Rabu, 18 Desember 2013

Tugas Darsana (Filsafat Samkya dan Filsafat Visitadvaita)

PENDAHULUAN

Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu. Kelompok Nastika umumnya kelompok yang lahir ketika Hindu masih berbentuk ajaran Weda dan kitab Weda belum tergenapi. Hindu baru muncul setelah adanya kelompok Astika. Kedua kelompok tersebut antara Astika dan Nastika merupakan kelompok yang sangat berbeda (Nastika bukanlah Hindu).
Terdapat enam Astika (filsafat Hindu) atau yang disebut juga filsafat ortodok yang memandang Weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat Hindu atau mengakui kewenangan weda yaitu: Nyāya, Vaisheṣhika, Sāṃkhya, Yoga, Mīmāṃsā (juga disebut dengan Pūrva Mīmāṃsā), dan Vedānta (juga disebut dengan Uttara Mīmāṃsā) ke-enam sampradaya ini dikenal dengan istilah Sad Astika Darshana atau Sad Darshana. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika atau sering disebut pandangan Heterodok yang tidak mengakui otoritas dari Weda, yaitu: Buddha, Jaina dan Carvaka.Meski demikian, ajaran filsafat ini biasanya dipelajari secara formal oleh para pakar, pengaruh dari masing-masing Astika ini dapat dilihat dari sastra-sastra Hindu dan keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.
Sad Darśana kata Darsana berasal dari akar kata drś yang bermakna "melihat", menjadi kata darśana yang berarti "penglihatan" atau "pandangan". Dalam ajaran filsafat hindu, Darśana berarti pandangan tentang kebenaran. Sad Darśana berarti enam pandangan tentang kebenaran, yang mana merupakan dasar dari Filsafat Hindu.
Adapun bagian – bagian dari sad darsana ini ialah :
a.       Nyaya
b.      Waisesika
c.       Mimamsa
d.      Samkhya
e.       Yoga
f.       Wedanta
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Samkhya
Sistem filsafat samkhya ini dibangun oleh Maharsi Kāpila, beliau yang menulis Saṁkhyasūtra. Di dalam sastra Bhagavatapurāna disebutkan nama Maharsi Kāpila, putra Devahuti sebagai pembangun ajaran Saṁkhya yang bersifat theistic. Karya sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang di tulis oleh Īśvarakṛṣṇa. Ajaran Saṁkhya ini sudah sangat tua umurnya, dibuktikan dengan termuatanya ajaran Saṁkhya dalam sastra-sastra Śruti, Smrti, Itihasa dan Purana. Ajaran samkhya ini merupakan sistem filsafat tertua di dunia. (donder :269)
Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafat. Ajaran Saṁkhya bersifat realistis karena didalamnya mengakui realitas dunia ini yang bebas dari roh. Disebut dualistis karena terdapat dua realitas yang saling bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusa dan prakrti. Sistem filsafat samkhya berpendirian “tidak ada tuhan yang berpribadi (personal god)” atau dengan kata lain sistem ini tidak menganal adanya Tuhan sehingga disebut sebagai filsafat nir- Iswara dan dapat dikatakan juga bersifat atheis. Sistem filsafat ini melihat bahwa alam semesta sebagai kekuatan – kekuatan dari purusha (jiwa) dan prakerti (materi) (Visanathan, 2000:56)
Filsafat samkhya menyangkal bahwa sesuatu benda dapat dihasilkan dari ketiadaan. Tidak ada suatu hasil (wujud) yang berasal dari ketiadaan, hasil dari apa yang sebelumnya tidak ada kemungkinan  besar tidak mungkin. Dalam filsafat samkhya penyebab itu dipandang sebagai sutau substansi, di dalam penyebab itulah segalanya tersimpan. Seperti halnya pepeohonan yang tependam atau tidur dalam benih (biji), demikian pula seluruh alam semesta ada dalam keadaan tidur dalam prakerti. Purusha dan prakerti adalah sesuatu yang nyata (sat), yang dimana purusha adalah sang diri yang mengetahui dan prakerti adalah objek yang diketahui. Purusha adalah tidak terikat(asangga) ia merupakan kesadaran, meresapi segalanya dan abadi sedangkan prakerti adalah si pelaku dan si pengikat. Purusha atau sang diri mengatasi prakerti keberadaan keduanya terpisah secara abadi. Purusa tanpa awal dan tanpa akhir, ia sangat halus dan berada dimana – mana, ia mengatasi pikiran, intelek, indrya – indrya, mengatasi ruang dan waktu serta penyebab. Purusha pengamat abadi, yang sempurna dan tidak dapat diubah. Purusha merupakan kesadaran murni (cidrupa). Purusha bukan pelaku melainkan saksi dapat dikatakan juga sebagai penonton yang sifatnya pasif dan netral dalam hal ini juga ini bersifat statis atau pun stabil. Purusha ibaratkan Kristal bening tanpa warna, ia menjadi berwarna ketika ada benda berwarna di depannya.
Filsafat samkhya memilki tiga cara (tri pramana) pembuktian yaitu : pengamatan (praktyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan yang benar (apta vakya). Dari uraian diatas, maka disini penulis berkesempatan untuk membahas bagian dari sad darsana yaitu kategori atau padartha dari samkhya

2.      Kategori atau Padartha Samkhya
Samkhya memulai dengan teori pengembangan dan penyusutan. Dikatakan sebab dan akibat merupakan keadaan yang belum berkembang, dan merupakan pengembangan dari satu substansi yang sama. Dalam system ini tidak ada semua hal penghancuran total, karena dalam penghancuran akibat terbawa menjadi penyebab. Jadi gambaran sentral dari filsafat samkhya adalah akibat benar-benar ada sebelumnya. Ia ada di dalam penyebabnya sebagai penghancur total, karena dalam penghancuran akibat terbawa menjadi penyebab. Ibarat keseluruhan keberadaan pepohonan yang dalam keadaan tertidur atau terpendam dalam benih (biji). Demikian juga halnya dengan alam semesta yang ada dalam prakerti. Ia tidak berkembang (avyakta), pun tidak terbedakan (avyakrta).
Maka Samkhya memberikan suatu uraian kategori-kategori yang didasarkan pada ketepatan produktif masing-masing yakni:
1.      Produktif (prakerti)
2.      Produktif dan hasil (prakerti-vikrti)
3.      Hasil (vikrti)
4.      Bukan produktif maupun hasil (anubhayarupa)
Keempat klasifikasi ini termasuk/memiliki 25 prinsip atau tattwa, gambarannya dapat dilihat sebagai berikut:
a.       Prakerti(pokok) adalah produktif murni atau awal dan sumber dari segalanya.
b.      Budhi (kecerdasan), keakuan (ahamkara) prinsip/tattwa. Budhi merupakan produktif (vikrti), karena ahamkaralah berasal dari hasil pengembangannya, namun bhudi juga dihasilkan dari pengembangan prakerti. Ahamkara di samping merupakan hasil (vikrti), ia juga produktif, karena menjadi sumber dari lima dasar hal-hal halus, (panca tanmatra).
c.       Tanmatra (dasar halus) 5 prinsip, merupakan produktif dan hasil (prakerti-vikrti).
Enam belas prinsip yang hanya merupakan haisl yang tidak dapat menghasilkan substansi pokok lain yang berbeda dengan dirinya, yaitu :
d.      10 organ (persepsi gerak)
e.       Pikiran
f.       5 unsur bhuta
g.      Purusha atau roh adalah bukanlah hasil ataupun bukan produk, karena purusha tanpa atribut.
Sehubungan dengan budhi dan ahamkara adalah sama-sama produktif, maka keseluruhan prinsip atau tattwa menurut system samkhya dapat disimpulkan dengan urutan sebagai berikut : purusha, prakerti, budhi, ahamkara, pikiran, tan matra 5 prinsip, organ persepsi 10 prinsip dan 5 unsur bhuta. Penyelidikan terhadap sistem filsafat ini adalah untuk menemukan cara penghapusan 3 macam penderitaan, yaitu : (a) yang didalam (adhyamika), misalnya demam dan penyakit – penyakit lainnya (b) yang bersifat surgawi atau diluar kemampuan batas manusia (adhidaivika), seperti panas, dingin, banjir, petir dsb (c) dan di luar diri manusia atau mahluk lain (adhibhautika) sperti sengatan kalajengking atau gigitan ular dsb. Serta penyakit akibat kelahiran (maswinara 1999 :158). Menurut filsafat Samkhya mereka yang mengetahui tentang 25 tattwa atau prinsip ini, akan mencapai kebebasan, karena penghentian terakhir dari 3 macam penderitaan tersebut merupakan tujuan akhir.

2.1 Prakeriti dan Guna
      Teori Samkhya bahwa sebab-akibat berarti transformasi sesungguhnya dari sebab material menjadi akibat, dengan sendirinya (secara logis) membawa kita kepada konsep prakerti sebagai sebab tertinggi dunia objek. Semua objek yang ada di dunia, termasuk raga dan manah, indra dan intelek, adalah terbatas dan merupakan benda-benda tak-bebas yang dihasilkan dari kombinasi unsur-unsur tertentu. Jadi kita ketahui dunia ini adalah rangkaian dari akibat dan bahwa itu mempunyai sebab. Lalu apa penyebab dunia ini? Ini tentunya bukan purusha atau jiwa, sebab jiwa itubukannya sebab maupun akibat dari sesuatu. Jadi penyebab dunia ini pastilah bukan-jiwa, yaitu suatu perinsip yang bukan dan berbeda dari roh, jiwa atau kesadaran. Apakah ini berupa elemen atau atom material?
      Menurut kaum Carvaka atau kaum materialis, Bauddha, Jaina, Nyaya dan Vaesesika , atom tanah ,air,cahaya dan udara adalah sebab material dari objek-objek di dunia ini. Kaum Samkhya menolak pengertian ini dengan alasan bahwa atom material tidak dapat menjelaskan asal mula produk halus alam, seperti manah, intelek dan ego (keakuan). Jadi kita harus menemukan sesuatu yang mampu menjelaskan objek-objek besar dari alam seperti tanah dan air, pohon dan lautan dan juga produk-produknya yang halus. Kini ditemukan bahwa dalam evolusi benda-benda, penyebab adalah lebih halus dari akibat dan itu merembet kedalam akibat, seperti halnya biji berkembang menjadi pohon atau suatu keinginan menjadi objek impian.
      Jadi penyebab tertinggi atau puncak awal dari dunia ini mestilah bukan intelegensi ,atau sesuatu prinsip yang tidak sadar yang tanpa-penyebab, abadi dan masuk dalam segalanya,serta sangat halus, dan selalu siap menghasilkan dunia objek-objek. Ini adalah prakriti dari aliran sankhya. Ini adalah penyebab pertama dari semua objek dan karenanya tidak ada penyebab untuk jiwanya. Sebagai suatu penyebab awal tanpa penyebab dari semua objek, maka ia adalah abadi dan ada dimana-mana. Sebab tidak ada yang terbatasi dan tidak-abadi dapat menjadi penyebab pertama (adanya) dunia ini. Sebagai dasar dari produk alam seperti manah dan intelek, prakriti adalah suatu kekuatan yang teramat sangat halus , misterius dan luar biasa yang membentuk dan melumatkan dunia dalam suatu urutan siklus. Bukti adanya prakerti, Keberadaan prakerti sebagai suatu penyebab maha halus dari dunia dikenal melalui kesimpulan berdasarkan hal-hal berikut:
a.       Semua objek-objek dari dunia, mulai dari intelek sampai pada tanah adalah terbatas dan saling bergantung satu sama lain. Jadi mestilah ada suatu sebab yang tak terbatas dan bebas untuk keberadaanya.
b.      Benda –benda di dunia memiliki beberapa ciri yang sama,yang karna itu mampu menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan, kesedihan dan ketidak-pedulian.karena itu mereka tentunya mempunyai sebab yang sama karena memiliki tiga sifat yang samaiti.
c.       Semua akibat brlangsung dari aktifitas suatu sebab yang mengandung potensi di dalamya.dunia objek-objek yang adalah akibat haruslah secara inplinsip berisikan suatu penyebab dunia.
d.      Suatu akibat timbul dari peyebabnya dan kembali dilebur kedalamnya pada saat kehancuranya ini berarti, suatu akibat yang ada di manivestasikan oleh suatu sebab dalam (penyebab), dan kemudian diserap kembali kedalam yang tersebut belakangan.
Jadi objek khusus pengalaman haruslah timbul dari penyebab khususnya,dan ini kembali dari penyebab umum lain,demikian seterusnya,sampai kita tiba pada penyebab pertama dunia ini.Secara sebaliknya pada saat kehancuran,unsur-unsur pisik harus dilebur menjadi atom menjadi energi dan demikian seterusnya, sehingga seluruh produk terleburkan kedalam prakriti yang tak-termanifestasikan dan abadi.Jadi kita mendapat suatu penyebab yang tak terbatas,takterkondisikan,meresapi semuanya dan mutlak dari dunia keseluruhanya termasuk segala sesuatunya kecuali jiwa itu.Inilah menarik sebab akibat dunia-non-jiwa yang abadi dan takterpisahkan, yang diberi macam-macam nama oleh samkhya seperti prakriti, pradhana avyakta dan sebagainya.Kita tidak harus membayangkan penyebab dari penyebab utama (tertinggi) ini karna hal itu akan membawa kita pada keyakinan yang salah tentang kemunduran tak terbatas.
Seandainya ada penyebab prakriti, maka harus ada peyebab dari penyebab, demikian seterusnya ada infinitum. Atau kalau kita berhenti dimanapun dan mengatakan itu adalah penyebab pertama,maka penyebab pertama itu adalah prakriti yang secara spesifik dinamakan sebagai akar penyebab utama dunia atau para mula yang disebut prakriti.
Prakriti tersusun dari tiga guna yaitu sattva, rajas dan tamas.Dikatakan bahwa kesatuan tiga guna itu berada dalam keseimbangan (samyavastha). Pertanyaannya sekarang adalah : “Apakah guna itu?” guna disini berarti suatu unsur atau komponen yang berkuasa serta mengatur dan bukan atribut atau kualitas. Jadi dengan guna dari sattva, rajas dan tamas kita harus mengerti unsur-unsur dari substansi utama yaitu prakriti.
Alasan mengapa itu disebut guna adalah karena sangatnberguna bagi tujuan akhir purusha yang adalah diluar dari diri mereka atau karena terbuhul sepertitiga lembar tali yang mengikat jiwa pada dunia
Ketiga guna itu tak terpersepsi oleh kita. Mereka disimpulkan dari objek-objek dunia yang merupakan akibat-akibat mereka. Karena ada identits penting (tadatmya) antara akibat dan penyebabnya, kita memahami tiga sifat guna dari sifat produknya. Semua objek didunia ini, dari intelek sampai ke benda-benda biasa yang dapat dipersepsi (sepertimeja, kursi,kendi, dan lain-lain) diketahui memiliki tiga ciri yang mampu menghasilkan kenikmatan dan kegembiraan, kesakitan dan ketidak-pedulian berturut-turut. Benda yang sama mungkin menyenangkan bagi beberapa orang tetapi menyakitkan bagi orang lain dan tidak berpengaruh atau netral bagi orang lainnya lagi. Suara burung tekukur mungkin kedengaran merdu di telinga seorang seniman, menyakitkan bagi temannya yang sakit, tapi tidak berkesan bagi orang biasa.
Sekuntum mawar menggairahkan remaja, menyedihkan bagi orang yang sekarat dan bagi tukang kebun tidak peduli. Kemenangan dalam peperangan melambungkan perasaan si pemenang, menyedihkan bagi yang kalah dan pihak ketiga hanya apatis. Karena penyebab harus berisi apa yang ada dalam akibat, kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab utama dan tertinggi benda-benda sudah tentu terdiri dari tiga unsur: kenikmatan dan kegembiraan, kesakitan dan ketidak-pedulian. Kaum Sankhya menamakannya berturut-turut: sattva, rajas dan tamas. Ketiganya ini merupakan elemen baik dari prakriti-substansi tertinggi-maupun objek-objek biasa di dunia ini.
Sattva adalah elemen prakriti yang memiliki sifat nikmat, dan ringan (laghu), terang atau bersinar (prakasaka). Manifestasi objek adalah kesadaran (jnana), kecenderungan terhadap manifestasi sadar dalam indra, manah dan intelek, kecemerlangan sinar, dan kekuatan merefleksi di cermin atau kristal, semuanya itu berkat pekerjaan unsur sattva dalam membentuk benda. Demikian pula semuajenis rasa ringan dalam arti bergerak keatas, seperti berkobarnya api, terbangnya ke atas uap dan gerak berputar udara, dimasukkan kedalam benda-benda oleh unsur sattva. Demikian pula kenikmatan dan kegembiraan dalam berbagai bentuknya, seperti kepuasan, gembira, bahagia, bersyukur, puas dan sebagainya dihasilkan oleh sesuatu di dalam pikiran (manah) kita melalui kekuatan sattva yang melekat di dalam keduanya.
Rajas adalah prinsip kegiatan sesuatu (benda). Ia selalu bergerak dan membuat suatu yang lain bergerak. Jadi keduanya mobil (cala) dan menstimulasi (upastambaka). Adalah berkat rajas maka api menyebar, angin bertiup, indra-indra mengikuti objek-objeknya dan manah menjadi gelisah. Pada sisi pengaruh terhadap kehidupan kita, rajas adalah penyebab dari semua pengalaman sedih dan pahit kita dan dia sendiri bersifat sedih (dukha). Ia membantu unsur-unsur sattva dan tamas, yang tak-aktif dan tanpa gerak, untuk melaksanakan fungsi mereka.
Tamas adalah prinsip kepasifan dan kenegatifan dalam benda atau objek. Ia bertentangan dengan sattva karena berat (guru) dan dalam menghalangi manifestasi objek (varanaka). Ia juga menolak prinsip rajas atau aktivitas dalam arti ia menahan (niyam) gerak benda. Ia melawan kekuatan manifestasi dalam manah (pikiran), intelek dan lain-lain benda dan oleh karena itu menghasilkan kebodohan atau ketidak-tahuan dan kegelapan yang membawa kepada kebingungan dan kekacauan (moha). Dengan menghalangi prinsip aktivitas dalam diri kita, ia membuat kita tidur, ngantuk dan malas. Juga dapat menimbulkan rasa apatis atau tak acuh (visada), demikian sattva, rajas dan tamas disamakan dengan putih, merah dan gelap (hitam) berturut-turut.
Dalam hal hubungan diantara ketiga guna ini berkaitan dengan terbentuknya dunia ini, kita amati bahwa hubungan ketiganya senantiasa dalam keadaan konflik dan juga saling bekerjasama. Mereka selalu bersama-sama dan tak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Juga tak satu pun diantara mereka dapat menghasilkan sesuatu tanpa bantuan dan dukungan dari dua yang lainnya. Sama halnya seperti minyak, sumbu dan api, yang secara relatif saling bertentangan, bekerjasama untuk menghasilkan cahaya lampu, demikianlah ketiga guna itu bekerjasama untuk mengahsilkan objek-objek dunia, walaupun masing-masing memiliki kualitas yang berbeda dan bertentangan. Jadi ketiga-tiga guna hadir di setiap objek dunia, besar atau kecil, halus atau kasar. Tetapi masing-masing brusaha menekan dan mendominasi dua lainnya. Sifat objek ditentukan oleh guna yang berkuasa, sedangkan dua lainnya berada dalam kedudukan bawahan. Kita tidak dapat menunjukkan apapun dari dunia ini yang tidak ada ketiga-tiga unsur ini di dalamnya, yang sudah tentu dalam proporsi yang berbeda-beda. Klasifikasi objek dalam kategori baik, buruk dan netral atau murni, tidak murni dan netral, atau inteligen (cerdas), aktif dan malas, mengacu pada kelebihan dari sattva, rajas dan tamas msing-masingnya.
Sifat lain dari guna itu adalah ketiganya berubah secara konstan. “Perubahan atau transformasi merupakan yang paling inti dari guna itu dan ketiganya tak dapat tidak berubah bahkan untuk sekejap saja pun”. Ada dua macam transformasi yang dialami guna. Selama waktu pralaya atau pemusnahan dunia, ketiga guna itu berubah, masing-masing dalam dirinya sendiri tanpa mengganggu yang lainnya. Ini berarti sattva berubah di dalam sattva, rajas di dalam rajas dan tamas di dalam tamas. Transformasi guna ini disebut avarupaparinama atau perubahan ke dalam kesatuan yang serba sama. Pada tahap ini guna itu tidak dapat menghasilkan apapun, karena mereka tidak saling bertentangan maupun bekerjasama satu dengan yang lainnya. Tak satu pun objek dunia ini timbul kecuali jika ketiga guna itu berkombinasi dan salah satunya mengungguli yang dua lainnya. Jadi sebelum penciptaan guna itu ada sebagai massa yang homogen dimana tidak ada gerak (walaupun ada transformasi), tidak ada apapun, dan tidak ada juga kualitas-kualitas bunyi, sentuh, warna, cicip dan bau. Ini adalah keadaan seimbang (samyavastha) bagi ketiga guna yang oleh Sankhya dinamakan prakriti. Jenis transformasi lainnya terjadi apabila salah satu dari ketiga guna tersebut mendominasi dua lainnya dan menjadi bawahannya. Apabila ini terjadi maka kita memperoleh produksi objek-objek khusus. Transformasi demikian disebut virupparinama atau perubahan menjadi heterogen, beragam yang merupakan titik awal evolusi dunia.

2.2 Purusha atau Jiwa
Jenis kedua dari kenyataan tertinggi yang diakui oleh Samkhya adalah jiwa. Keberadaan jiwa itu haruslah diakui oleh semua. Setiap orang merasa dan meyatakan bahwa ia mempunyai ini dan itu sebagai miliknya. Perasaan akan keberadaan diri masing-masing adalah pengalaman yang paling wajar dan tak dapat disangsikan yang kita miliki. Sesungguhnyalah tak seorang pun dapat dengan serius menolak keadilan serta keberadaan dirinya, sebab tindakan penolakan menunjukkan realitas dari jiwa. Demikianlah dikatakan oleh Samkhya bahwa jiwa itu ada, sebab ia adalah swa-manifestasi dan ketidak-beradaannya tak dapat dibuktikan dengan cara apapun.
Walaupun ada kesepakatan umum tentang keberadaan jiwa, namun ada perbedaan opini yang luas tentang sifatnya. Beberapa Carvaka atau kaum materialis mengidentifikasi jiwa dengan badan kasar, yang lain dengan indra-indra, beberapa menyebutkan sebagai hidup dan yang lain mengidentifikasinya dengan manah. Kaum Buddha dan beberapa kaum empirisis menganggap jiwa itu identik dengan arus kesadaran. Nyaya-Vaisesika dan Prabhakara Mimamsaka berpendapat bahwa jiwa itu adalah suatu substansi tan-sadar yang dapat memperoleh atribut kesadaran di bawah kondisi tertentu. Sebaliknya Battha Mimamsaka berpendapat bahwa jiwa itu adalah suatu kesatuan yang sadar yang terutama tersembunyi oleh ketidak-tahuan, sebagaimana terlihat dari pengetahuan yang tidak sempurna dan tidak seimbang yang dimiliki manusia tentang jiwa mereka sendiri. Kaum Advaita Vedanta berpendapat bahwa jiwa itu adalah kesadaran murni yang kekal yang kehadirannya penuh kebahagiaan nan mulia atau saccidananda svarupa. Jiwa itu adalah satu dalam semua raga dan bebas secara abadi dan intelegensia yang swa-sinar pencerahan.
Menurut Samkhya, jiwa itu berbeda dengan raga dan indra, manas maupun intelek (buddhi). Tidak ada apapun berasal dari dunia objek. Jiwa itu bukan otak maupun sistem saraf dan bukan juga kumpulam keadaan sadar. Jiwa itu adalah roh sadar yang selalu jadi subjek selaku ilmu pengetahuan dan tidak akan pernah menjadi objek pengetahuan. Jiwa itu bukan suatu substansi dengan atribut kesadaran, tetapi suatu kesadaran sedemikian murni. Kesadaran adalah inti dirinya sendiri yang paling dalam dan bukan hanya kualitasnya saja. Juga kita tidak harus mengatakannya sebagai kesadaran yang membahagiakan penuh kemuliaan (anandasvarupa) sebagaimana pendapat kaum Advaita Vedanta, kebahagiaan dan kesadaran adalah dua hal yang berbeda yang tidak bisa menjadi inti dari kenyataan yang sama. Jiwa itu adalah subjek transendental yang intinya adalah kesadaran murni. Sinar kesadaran jiwa senantiasa bersifat tetap sama, walaupun objek pengetahuan mungkin berubah dan dan berganti satu dengan yang lain. Ia adalah satu kesadaran yang tetap konstan dimana tidak ada perubahan maupun kegiatan. Jiwa itu berada di atas semua perubahan dan aktivitas. Ia sebenarnya tanpa-sebab, abadi dan suatu realitas yang meresapi semuanya dan yang bebas dari segala keterikatan dan tak terpengaruh oleh objek manapun. Semua perubahan dan kegiatan, semua kesenangan dan kepahitan adalah sesungguhnya milik materi dan produknya seperti raga, manah dan intelek. Adalah suatu ketidak-tahuan belaka bila mengira bahwa jiwa itu adalah raga atau indra atau manah atau intelek. Namun apabila melalui ketidak-tahuan itu, jiwa lalu bingung sendiri dengan salah satu hal-hal tersebut, maka jiwa terperangkap dalam arus perubahan dan kegiatan kemudian muncul dalam kubangan kesedihan dan kenestapaan. 
Keberadaan jiwa itu sebagai suatu subjek transendental dari pengalaman dibuktikan oleh Samkhya dengan beberapa argumentasi:
a.       Objek-objek dunia seperti meja, kursi dan sebagainya yang terdiri dari bagian-bagian adalah alat untuk tujuan lain-lain makhluk hidup. Makhluk-makhluk ini yang bertujuan dilayani oleh objek-objek dunia ini haruslah tidak sama dan sangat berbeda dengan mereka semua. Artinya, mereka tidak dapat dikatakan sebagai benda-benda tanpa kesadaran, terdiri dari bagian-bagian objek fisik. Jika demikian keadaannya makhluk-makhluk ini akan menjadi alat untuk tujuan yang lain dan tidak berhenti pada diri mereka sendiri. Mereka haruslah jiwa yang sadar dimana semua objek fisik adalah alat untuk tujuan mereka.
b.      Semua objek material termasuk manah dan intelek harus dikendalikan dan diarahkan oleh suatu prinsip cerdas agar mereka mampu mencapai apapun atau merealisasikan tujuan. Sebuah mesin atau mobil akan bekerja dibawah tuntunan seseorang. Jadi haruslah ada suatu jiwa yang mengatur kegiatan prakriti dan produk-produknya. Semua objek dunia mempunyai sifat kenikmatan, kesedihan dan ketidak-pedulian dan ketidakacuhan. Tetapi kenikmatan dan kesedihan hanya akan berarti kalau dialami oleh sesuatu yang berkesadaran. Jadi pasti ada subjek-subjek atau jiwa yang sadar yang merasakan kenikmatan dan kesakitan itu.
c.       Beberapa orang di dunia ini setidaknya berusaha dengan tulus untuk memperoleh kelepasan akhir dari semua kesengsaraan ini. Hal ini tidak mungkin terjadi pada dunia fisik karena oleh sifatnya sendiri, dunia fisik menimbulkan kesengsaraan dan daripadanya tidak melepaskannya. Jadi pasti ada suatu substansi buka material atau jiwa yang transendental diatas susunan fisik ini. Kalau tidak demikian, maka konsep pelepasan atau penyelamatan dan kemauan untuk lepas atau dilepaskan (moksha) sebagaimana kita temukan pada para orang suci dan juru selamat kemanusiaan akan tidak berarti apa-apa.
Tidak ada, seperti dinyatakan oleh kaum Advaita Vedantin, satu jiwa universal yang memasuki semua raga secara sama. Sebaliknya kita harus mengakui pluralitas jiwa yang berhubungan dengan masing-masing jiwa. Bahwa banyak ada jiwa di dunia adalah karena pertimbangan berikut ini:
a.       Terdapat perbedaan yang nyata antara kelahiran dan kematian, dan kemampuan sensor dan gerak pada individu-individu yang berbeda. Kelahiran atau kematian dari seorang individu tidak sama artinya bagi semua individu lainnya. Kebutaan dan ketulian seseorang tidak berarti bahwa semua individu mengalaminya juga. Tetapi jika semua orang mempunyai satu jiwa yang sama, maka kelahiran dan kematian seseorang akan mengakibatkan kelahiran dan kematian semua, dan kebutaan dan ketulian seseorang akan membuat semua orang buta dan tuli. Namun, karena tidak demikian halnya maka kita harus mengatakan bahwa bukannya hanya ada satu jiwa tetapi banyak.
b.      Seandainya hanya ada satu jiwa bagi semua makhluk hidup, maka kegiatan seseorang akan membuat semua orang melakukannya. Tetapi kenyataannya, disaat kita tidur orang lain malah berusaha keras untuk bisa tidur dan sebaliknya.
c.       Pria dan wanita berbeda dengan dewa-dewa di satu sisi dan dengan burung dan binatang di sisi lain. Tetapi kemungkinan tidak ada perbedaan apabila dewa dan manusia, burung dan binatang memiliki jiwa yang sama. Jadi kita lihat bahwa pasti ada kemajemukan jiwa yang abadi dan merupakan subjek cerdas pengetahuan sebagaimana dibedakan dari prakriti yang menjadi dasar satu-satunya yang abadi, tanpa   

2.3 Evolusi Dunia
Prakriti mengembangkan dunia objek apabila berhubungan dengan purusa. Evolusi dunia mempunyai titik awal dalam hubungan (samyoga) antara purusha atau jiwa dan prakriti atau materi dasar. Hubungan  (samyoga) antara prakriti dan purusha bukanlah berarti sebuah konjungsi yang biasa seperti dua subtansi fana (tak kekal). Ini adalah semacam hubungan efektif dimana prakriti dipengaruhi dengan adanya purusha sama seperti badan kita kadang – kadang bergerak dengan adanya pikiran. Tak akan ada evolusi jika keduanya tidak berkaitan satu sama lain. Evolusi dunia tidak akan terjadi oleh jiwa belaka, karena ia tidak aktif; juga tidak mungkin oleh materi (prakriti) belaka sebab ia non-intelegensi. Kegiatan prakriti harus dituntun dengan kecerdasan (intelegensi) purusha apabila harus diadakan evolusi dunia.Hanya apabila purusha dan prakriti bekerja sama maka ada penciptaan objek – objek dunia. Tetapi pertanyaannya adalah: Bagaimana mungkin dua prinsip yang saling bertentangan, seperti purusha dan prakriti, dapat bekerja sama? Apa yang menghubungkan satu sama lainnya? Jawaban yang diberikan Samkhya adalah: Seperti halnya orang buta dan orang lumpuh dapat bekerja sama yang buta menggendong yang lumpuh, yang lumpuh memberi jalan untuk keluar keluar dari hutan, demikian pula halnya prakriti yang non-intelegen dan purusha yang tidak aktif berkombinasi dan bekerjasama untuk melaksanakan kepentingan masing – masing. Prakriti memerlukan kehadiran purusha agar dikenal  dan dihargai oleh seseorang (darsanartham), dan purusha memerlukan bantuan prakriti untuk membedakan dirinya dari yang tersebut belakangan (prakriti) dan dengan demikian memperoleh kelepasan (kaivalyartham).
Dengan kontak antara purusha dan prakriti, maka terjadilah suatu gangguan keseimbangan dimana ketiga guna berada sebelum penciptaan. Salah satu dari tiga guna itu, yaitu rajas, yang sifatnya aktif, pertama terganggu dan melalui rajas dan dua guna lainnya mulai bergetar. Hal ini menimbulkan pergolakan yang luar biasa didada abadiprakriti dan setiap guna mencoba menguasai yang lainnya. Terjadilah perbedaan dan integrasi secara gradual dari ketiga guna, dan sebagai akibat dari kombinasi mereka dalam proporsi  yang berbeda – beda, menghasilkan berbagai objek dunia. Jalannya Evolusi adalah sebagai berikut:
Produk pertama evolusi Prakriti adalah maha atau budhi. Dipandang dari segi kosmiknya, prakriti adalah putik besar didunia objek yang luas ini dan demikian disebut mahat atau yang maha besar. Dari aspek psikologisnya yaitu kehadirannya dimahkluk individual, dinamakan budhi atau intelek. Fungsi khusus budhi adalah memastikan dan memutuskan. Adalah melalui intelek maka perbedaan antara subjek dan lain – lain objek dapat dimengerti dan orang dapat membuat keputusan tentang sesuatu hal. Budhi muncul dari pengaruh besar unsur sattva dalam prakriti. Adalah fungsi alami budhi untuk memanifestasikan dirinya dan lain – lain objek. Oleh karena itu dalam kondisinya yang murni (sattvika) budhi memiliki atribut seperti kebajikan (dharma), pengetahuan (jnana), tidak memihak dan tidak terpengaruh (vairagya), dan sempurna (aisvwaryya).
Tetapi apabila dimasuki oleh tamas, maka atributnya menjadi berlawanan seperti jahat (adharma), bodoh (ajanana), memihak (asakti atau  avairagya) dan tidak sempurna (asakti atau anaisvaryya), bhudi berbeda dengan purusha atau jiwa yang transedental semua benda fisik dan kualitas. Tetapi semua adalah dasar dari proses intelektual pada setiap mahkluk. Budhi paling dekat dengan jiwa dan merefleksikan kesadaran diri sedemikian rupa sehingga tanpak sadar dan jelas. Sedangkan indra dan manah berfungsi bagi budhim atau intelek, manah berfungsi langsung untuk jiwa yang menyebabkannya mampu membedakan antara dirinya dengan prakriti.
Ahamkara adalah ego, yaitu prodak kedua dari prakriti yang timbul langsung dan mahat, manifestasi pertama. Fungsi ahamkara adalah perasaan “aku dan punyaku” (abhimana). Karena ahankara-lah jiwa menganggap dirinya (sudah barang tentu secara salah) sebagai agen atau sebagai sesuatu sebab dari tindakan, suatu penginginan dan pencari tujuan akhir dan suatu pemilikan dari hak milik dan kekayaan.
Pertama – tama kita mempersepsikan objek – objek lewat  indra. Kemudian manah merefleksikan dan menentukan secara rinci apakah jenis – jenis objek – objek tersebut. Lebih jauh timbul sebuah persesuaian dari objek – objek tersebut untuk menjadi dan diperlukan oleh kami, dan juga suatu perasaan tentang diri kami yang agaknya berkepentingan dengan objek – objek tersebut. Ahamkara sesungguhanya hanya memiliki kemampuan merasa tentang jiwa sebagai “aku” (aham) dan tentang objek adalah “punyaku” (mama). Apabila ahamkara telah menetapkan sikap kita objek – objek tentang dunia, kita selanjutnya bersikap dengan berbagai cara dalam hubungannya dengan mereka. Tukang kendi menbuat kendi tatkala ia menerima kendi tersebut sebagai tujuannya dan memutuskan untuk menciptakannya dengan jalan mengatakannya pada diri sendiri: - “Biarlah aku membuat sebuah kendi”.
Ahamkara ada tiga macam, tergantung pada penonjolan salah satu di atas yang lainnya diantara tiga guna. Ahamkara akan disebut vaikarika atau sattvika apabila apabila unsur sattva melebihi didalamnya, taijasa atau rajasa apabila rajas berkuasa dan bhutadi atau tamasa apabila tamas berkuasa. Dan yang pertama timbul adalah sebelas organ yaitu 5 alat  persepsi (jnanendriya), 5 alat perbuatan (karmendriya) dan manah (manas). Dari yang ketiga (yaitu tamasa ahankara) berasal 5 unsur halus (tanmatra). Yang kedua (yaitu rajasa)  berkepentingan pada kedua yang pertama dan ketiga serta menyediakan dan memberikan tenaga yang dibutuhkan untuk perubahan sattva dan tamas ke dalam produknya masing – masing.
Susunan perkembangan ahamkara tersebut diatas diuraikan dalam Samkhya-karika dan diterima oleh Vacaspati Misra. Tetapi Vijnanabhiksu memberikan susunan lain; menurut dia, manas atau manah adalah satu – satunya indra yang menonjolkan sattvika atau bermanifestasi oleh karena berasal dari sattvika ahamkara. Kesepuluh lainnya tumbuh dari rajas ahamkara dan kelima unsur halus dari tamas ahamkara. Pandangan vedanta sama dengan apa yang disusun oleh Vacapati misra.
Kelima alat persepsi (budhindriya) adalah indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan. Masing – masing mempersiapkan kualitas fisik dengan warna, bunyi, bau, cicip, an sentuh, dan tumbuh dari ahankara untuk menikmati jiwa. Adalah jiwa yang menghendaki untuk menikmati objek – objek yang menciptakan objek dari alat untuk kenikmatan dan kegembiraan.
 Alat – alat bertindak (karmendriya) mempunyai lokasi dimulut, ditanga, dikaki, dianus (lobang pantat) dan dialat sex (kemaluan). Alat – alat ini menuntaskan pelaksanaan fungsi berbicara, pemahaman, gerakan, berak dan reproduksi (birahi). Alat yang sebenarnya bukanlah alat persepsi luar seperti bijimata, lobang telinga, kulit, tangan, kaki, dan sebagainya, melainkan ada kekuatan tak-nyata (sakti) dalam ujung alat persepsi tersebut yang mengerti objek – objek fisik dan bekerja padanya dan karenanya dianggap sebagai alat (indra) yang sebenarnya. Oleh sebab itu suatu indriya tak dapat dipersepsi atau dipegang atau dirasakan, melainkan harus diketahui dengan kesimpulan.
Manah (manas) adalah organ sentral yang memiliki watak alat difungsikan, baik alat pengetahuan maupun alat tindakan. Tanpa adanya tuntunan manah tak satupun diantara keduanya dapat berfungsi dalam hubungan dengan objek – objeknya. Manah, walaupun merupakan indra yang sangat halus, dibentuk oleh bagian – bagian, namun dapat dihubungkan dengan berbnagai jenis indra dalam pada saat yang sama. Manah, ego dan intelek (manas, ahankara, dan budhi) adalah tiga alat  dalam (anatahkarana), sedangkan indra lihat, dengar dan sebagainya serta alat bertindak disebut alat luar (bahyakara). Nafas yang  vital atau proses dalam adalah fungsi dari alat – alat dalam.
Kesepuluh alat luar menciptakan kondisi bagi fungsi alat – alat dalam ini. Manah menafsirkan data- data indra yang belum terumuskan yang disediakan dan diberikan oleh alat-alat luar menjadi persepsi yang ditentukan; ego memiliki objek-objekyang dipersepsikan sebagai tujuan yang dikehendaki oleh jiwa ataw yang tidaak dikendaki oleh nya: kemudian akal (intelek) memutuskan untuk bertindak guna untuk mencapai atao menolak objek objek tersebut. Ketiga tiga dan sepuluh alat luar dan kolektif bersama sama disebut 13  karma atau alat organ dalam filsafat samkhaya . kalau alat alat alat adalah terbatas pada objek objek sekarang  maka alat- alat dalam melayani masa lampu masa kini dan  masa yang akan datang.
Pandangan samkhya mengenai panah dan alat- alat lain  mempunyai perbedaan perbedaan yang yang menyolok dari  pandangan pandangan dari filsafat lainya . menurut nyanya vasiseka , manah adalah suatu subsentasi atomis yang kekal yang tidak memiliki bagian bagian dan juga tidak bisa di hubungkan  langsung secara serentak dengan banyak indra sekaligus. Jadi kita tidak dapat memiliki pengalaman banyak, persepsi banyak, keinginan banyak, kemauan banyak dalam waktu bersamaan sekaligus. Tetapi bagi sankhya, manah itu bukannya otomis dan juga bukannya kekal, melainkan suatu produk yang berkomposisikan dari prakriti, dan karena ada asal mula dan akhir dari waktunya. Samkhya juga berpendapat bahwa kita bisa memiliki pengalaman banyak – sensasi, prestasi, perasaan, dan kemauaan – pada saat bersamaan sekaligus, walaupun biasanya kadang kala pengalaman kita datang satu persatu secara berurutan.
Nyaya-vaisesika mengakui hanya manah dan lima indri luar sebai indri dan berpendapat bahwa indria luar adalah berasal dari unsur – unsur fisik (mahabhuta). Samkhya menghitung sebelas indra, yaitu manah dan lima alat perasa serta lima alat penggerak dan semuanya berasal dari ego (ahankara) yang oleh aliran – aliran filsafat lainnya tidak diakui sebagai prinsip yang berbeda – beda. Kaum vedantin menyatakan lima pernapasan vital (panca-prana) sebagai prinsip yang berdiri sendiri, sedangkan sankhya mengurangi fungsi tersebut menjadi fungsi umum antahkarana.
Lima tanmatra adalah lima unsur potensial atau intisari umum dari bunyi, sentuh, warna, cicip dan bau. Ini semuanya sangat halus dan tidak dapat dipersepsikan secara biasa. Kita mengenalnya dengan jalan kesimpulan, walaupun para yogin bisa mengetahuinya dengan jalan persepsi. Unsur – unsur fisik yang besar timbul dari tanmatra sebagai berikut:
1.      Dari intisari bunyi (sabdatanmatra) diproduksi akasa dengan kualitas bunyi yang dipersepsi oleh telinga.
2.      Dari itisari sentuh (sparsatanmatra) dikombinasikan dengan intisari bunyi timbul udara dengan atribut bunyi dan sentuh.
3.      Dari intisari warna ( rupatanmatra) yang bercampur dengan intisari bunyi dan sentuh, lalu timbul sinar atau api dengan watak bunyi, sentuh dan warna.
4.      Dari intisari cicip (rasatanmatra) digabungkan dengan intisari bunyi, sentuh dan warna, dihasilkan unsur air dengan kualitas bunyi, sentuh, warna dan cicip.
5.      Intisari  bau (gandha tanmatra) digabungkan dengan empat intisari lainnya menimbulkan tanah yang memiliki kelima – lima kualitas bunyi, warna, cicip dan bau. Ke-lima – lima unsur fisika ether, udara, cahaya, air dan tanah masing – masing memiliki watak khusus bunyi,  sentuh, warna dan bau. Dalam susunan mereka yang demikian, maka unsur yang mengikiti memiliki kualitas khusus dara unsur sebelumnya yang ditambahkan pada dirinya, karena intisari – itisari mereka terus berkombinasi secara progresif.
Seluruh jalan evolusi dari prakriti sampai pada unsur – unsur fisik besar dibedakan menjadi dua tahap, yaitu yang bersifat psikis besar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat psikis (pratyayasarga atau buddhisarga) dan yang bersifat pisik (tanmatrasarga atau bhautikasarga). Yang pertama meliputi perkembangan prakriti sebagai budhi, ahankara dan sebelas alat indra dan gerak (motor).Yang kedua terdiri dari evolusi kelima intisari fisik yang halus (tanmatra), unsur-unsur besar (mahabhuta) dan produk mereka. Tanmatra yang teramat peka dan tak dapat dinikmati oleh insani biasa disebut avisesa, yaitu terlepas dari waktu-waktu khusus yang dapat dipersepsikan. Unsur-unsur fisik dan produknya yang memiliki watak-watak tertentu, yang nikmat, yang dapat menyedihkan atau membingungkan, dinamakan visesa atau yang spesifik. Visesa atau objek-objek spesifik terdiri dari tiga macam yaitu unsur besar, badan besar (kasar) terlahir dari orangtua (sthulasarira) dan badan halus (suksma atau linga sarira). Badan besar (kasar) terdiri dari lima unsur besar, walaupun beberapa orang berpendapat bahwa ia terbuat dari empat unsur atau hanya dari satu unsur. Badan halus adalah kombinasi dari budhi, ahankara, sebelas alat indra penggerak dan lima unsur halus (tanmatra). Badan besar adalah penunjang badan halus selama intlek (budhi), ego (ahankara) dan indra tidak dapat berfungsi tanpa suatu dasar fisik. Menurut vacaspati, hanya ada dua macam badan seperti tersebut diatas. Vijnanabhiksu sebaliknya berpendapat bahwa terdapat badan macam ketiga disebut badan adhisthana yang menunjang badan halus apabila ia berlalu dari saatu badan besar kebadan lainnya.
Perjalan sejarah kehadiran alam semesta adalah karena peranan 24 prinsip-prinsip,dimana prakriti adalah pertama, kelima unsur besar atau kasar adalah penghabisan dan tigabelas alat (karanas) dan lima tanmatra adalah tengah. Tetapi ini belum lengkap dengan sendirinya, karena ia membutuhkan refrensi atau acuan bagi dunia jiwa yang merupakan saksi dan penikmat daripadanya. Ia bukanlah tingkah laku otomik yang buta atau mati, bukan pula dorongan atau terikat kekuatan mekanis yang melahirkan dunia tanpa tujuan, melainkan ia melayani tujuan fundamental moral atau lebih mulia lagi tujuan fundamental hidup spiritual.
Bila roh memang benar-benar suatu kenyataan, maka haruslah ada penyesuaian yang besar antara ganjaran atau hukuman moral dengan kebahagiaan dan kedudukan dalam hidup ini. Lagipula sejarah dunia ini pastilah, terlepas dari apa yang terlihat sebaliknya, merupakan realisme yang progresif dari kehidupan spiritual. Dalam aliran samkhya, evolusi prakriti ke dalam objek-objek dunia memungkinkan jiwa-jiwa untuk menikmati atu menderita dalam hidup ini sesuai dengan kebajikan dan ketidak-bajikan mereka. Tetapi tujuan akhir dari evolusi prakriti adalah kelepasan (mukti) jiwa. Dengan jalan latihan moral dalam alam semesta yang senantiasa berkembang, jiwa dapat merealisasi watak-sifat yang sesungguhnya.
Evolusi prakriti dalam hubungannya dengan purusha dapat digambarkan dalam tabel berikut:


Prakriti
                        Mahat
Purusha          Ahankara
              Manas/manah
                                                          5 Ogan rasa        5 Organ gerak        5 Tanmatra


                                                                                                                   5 Mahabhuta 

PENUTUP
Berdasarkan uaraian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa filsafat Samkhya di atas mirip dengan teori kekekalan massa dan kekekalan energy dalam ilmu fisika, yakni : massa suatu unsure atau zat selalu tetap (kekal), jika ia hancur lebur hingga menjadi bagian yang tidak mungkin diamati maka ia akan berubah wujud menjadi energy. Di dalam energy itulah seluruh massa tersembunyi. Hal ini relevan dengan bunyi sloka Bhagavadgitta berikut :
Na sato vidyate bhavo vidyate satah,
Ubhayor api dristo’nats tv anayos tattvadarsibhih (bhagavadgitta II.16)
Artinya :

Apa yang tidak ada tak akan pernah ada dan apa yang ada tidak akan pernah terhenti ada,

Dalam filsafat Samkhya ada dua hal yang hakikat yaitu purusha dan prakerti. Purusha adalah unsur terhalus sedangkan prakerti adalah unsur kasar. Hal ini mengingatkan pada teori propan dan teori sacral. Betapun filsafat Samkhya dikatakan sebagai filsafat tanpa Tuhan, namun sesungguhnya tidak demikian. Sebab fisafat Samkhya sebagaimana dikatakan sebagai filsafat tertua di muka bumi ini, tentunya merupakan filsafat yang paling awal mengajak manusia untuk memahami yang halus, yang kemudian disebut purusha atau sang diri atau roh. Hal ini merupakan langkah paling awal menuju Tuhan, juga mengingatkan pada wacana svami Vivekananda yang mengatakan bahwa : “ ajaran agama hindu bukan berangkat dari yang salah menuju yang benar  akan tetapi dari kebenaran yang sederhana kepada kebenara yang tertinggi. Apaun filsafat yang dianut oleh seseorang apad suatu saat akan mengahantarkannya kepada Tuhan. Setiap orang bebas dapat memilih filsafat yang sesuai dengan kondisi spiritualnya. (Donder: 2006 :274)
Sejauh tujuan yang praktis unuk mencapai kebebasan dari penderitaan dimaksud pemikiran Samkhya ini sama baiknya dengan pemikiran – pemikiran lainnya dan masing – masing mendorong para penganutnya yang religious untuk merealisasikan kebajikan tertinggi dari hidup mereka yaitu kebebasan.


DAFTAR PUSTAKA

Donder, I ketut. 2006. Brahmavidya Teologi Kasih Semesta. Surabaya : Paramita

Maswinara, I Wayan. 1999. Filsafat Hindu. Surabaya : Paramita

Mudana, I Nengah, dkk. 2007. Buku Pedoman Belajar Pendidikan Agama Hindu. Denpasar : Tri Agung

Pendit, Nyoman s. 2007. Filsafat Hindu Dharma, Sad Darsana Enam Aliran Astika(Ortodok). Denpasar  : Pustaka Bali Post

Sura, gede dkk. 1984. Tattwa Darsana.

Suratmini , Ni Wayan, dkk. 2003. Agama Hindu. Jakarta : Ganeca

www. Geogle. Sad Darsana




VASISTADVAITA


PENDAHULUAN

          Berbicara tentang Tuhan dengan istilah yang diberikan kepada-Nya, dan aspek-aspek lain yang terkait dengan Beliau, memunculkan berbagai pandangan pada perkembangan filsafat India (Timur). Sebagaimana dinyatakan dalam Upanisad. Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, menjadikan para filosuf pada zaman itu saling memberikan argumentasi pemikiran mereka. Demikian juga mengenai pendapat Sri Sankaracarya dalam Advaitanya, mengenai Tuhan yang nirgunam dan sagunam, mendapat reaksi dari Ramanujacarya dalam filsafatnya “Visista Advaita”. Artinya, apakah Tuhan sama dipandang sebagai yang nirgunam dan sagunam. Pada awal dari philosofinya Ramanuja memberitahu kita bahwa semua pengetahuan melibatkan diskriminasi dan pembedaan. Tidaklah mungkin mengetahui suatu objek dalam bentuknya yang tidak dibedakan. Yang bisa diketahui dapat diketahui sebagaimana disifatkan dalam beberapa bentuk atau lainnya oleh beberapa sifat khusus.
          Permasalahan yang dimana di satu pihak Tuhan dianggap sebagai jiwa perorangan dan dengan dunia akan tetapi di lain pihak dibedakan, hal inilah yang membuat banyak pihak belum terpuaskan. Setelah zaman Sankara timbullah perdebatan tentang Tuhan, apakah Tuhan di pandang sebagai tanpa sifat (nirguna) atau sebagai yang bersifat (saguna). Pemecahan ini diberikan oleh salah satu filosof yaitu Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran sekte wisnu dengan filsafat wedanta (Sura dkk.1984 :85).













 PEMBAHASAN

1. Pengertian Filsafat Visistadvaita
               Visistadvaita merupakan filsafat yang cukup kuno, yang pada awalnya didirikan oleh Bodhanaya dalam Vrrti-nya yang ditulis sekitar 400 tahun sebelum Masehi, yang uraiannnya sama dengan uraian Ramanuja dalam menafsirkan Brahma Sutra (Maswinara, 1999:186). Alirannya disebut dengan visistadvaita yang berasal dari dua kata vaista dan advaita. Vasista berarti yang diterangkan atau yang ditentukan yaitu oleh sifat – sifat-Nya. Advaita berakar dari dua kata a yang berarti tidak dan dvaita berarti dua sehingga menjadi tidak dualisme atau esa (Sura, dkk, 1984 :85).
               Disebut Visistadvaita (Visista Advaita), karena ia menanamkan pengertian advaita atau kesatuan dengan Tuhan (tidak dualisme) dengan wisesa atau atribut. Oleh karena itu ia merupakan atau terkenal dengan monisme terbatas. Hanya Tuhan yang ada, sedangkan semua lainnya yang terlibat merupakan perwujudan atau atributNya. Tuhan atau Narayana, menurut Ramanuja adalah satu keseluruhan dasar yang komplek (Visista), walau kenyataan itu satu (Bahan ajar darsana ; Maswinara :1999:185). Oleh karena itu filsafatnya disebut Visistadvaita (Visista Advaita). Ia mengakui adanya kejamakan, namun kejamakan itu adalah Tuhan (Narayana) atau Tuhan ada dalam bentuk sebagai jiva-jiva. Sampradaya dari alirannya dikenal dengan Sri Sampradaya, dan para pengikutnya adalah dari para Waisnawa, karena mereka ingin mensistematisit filsafat dari Waisnawa. Kepercayaan Ramanuja disebut Sri Vaisnawaisme, di samping karena Sri atau Dewi Laksmi dibuat memiliki fungsi untuk pembebasan jiva.
Menurut Ramanuja, apapun juga semuannya adalah Tuhan (Narayana), tetapi Tuhan (Narayana) disini bukanlah sesuatu yang bersifat serba sama, namun dalam diri-Nya terkandung unsur – unsur kejamakan yang menyebabkan-Nya benar – benar mewujudkan diri-Nya dalam alam yang beraneka warna ini. Tuhan saling meresapi segala sesuatunya dan merupakan inti dari jiva, yang merupakan antaryamin atau pengatur bhatin, yang menjadi satu dengan jiva. Ia merupakan hakekat dari satya (kebenaran), jnana (kecerdasan) dan ananda (kebahagiaan) dimana materi dan jiva bergantung kepada-Nya (Maswinara :1999:188). Jadi dari beberapa sumber ini dapat penulis katakan secara eksplinsif bahwa vasistadvaita ini secara tidak langsung menyatakan Tuhan (Narayana) adalah segala sumber dari apa yang telah ada, sehingga Tuhan (Narayana) adalah awal dan akhir dari kehidupan ini.
           
2.      Semua Pengetahuan Adalah Benar
Bagi Ramanuja, semua pengetahuan dikatakan benar adanya, sekalipun pengetahuan itu memiliki tingkatan-tingkatan kebenaran, seperti pengetahuan yang kurang benar, cukup benar dan benar sekali atau lainnya, (Sumawa,dkk, 1995:243 ; Sura,dkk, 1984:92). Umpamanya, bola yang dipantulkan dengan begitu cepat ke lantai akan menampakkan adanya garis lurus vertical. Garis lurus ini bukan suatu khayalan, namun sungguh-sungguh ada meskipun tidak benar secara sempurna. Contoh lain misalnya sebuah obor yang dipegang dan diputar dengan begitu cepat akan menampakkan sebuah lingkaran, ini bukan pula khayalan, namun benar-benar ada meski tidak benar secara sempurna. Dikatakan semua pengetahuan menunjuk kepada adanya obyek pengetahuan yang tidak sederhana (komplek). Hanya dengan pengalamanlah yang dapat dipergunakan untuk menentukan kekomplekan itu (Sura,dkk, 1984:92).
Untuk memperoleh suatu pengetahuan diperlukan alat. Alat untuk itu disebut (pramana), Ramanuja mengakui tiga pramana, yakni, pratyaksa (pengamatan langsung), anumana (melalui penyimpulan), dan sabda pramana (melalui penyaksian). Sama halnya dengan beberapa tokoh sebelumnya, dalam pandangan Ramanuja berpendapat kalau pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan (pratyaksa pramana) dapat digolongkan kedalam dua jenis yakni nirwikalpa ialah pengamatan terhadap suatu obyek yang diamati itu. Sawikalpa, yaitu pengamatan terhadap suatu obyek dilakukan tanpa penilaian dan sebutan apapun terhadap obyek yang diamati itu. Sawikalpa, yaitu pengamatan terhadap suatu obyek sedetail mungkin, dengan mengamati sifat, bentuk, nama, dan lainnya, yang melekat pada obyek itu.

3. Tuhan
               Dari aliran bhakti yang mengembangkan rasa bhakti kepada Vasudeva atau Narayana, bahkan diperkuat oleh para Alwar di India Selatan, justru membuat munculnya acarya-acarya Vaisnawai yang hebat. Kalau para Alwar hanya bertumpu pada bhakti saja, namun para acarya ini seperti Ramanujacarya, yamunacarya, dan Natha Muni mengkombinasikan antara jnana, karma, dan bhakti dalam mewujudkan Tuhan, inilah cara mereka ketika ingin mewujudkan Tuhan dalam aktivitas keagamaan mereka. Tujuannya adalah mendamaikan kitab-kitab Veda seperti Bhagavad Gita, dan upanisad dengan Prabhanda Tamil. Caranya mereka mendamaikannya adalah dengan menafsirkan Prabhanda Tamil dengan istilah-istilah upanisad dan Bhagavad Gita.
               Sehubungan dengan itu maka mereka para acarya ini disebut dengan nama Ubhaya-Vedantin. Natha Muni mengangakat Prabhanda pada tingkatan Veda, maka Yamunacarya meletakkan dasar pada tingkatan itu. Diatas dasar itulah kemudian Sri Ramanuja mendirikan filasafatnya, tidak ketinggalan mengulas Brahma Sutra yang ulasannya dikenal dengan Sri Bhasya, juga tentang Bhagavad Gita. Bahkan didalam tiga buah bukunya yaitu Vedanta Sara, Vedanta Sanggraha dan Vedanta Dipa sebagai naskah-naskah utama system filsafatnya, ia mengakui persepsi, kesimpulan dan kitab-kitab suci sebagai sumber pengetahuan yang sah. Menurut Ramanuja, baik indentitas murni dan pembedaan murni adalah tidak nyata, demikian terjemahan dari buku “Insight Into Modern Hinduisme dan The Greater Thinkes of The Estern World, ketika Ramanuja memulai pandangannya mengenai Tuhan (Narayana), dalam buku sepuluh tokoh Pembaru dan Pemikir Hindu, (Mandrasuta, dkk, 2002:94).
               Tuhan Ramanuja adalah identitas dalam perbedaan (identify in diffrence) dan nyata. Ramanuja menolak untuk memisahkan yang banyak dengan yang satu; karena kesatuan dalam diriNya mengandung suatu perbedaan. Atas pandangannya ini, iapun menerima dan setuju terhadap pandangan Sankara mengenai Tuhan itu nyata, namun tidak sependapat kalau Tuhan dikatakan Sankara sebagai pengetahuan murni tanpa perbedaan. Artinya Tuhan merupakan identitas (ciri, sifat) murni tanpa suatu pembeda apapun, (Nirgunam). Segala sesuatu yang ada dalam wilayah imanen atau sagunam, dapat diketahui melalui pengenalan. Mengeahui artinya dapat membedakan. Membedakan berarti mengenal Tuhan dalam keadaan sifat-sifat yang ada. Imanen atau sagunam. Tuhan (Narayana) adalah Tuhan dengan sifat hakikatnya, menurut pikiran manusia, (Pudja, 1985:46). Tuhan (Narayana) secara nyata (sekala) diberi sifat dan penggambaran menurut pemikiran manusia.
Sri Ramanuja yang mengatakan Tuhan memiliki dua “Prakara” atau “ragam yang terpisah” Yang dimaksudkan adalah keterpisahan alam dan dunia. Dua aspek ini dihubungkan oleh-Nya, seperti badan dihubungkan dengan jiva yang keberadannya tak terpisahkan dari-Nya. Mencermati pemikiran system filsafat ini dapat dikatakan dunia adalah merupakan totalitas yang kelihatan. Apa yang tampak dan terangkum dalam suatu wadah yang disebut dengan dunia adalah alam semesta itu sendiri, kosmos, tanpa membaurkan eksistensi sesuatu yang satu dengan sesuatu yang lainnya. Keseluruhan yang tampak itu adalah isi dunia. Tuhan ada diantara itu (dunia dan alam semesta).
Menurut Ramanuja Tuhan adalah asas yang imanen atau yang berada di dalam jiwa (purusa) dan di dalam benda atau prakrti. Jika Tuhan berada bagi dirinya sendiri, maka Jiwa dan benda berada dalam Tuhan. tuhan Jiwa dan benda, ketiganya mewujudkan suatu kesatuan yang organis, sama halnya dengan jiwa dan tubuh pada manusia, juga mewujudkan satu kesatuan yang organis. Namun ada juga perbedaannya, perbedaan hubungan antara Tuhan disatu pihak dan jiwa serta benda di lain pihak dengan hubungn antara jiwa dengan dan tubuh pada manusia adalah demikian, bahwa hubungan antara jiwa dan tubuh pada manusia adalah lebih erat, sedangkan hubungan Tuhan disatu pihak dan jiwa serta benda di lain pihak bersifat aparthak siddhi atau tak dapat dipisahkan, dalam arti bahwa jiwa dan benda tidak dapat ada tanpa Tuhan. Tuhan berhakekatkan intelijensi atau akal, bebas dari segala cacad, memiliki segala sifat yang mulia, seperti umpamanya: Mahatahu, Mahakuasa, berada dimana-mana, Mahamurah, Ialah yang menjadi sebab adanya dunia, dan berada di dalam jiwa dan benda seperti di dalam tubuhnya. Sekalipun demikian Ia tidak dipengaruhi oleh keduanya itu. yang dianggap sebagai Tuhan adalah Wisnu (Narayana) yang sama dengan Brahman (Sura,dkk, 1984: 89-90).
Tuhan merupakan keseluruhan yang bersifat tiruan, dengan jiva dan materi adalah ragam-Nya (Cit-Acit-Visista) para, vyuha, vibhava, arca dan artayamin yaitu transenden, kumpulan, penjelmaan, gambaran dan yang immanen merupakan lima wujud Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan adalah adhara atau penopang alam dan jiva, serta penguasa atau pengendali (niyanta atau sesin) dari alam (Maswinara, 1999: 188).
               Menurut Ramanuja apapun adalah Tuhan (Narayana), namun Tuhan (Narayana) bukanlah suatu yang serba sama. Pada-Nya terkandung unsur-unsur kejamakan, hal mana Dia benar-benar mewujudkan diri-Nya dalam alam yang beraneka ragam. Artinya bahwa Tuhan (Narayana), Ramanuja merupakan Tuhan Berpribadi, pengatur, yang maha kuasa, bijak, dari pengatur alam semesta yang nyata. Dia resapi segalanya (vibhu), seperti dikatakan dalam Svetasvatara Upanisad, terjemahannya berbunyi:
          “Sujud kepada Tuhan Yang Mahaesa yang ada dalam api, yang ada dalam air, yang meresapi seluruh alam smesta, yang di dalam pohon-pohon kayu”, (Titib, 1994:32)
Dan dihidupi oleh jiwa-Nya, bukan Yang mutlak Tanpa Pribadi. Tuhan (Narayana), Ramanuja merupakan Tuhan Berpribadi dam Tuhan (Narayana) dengan atribut (Sawisesa Tuhan (Narayana)), maka tidak ada tempat untuk membedakan antara Param Nirguna dan Aparam Saguna; antara Tuhan (Narayana) dengan Iswara (Bahan ajar darsana). Keberadaan atau kehadiran Tuhan (Narayana) (sat), kesadaran (cit), kebahagiaan (ananda), kebenaran (satya), kecerdasan (jnana), adalah beberapa dari sifat-sifat-Nya. Ramanuja menyamakan Tuhan dengan Narayana dengan saktinya Laksmi (Dewi kemakmuran) yang bersemayam di Vaikuntha (Maswinara, 1999:188). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sri Ramanujacarya memandang Tuhan (Narayana) sebagai Tuhan yang berpribadi dan menjadi tujuan pemujaan dalam setiap ritual keagamaan. Kedudukan Tuhan sebagai inti atau sumber kehidupan dalam filsafat ini dapat digambarkan sebagai berikut :

                                                                                    Tuhan
                                                                                    Jiva
                                                                                    Alam semesta


4. Jiva
               Mengenai Jiwa diajarkan bahwa Jiwa berbeda dengan Tuhan, sekalipun tidak bebas daripadaNya. Jiwa disebut dengan Prakara Tuhan, artinya Jiwa turut membantu Tuhan, Ia bukanlah suatu cara untuk mengenal Tuhan, juga bukan transformasi atau perubahan rupa Tuhan. Jiwa sama dengan Tuhan, sepanjang Tuhan berada di dalamnya (Imanen) Tuhan yang menggerakkan Jiwa dari dalam. Jiwa berbentuk atom yang bilangannya banyak sekali, serta mewujudkannya satu kelompok, satu rumupun, satu kelas jiwa. Jikalau Tuhan berakekatkan intlegensi atau akal, maka Jiwa berakekatkan perasaan, yang ada dalam keadaan bahagia, yang dapat mengetahui segala sesuatu, sekalipun dalam jarak yang jauh. Demikian keadaan Jiwa, disamping itu Jiwa juga dapat dilahirkan dan dapat menderita, karena Karma yang dibuat oleh manusia (Sura, dkk, 1984 :90).
               Jiva adalah suatu prakara Tuhan yang lebih tinggi dari pada materi, karena ia merupakan kesatuan yang sadar, yang merupakan inti dari Tuhan. Menurut Ramanuja Tuhan, jiva dan alam adalah suatu kesatuan yang abadi. Jiva adalah yang sadar sendiri, tak berubah, tak terbagi dan bersifat atom (anu). Jiva – jiva itu jumlahnya tak terhingga ibarat atom yang tak terhitung jumlahnya, dimana jiva pribadi menurut Ramanuja benar – benar bersifat pribadi secara multak nyata dan berbeda dengan Tuhan. Manusia atau jiva pribadi merupakan partikel dari keseluruhan partikel yaitu Tuhan, yang ibarat sebuah biji delima yang menyatakan Tuhan atau Tuhan (Narayana) Ramanuja maka, setiap biji disamakan dengan jiva pribadi. Sesungguhnya ia muncul dari Tuhan (Narayana) dan tak pernah di luar Tuhan (Narayana), tetapi sekalipun demikian ia tetap menikmati keberadaan pribadi dan akan tetap merupakan suatu pribadi selamanya (Maswinara, 1999: 189). Sehubungan jiva berhakikatkan perasaan, ia awalnya murni dan bahagia. Namun ketika salah mengidentifikasikan dirinya sebagai tubuh melalui samsara, ia kadang bisa  menderita atau bahagia,  bergantung pada karma masa lalu. Berdasarkan kondisi inilah Ramanuja dalam filsafatnya membedakan jiwa menjadi tiga golongan. Tiga golongan jiva itu adalah :
a.      Nitya (abadi), jiva – jiva yang  abadi tak pernah berada dalam belenggu dan selamanya bebas. Mereka hidup dengan Tuhan di vaikuntha
b.      Mukta (bebas), jiva yang telah bebas dari belenggunya namun sekali waktu menjadi subyek Samsara dan sekarang telah mencapai pembebasan hidup dengan Tuhan.
c.       Bandha (terbelenggu), jiva yang terperangkap dalam belenggu keduniawian dan terjerat dalam samsara, pengetahuannya diciutkan untuk menikmati objek – objek yang bersifat sementara. Ia mendapat badan dari hasil karma masa lalunya dan berjalan melewati kelahiran menuju kematian dan dari kematian menuju kelahiran sampai akhirnya mencapai moksa atau pembebasan terakhir yang dimana pengetahuannya telah berkembang dan mendapat pembebasan atas karunia Tuhan ( Narayana) (Maswinara, 1999: 189 ; Sura, dkk, 1984 : 90-91)

5. Prakerti
Ajaran Ramanuja mengenai benda (Prakrti) hampir sama dengan Samkya. Perbedaannya bahwa Samkya mengajarkan bahwa benda (prakrti) tergantung dari roh atau Jiwa (Purusa) untuk dapat berkembang, Ramanuja mengajarkan bahwa:
1.      Benda tidak bergantung dari roh atau jiwa dalam perkembangan itu.
2.      Bahwa ketiga guna yang ada pada benda, yaitu sattwa, rajas dan tamas mewujudkan sifat-sifat benda, bukan daya atau tenaga yang ada pada benda seperti yang diajarkan oleh Samkya.
Sekalipun benda tidak tergantung dari roh atau jiwa dalam perkembangannya, namun menurut Ramanuja, benda tidak bebas daripada Tuhan sebab benda berfungsi sebagai tubuh Tuhan atau sebagai pakaian Tuhan, bersama-sama dengan Jiwa atau roh. Dari benda inilah perkembangan seluruh dunia dengan segala isinya bukan karena dirinya sendiri, melainkan dibawah kehendak Tuhan. Hubungan antara benda dengan dunia tidak sama dengan hubungan Jiwa dengn dunia, sebab hubungan antara benda dengan dunia bersifat tidak dapat dipisahkan (aprthak-siddhi) seperti halnya hubungan Tuhan disatu pihak dan benda di pihak lain. Bagaimana dunia berkembang dari benda, penguraiannya sama dengan ajaran Samkya. Pada jaman peleburan (pralaya) benda bukan dihapus melainkan berada dalam bentuk yang lebih halus.
Hubungan Jiwa dengan Tuhan, Jiwa dengan badan dipengaruhi oleh sifat-sifat masing-masing. Ramanuja menguraikan bahwa ada 10 sifat yang mempengaruhi yakni:
a.              Lima kwalitas indriani (Panca Budhindria) antara lain, sparsendria, granendria, jihwendria, srotendria, caksundria.
b.             Tiga guna (tri guna) yang memberi kwalitas kepada benda atau prakrti yaitu sattwam, rajas dan tamas.
c.              Budhi dan ahamkara.
Kesepuluh unsur sifat inilah yang memberikan potensi atau daya yang menyebabkan gerak (sakti).
Dalam proses pralaya keseluruhan alam semesta terpendam dalam diri-Nya dan dipantulkan kembali selama masa penciptan, tetapi tidak pernah menyentuh inti-Nya  (Maswinara, 1999 : 188).

6.  Moksa
Moksa itu sendiri menurut Ramanuja adalah berlalunya roh dari kesulitan hidup menuju semacam surga (Waikuntha), disitu ia akan tetap selamanya dalam kebahagiaan abadi yang tenang dan hadirat Tuhan. Jiva – jiva yang terbebaskan mencapai hahekat Tuhan dan tak pernah menjadi identik dengan-Nya, tetapi hidup dalam persahabatan dengan Tuhan baik dengan melayani-Nya atau juga bermeditasi dengan-Nya tetapi tidak pernah kehilangan pribadinya. Menurut Ramanuja tidak ada seseorang yang disebut jivamukti pembebasan baru akan dicapai apabila jiva meninggalkan badan (Maswinara, 1999:190). Untuk mencapai ini perlu adanya penyerahan diri sepenuhnya (prapatti) kepada Tuhan agar lepas dari siklus suka duka. Bila telah mencapai Moksa pengetahuan roh akan berkembang, (Proyek Peningkatan Pendidikan Agma Hindu di Perguruan Tinggi, 2003:235). Dikatakan roh yang berbaris dalam samsara ini, mengembang dan menciut melalui perbuatan baik dan perbuatan jahat. Ada dua jalan untuk mencapai tujuan (moksa) yaitu :
1.      Jalan prapati
Dengan prapati atau penyerahan secara mutlak dan dengan bhakti atau sembahyang. Yang dimaksud dengan prapati adalah orang harus berkiblat kepada Tuhan, sebagai satu-satunya tempat perlindungan. Penyerahan diri harus disertai sikap menaruh kepercayaan yang sempurna bahwa Narayana bersifat Pemurah dan Mahakuasa. Jalan Prapati terbuka bagi setiap orang, dari bahasa apapun bisa dilakukan tanpa perbedaan sebab Tuhan Mahatahu. Yang wajib dilaksanakan ialah harus mengekuti segala apa yang diwahyukan oleh Tuhan, tidak menentang kehendak Tuhan, percaya bahwa Tuhan akan melepaskan diri dari segala kesengsaraan jika sudah mengikuti perintah Tuhan, menyerahkan sepenuhnya jiwa ragakepada Tuhan dengan pasrah. Orang yang telah mampu menyerahkan diri dengan setulus-tulusnya, tidak takut akan datangnya maut dan pikirannya selalu ditujukan kepada Tuhan, jika ia mati akan menuju tempat kebahagiaan (sorga) kemudia hidup kekal abadi (Waikunta) (Sura, dkk, 1984 :93).

2.    Jalan bhakti,
Kalau dengan jalan Prapati lebih menekankan kepada pendekatan diri terhadap Tuhan secara mutlak, tetapi melalu jalan bhakti ini, disamping berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dengan memasrahkan jiwa raga demi Tuhan, juga berusaha mengharmoniskan diri (mendekatkan diri) terhadap segala ciptaan Tuhan dengan jalan berkarma, berpikir dan melatih diri dari segala godaan. Ramanuja menguraikan dalam mencapai tujuan ini tidak bisa lepas dri Wasista Dwaita (dua jalan untuk menuju yang satu atau sat). Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan hidup yang terakhir akan tercapai jika tubuh telah luluh dengan asalnya. Disitulah Jiwa akan melihat Tuhan secara langsung dan akan nampak sebagai hakekat yang tertinggi dari kekuatan dirinya sendiri (Sura, dkk, 1984 :94). Bhakti terbagi atas tiga yang mesti dilakukan yakni : karma yoga, jnana yoga, dan bhakti yoga. Karma yoga dilakukan melalui pelaksanaan upacara keagamaan, seperti melaksanakan upacara panca yadnya. Bhakti yoga dilakukan melalui meditasi, sedangkan jnana yoga dilakukan melalui perenungan diri sendiri yang berhakikatkan rohani dan jasmani yang berasal dari dan berada dibawah kekuasaan Tuhan.

Ramanuja mengakui tidak peduli dengan apapun warna (kasta) atau kedudukan seseorang. Mereka dapat mengikuti jalan yang telah disedikan untuk mewujudkan persatuan dengan-Nya (Bahan ajar Darsana).

          KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wasistadwaita ditekankan dengan yang satu itu diterangkan atau ditentukan oleh sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan dunia serta menjiwai kedua-duanya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman (Tuhan)tidak mungkin tanpa sifat, tiada Nirguna Brahman, maka kelirulah Sankara. Karena Tuhan berhakekatkan intelijensi atau akal, bebas dari segala cacad, memiliki segala sifat yang mulia, seperti umpamanya: Mahatahu, Mahakuasa, berada dimana-mana, Mahamurah, Ialah yang menjadi sebab adanya dunia, dan berada di dalam jiwa dan benda seperti di dalam tubuhnya. Sekalipun demikian Ia tidak dipengaruhi oleh keduanya itu. yang dianggap sebagai Tuhan adalah Wisnu (Narayana) yang sama dengan Brahman
Brahman adalah jiwanya dunia, yang sekaligus menjiwai Jiwa manusia. Ketiganya dapat digambarkan sebagai dua lingkaran yang berpusat pada Brahman, Jiwa adalah lingkaran yang kecil dan dunia adalah lingkaran yang besar yang berada di luar.
Dengan demikian ketiga-tiganya antara Brahman, Jiwa dan dunia adalah sama-sama nyata namun tidak sama, tidak identik, tidak berada pada dataran yang sama, seperti halnya dengan Jiwa dan badan manusia. Tetapi ketiganya ini tidak dapat dipisahkan karena ketiganya sama-sama kekal. Jadi dari beberapa sumber ini dapat penulis katakan secara eksplinsif bahwa vasistadvaita ini secara tidak langsung menyatakan Tuhan (Narayana) adalah segala sumber dari apa yang telah ada, sehingga Tuhan (Narayana) adalah awal dan akhir dari kehidupan ini. Dan yang menjadi tujuan hidup menurut Ramanuja adalah untuk mencapai alam Narayana, menikmati kebebasan dan kebahagiaan yang sempurna.
           
Daftar Pustaka
Maswinara, I Wayan. 1999. Filsafat Hindu. Surabaya : Paramita
Sura, I Gede, Dkk. 1984. Tattwa Darsana. Jakarta : Proyek Pembinaan mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama
            Buku Bahan Ajar Darsana I dan II




Tidak ada komentar:

Posting Komentar