjar Let jatuh pada hari anggara kliwon wuku Julungwangi atau anggara kasih Julungwangi. Pangider – ider menggunakan warna putih kuning. Benda – benda yang disakralkan di  Pasimpenan Siang Anti diwangsuh dengan tirta dan miik – miikan oleh Pemangku atau orang – orang yang berwenang. Adapun upakara yang dihaturkan, sebagai berikut :
1.        Upakara di Balai Peparuman atau Pelik
Upakara yang dihaturkan di balai peparuman atau pelik ini disebut pebaktian pengenem ulu celeng yang terdiri atas :

1)      Anteb – anteban yang terdiri dari, lis gede, canang pabuat (tingkih, tepung tawar, teenan) penulis, pemutus, sanggah urip, pasokan.
2)      Suci aturun yang terdiri dari : daksina (telur bebek, telor ayam, tingkih, bawang, suna, pedak (panak pulung) dll), tebasan (tumpeng 22, peras ajengan, ayam, sekar taman, tebu 4 potong, cir , uang kepeng 11,  4 kojong gampel, aled bundar, pragembal (suci istri dan suci lanang), dedari mayong, pengempu (nasi oraan, ceper 3 buah, sesayut jati tunggal, 2 buah aled, injin, kacang saur, injin, tumpeng, pisang, kojong buah besikan, bawang merah, bawang putih, canang mejujuk dsb.
3)      Marga terdiri dari: tumpeng 22, kojong buah besikan, sikep busung dsb.
4)      Jan Lawangan terdiri dari : tumpeng 10, sikep busung, kojong buah besikan, canang dsb.
5)      Longkak udel terdiri dari : buah- buahan, tumpeng 10, sikep busung, kojong buah besikan, jaja (jaja uli, kiping, begina) dsb.
6)      Tapak Malinggih terdiri dari : tumpeng 11, sikep busung, kojong buah besikan, jaja uli, jaja begina, jaja kiping dsb
7)      Siaga Pancoran  terdiri dari : nasi oraan, selangi
8)      Dinding Payung terdiri dari : tumpeng 12, sikep, kojong buah besikan, jaja uli, jaja begina dsb
9)      Dulangan, terdiri dari tipat satu kelenan atau enam butir telor ayam, buah – buahan dengan tempatnya dari dulung, berisi canang sari dan canang besar
10)  Jerimpen, ter dari : jaja begina, jaja bunga, tipat satu kelang lengkap dengan lauknya, beras, benang tukelan atau benang bali, uang kepeng 225 keping, peselan yang terdiri dari injin dan ketan, buah kelapa, buah – buahan, srembeng ron, jaja plakayu, jaja gina, sampyan, dan canang mesila metajuh.
11)  Pajegan sepaa satus dan Pajegan satak selae
12)  Lantasan putih dan Kuning terdiri dari : kain kafan kuning 2 m, kain kafan putih 4 m, kojong buah besikan, sikep busung, uang kertas
13)  Kotak terdiri dari: buah pinang, uang kepeng, canang sari, benang tukelsn, kojong buah besikan dsb
14)  Caratan yang berisi kalungan porosan dan disampingnya payung berukuran kecil berwarna putih dan kuning
15)  Bebangkitan Celeng yang terdiri dari : tatakan urip ( tipat 4 buah, kojong buah besikan 4 buah, canang sari 4 buah, pisang 4 buah, sate 4 buah, jaja uli 4 buah), sesayut bingin (sate lemat dikanan 11 tusukan, sate asem 11 tusukan, tatakan nasi, balung, plamuh, urutan, uraban merah dan putih), tebogan. Bebangkit ini beralaskan sok ulat bisi.
16)  Sekar Murti Kadi Anti terdiri dari : tumpeng, sikep busng, kojong buah besikan, canang sari dsb
17)  Selaran, terdiri dari itik, ayam, peselan (injin, ketan, pinang gebengan, uang kertas) pisang, pohon dapdap, dan tebu.
18)  Tigasan Putih Kuning atau rantasan, terdiri dari kampuh putih kuning, kojong buah besikan, canang kojong dan sesari.
19)  Penyejeg terdiri dari tumpeng 11, bantal – bantalan 11 pesel, kojong buah besikan gampel, kuangen, pucuk dapdap,nasi oraan, ceper 2 buah, uang kepeng 11, bawang merah, bawang putih dsb.


2.        Upakara di Palinggih – palinggih
Upakara yang dihaturkan pada palinggih – palinggih adalah (1) Suci aturun yang terdiri dari daksina, bebek guling seekor, (2) Tebasan Tumpeng 22 canang gede mebaah, ambungan (terdiri dari kaputan base, buah dan tebu), terkecuali pada palinggih padmasana atau surya upakara yang dihaturkan adalah tebasan tumpeng 9 ditambah ajengan putih kuning dan lantasan putih kuning. Upakara yang dihaturkan pada palinggih kayu selem pokok – pokok banten atau upakara yang digunakan berwarna hitam yang terbuat dari injin. Serta Palinggih Taksu menghaturkan banten peras Pejati, Pajegan satak selae.
Dari sekian banyak jenis upakara yang dipersembahkan pada hari piodalan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan. Pada hari piodalan awalnya upakara dipersembahkan ke palinggih Padmasana atau Surya lanjut ke upacara Palinggih – palinggih lain yang ada di Jeroan atau utama mandala selanjutnya menghaturkan upakara di Balai Pelik atau Peparuman. Dalam upacara piodalan di Sanggah Dadia Banjar Let pemuput upakara ini adalah Jro Kubayan Putus atau Pinandita dengan menggunakan mantra yang disebut pujasana. Pujasana adalah bahasa komunikasi yang berupa saha atau sontengan yang diujarkan oleh pendeta kepada Tuhan mengenai jenis upakara yang dihaturkan saja dari sang yajamana. Hal ini merupakan ciri khas pemujaan Bali Mula.
Dilihat dari pemuput upacara yadnya oleh Jro Kubayan Pucuk adalah nama lain Sulinggih yang pada masa pemerintahan Bali Mula. Dimana di Desa Sukawana begitu kental dengan pengaruh Siwa-Buddha. Siwa dilihat dari kedudukan sulinggih atau Jro Kubayan dan Buddha dilihat dari kedudukan Mangku Alit  yang memeliki kedudukan yang sama sekalipun berbeda wewenangnya. Inilah salah satu pokok keputusan dari pasamuan tiga  atau samuan telu atas paham Tri Murti serta paham Siwa-Buddha yang disenyawakan atas dalil :
Ndatan len kita Siwa rupa Buddha, maka pati urip ikang tri mandala, sang sangkan paraning sarat ganal alit kita alaayu kojaring aji. Upetiti, sthiti, linaning dadi kita karanani praramartha Sogatha...
Terjemahannya kurang lebih :
            Tiada lain Siwa berupa Buddha berkuasa menghidupkan sekalian mahkluk penghuni Tiga Alam semesta, menciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka engkau yang mengdakan ajaran agama yang berdasarkan nilai – nilai kelahiran, kehidupan dan akhirnya kematian (dikenal dengan Tri kona) jadi engkaulah penyebab tertinggi hai Buddha....
Adapun pengaruh sekte Brahmana yang kemudian luluh kedalam sekte Siwa Sidhanta jika ditinjau dari penggunaan Jro Kubayan sebagai pemuput upacara. Dilihat dari jenis – jenis upakara yang dipersembahkan, penggunaan tipat, tumpeng yang terbuat dari beras, beras yang ada dalam daksina. Beras merupakan simbul kemakmuran yang dianugrahkan oleh Dewi Sri sebagai sakti Wisnu. Sehingga keberadaan tumpeng, tipat yang terbuat dari beras merupakan pengaruh dari sekte Waisnawa. Begitu pula penggunaan caratan yang merupakan tempat air adalah pengaruh dari sekte Waisnawa karena diyakini Dewa Wisnu sebagai Dewa hujan. Bebangkit celeng adalah salah satu upakara yang mengunakan babi, pada upakara tebasan menggunakan ayam, dalam suci aturun menggunakan bebek guling, dsb hal ini merupakan salah satu pengaruh sekte Bhairawa. Penggunaan pasepan, dupa, api takep dalam prosesi upacara adalah salah satu ciri pemujaan terhadap Brahma atau adanya pengaruh dari sekte Brahma. Pengunaan uang kepeng dalam jenis – jenis banten adalah salah satu ciri pengaruh dari sekte Boddha. Kojong buah besikan dan canang sila metajuh yang terdapat di masing – masing banten yang terbuat dari 3 helai daun sirih, sebutir buah pinang dan kapur. Pinang simbul Brahma, sirih lambang Wisnu dan kapur lambang Siwa merupakan Dewa Trimurti sebagai bukti paham Trimurti. Inilah hasil dari sebuah penyatuan dari berbagai sekte.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar Sivasiddhanta I. Singaraja : tp
Jendra, Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksa Zaman Kali. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Sadia, I Ketut, dkk. 1982. Weda Untuk PGA Hindu Kelas I. Jakarta : Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha
Soebandi, Ktut. 2008.Riwayat Merajan Di Bali. Denpasar : CV Kayumas Agung
Soebandi, Ktut. Tt. Pura Kawitan/Pedharman dan Penyungsungan Jagat. Denpasar : CV. Kayumas Agung
Sudarsana, I.B. Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu Manifestasi Sang Hyang Widhi. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandara Sastra
Suhardana, K.M. 2006. Dasar – dasar Kepemangkuan. Surabaya : Paramita
Titib, I Made. 2003. Teologis & Simbol – simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya :Paramita
Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan.
Yasa, I Wayan Suka, dkk. 2006. Yoga Marga Rahayu. Denpasar : Widya Dharma dengan Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia