Senin, 16 Desember 2013

tugas materi kuliah Jurnalistik



JUDUL : ESENSI DASA AKSARA DALAM SIWA SIDDHANTA

ABSTRAK
Penulisan ini khusus mendiskripsikan makna dasaaksara dengan konteks budaya Bali khususnya tentang pemaknaan dasaaksara dalam Siwa Siddhanta  yaitu sepuluh aksara suci yang memiliki keterkaitan tentang paham Siwaisme di Bali. Penulisan ini tentang makna warna yang dilihat  dari sudut pandang filsafat, kepercayaa, mitos dan hal-hal yang berhubungan dengan budaya suatu masyarakat. Deskripsi makna dasa aksara yang diperoleh dari hasil pengamatan kepustakaan ini memberikan sumbangan informasi kepada umat Hindu tentang makna dasa aksara sehingga konsep dasa aksara yang ada tidak diterima begitu saja sebagai sebuah mitos yang harus diikuti tanpa  pengertian yang logis,  akan tetapi dapat dipahami dan dimaknai dengan lebih baik.
Dasa aksara sebagai aksara suci yang memiliki kekuatan magis ada  makna yang terselubung dalam dasa aksara terhadap paham siwaisme yang mendominasi di Bali, baik dilihat dari bunyi gamelan yang dikaitkan dengan dewata nawa sangga. Sepuluh aksara (sa,ba,ta,a,i,na,ma,si,wa dan ya) memiliki sakti terhadap istadewatanya masing – masing yang kemudian di puja oleh umat Hindu di Bali.

1.        PENDAHULUAN
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Banyak jalan yang bisa manusia tempuh untuk mencapa Tuhan salah satunya adalah bhakti marga adalah jalan dengan sujud bhakti kepada Tuhan dan berupaya menyerahkan jiwa raga demi Tuhan juga berusaha mengharmoniskan diri dengan segala ciptaan-Nya. Dalam proses atau jalan yang harus dilewati yang sebagai sebuah rintangan untuk menentukan jati diri atau mengetahui hakikat hidupnya maka diperlukan sarana untuk mempermudah berkomunikasi dengan Tuhan. Dengan demikian dapat diwujudkan Tuhan yang bersifat transeden menjadi imanen. Beranjak dari hal itu, apapun jenis dan alasan dari aktivitas manusia selalu membutuhkan media, sebab media itu merupakan sebuah symbol, terlebih – lebih kedudukan manusia secara antromorpos adalah sebagai mahkluk homo simbolikum.
Kedudukan manusia sebagai mahkluk homo simbolikum ini menyebabkan manusia tidak bisa lepas dengan simbol – simbol. Termasuk juga dalam hal memuja Tuhan. Umat Hindu Bali dalam hal pemujaan selalu menggunakan simbol untuk mewujudkan Tuhannya yang tidak nyata. Selayaknya umat memanusiakan Tuhan. Tuhan dianggap seperti manusia bersifat yang terkadang memintak ini itu, marah dan manusia mintak ini itu layaknya Beliau adalah seorang ayah atau ibunya.
Sebagai manusia yang religuis manusia selalu memuja Tuhan dengan menggunakan media termasuk pengider bhuana yang dikenal sebagai dewata nawa sangga. Dewa – dewa ini memiliki aksara masing – masing. Aksara ini disebut dengan dasa aksara. Tentu dasa aksara ini bukan sembarang hurup yang, karena bukan sembarang hurup banyak orang yang ingin belajar tentang dasa aksara. Sehingga, dasa aksara ini sudah tentu memiliki makna yang menyebabkan manusia tertarik untuk mengatakan bahwa dasa aksara ini sebagai aksara suci.

2.        PEMBAHASAN
2.1  Dasa Aksara
Dasa Aksara adalah dalam bahasa Bali, atau bahasa Kawi berarti sepuluh (10) hurup suci penghubung energy diri dengan energi vital alam semesta yang mengontrol , mengatur perputaran alam semesta,baik microcosmos ataupun macrocosmos. Dasa aksara merupakan sepuluh hurup utama dalam alam ini yang merupakan simbol dari penguasa alam jagat raya. Energy ini sebagai penentu kehidupan semua mahluk dan yang menentukan hidup matinya kehidupan di muka bumi ini. Dasa Aksara ibarat sebuah Password yang menghubungkan kita dengan lautan energy cosmic.
Aksara suci merupakan aksara yang jarang diperguanakan dalam kehidupan sehari – hari. Disebut sebagai aksara suci karena memang aksara ini mempunyai kekuatan gaib atau magis religius untuk menyucikan atau membersihkan sesuatu. Aksara ini pada umumnya dipergunakan sewaktu ada upacara agama, atau dalam pengobatan. Aksara suci terdiri atas : 1). Aksara wijaksara atau bijaksara, dan 2) Aksara modre (Ngurah, 2006:27).
Aksara wijaksara, di Bali lebih dikenal dengan nama aksara bijaksara (biji = biji, benih) terdiri atas sejumlah aksara swalalita ditambah aksara amsa atau berupa ulu chandra,  kecuali aksara ah. Aksara wijaksara ini terdiri dari eka aksara (ongkara), dwi aksara (dwyaksara), tri aksara (tryaksara), panca aksara, dasa aksara(dasa aksara), catur dasa aksara dan sad dasa aksara (Ngurah, 2006:27).
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara ini terdiri dari 10 aksara suci atau wijiaksara, yaitu : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh aksara ini berasal dari delapan buah akasara wianjana (sa,ba,ta,a,i,na,ma,si,wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i) (Ngurah, 2006:107).
Hal yang senada juga disampaikan oleh Bangli  (2004: 23-24) bahwa Aksara danthi dan aksara murdha (huruf mati dan huruf besar) itu juga disebut aksara wyanjana. Aksara danthi dan aksara wyanjana yang dipilah – pilah menjadi empat bagian disebut “ Catur Kahuripan” yakni Ong, Ang, Ung, Mang. Dari delapan belas (abjad aksara bali) menjadi dua puluh aksara, kemudian dijadikan tiga kelompok diantaranya : (1) Wreyastra, adalah aksara danthi setelah mendapat sandangan kata – kata dan menjadi kalimat – kalimat yang mempunyai arti, (2) Modre, adalah aksara yang mengandung magis menjadi inti sari kelepasan /moksa, (3) swalita, adalah aksara maparikuta (disurat bersusun – susun) menjadi mantra, mengandung kekuatan gaib (dari atharwa weda). Sempurna pertemuan wreyastra, modre dengan swalita, akan menjadi perpaduan wahyu-adyatmika, sekala-niskala dan modre berafilasi dengan mantra, yang kemudian menciptakan suatu sistem kerjanya yang disebut “ Dasa Kramaning Dasa Bayu”. Oleh sebab itu, menjadi dasa aksara dan seterusnya.
 Berdasarkan pengelompokan aksara diatas maka, penulis berpendapat bahwa dasa aksara adalah aksara yang memiliki kekuatan gaib yang dapat dipergunakan untuk membersihkan dan menyucikan, kedua fungsi ini berkaitan dengan segala aktivitas keagaamaan di Bali dan pengobatan berbagai penyakit. Sehingga aksara memilki keterkaitan dengan pembangun di Bali seperti pemasanagn ulap - ulap, upacara ritual (caru dan lain sbg) serta rerajahan yang dipergunakan balian untuk menangkal kekuatan halus dari pasiennya.

2.2  Dasa Aksara Dalam Nawa Dewata
Nawa Dewata atau Dewata Nawa Sangga adalah sembilan penguasa di setiap penjuru mata angin dalam konsep agama Hindu Dharma di Bali. Sembilan penguasa tersebut merupakan Dewa Siwa yang dikelilingi oleh delapan aspeknya. Diagram matahari bergambar Dewata Nawa Sangga ditemukan dalam Surya Majapahit, lambang kerajaan Majapahit.
Tabel 01
Nawa Sangga
Arah
Dewa
Shakti
Senjata
Wahana
Warna
Hitammm
 
vHI
Merahmerah
Pancawarna
Bhuta
Taruna
Pelung
Jangkitan
Dadu
Langkir
Jingga
Lembu Kanya
Gadang
Tiga Sakti
Aksara
A
Wa
Sa
Na
Ba
Ma
Ta
Si
I / Ya
Urip
4
6
5
8
9
3
7
1
8
Bhuwana
Alit
Ampru
Ineban
Pepusuh
Peparu
Hati
Usus
Ungsilan
Limpa
Tumpuking
hati
1)     Dewa Iswara merupakan penguasa arah timur (Purwa), bersenjata Bajra, wahananya (kendaraan) gajah, shaktinya Dewi Uma, aksara sucinya "Sa", di Bali beliau dipuja di Pura Lempuyang
2)     Dewa Brahma merupakan penguasa arah selatan (Daksina), bersenjata Gada, wahananya (kendaraan) angsa, shaktinya Dewi Saraswati, aksara sucinya "Ba", di Bali beliau dipuja di Pura Andakasa
3)     Dewa Mahadewa merupakan penguasa arah barat (Pascima), bersenjata Nagapasa, wahananya (kendaraan) Naga, shaktinya Dewi Sanci, aksara sucinya "Ta", di Bali beliau dipuja di Pura Batukaru
4)     Dewa Wisnu merupakan penguasa arah utara (Uttara), bersenjata Chakra Sudarshana, wahananya (kendaraan) Garuda, shaktinya Dewi Sri, aksara sucinya "A", di Bali beliau dipuja di Pura Batur
5)     Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Pusering Jagat
6)     Dewa Maheswara merupakan penguasa arah tenggara (Gneyan), bersenjata Dupa, wahananya (kendaraan) macan, shaktinya Dewi Lakshmi, aksara sucinya "Na", di Bali beliau dipuja di Pura Goa Lawah.
7)     Dewa Rudra merupakan penguasa arah barat daya (Nairiti), bersenjata Moksala, wahananya (kendaraan) kerbau, shaktinya Dewi Samodhi/Santani, aksara sucinya "Ma", di Bali beliau dipuja di Pura Uluwatu.
8)     Dewa Sangkara merupakan penguasa arah barat laut (Wayabhya), bersenjata Angkus/Duaja, wahananya (kendaraan) singa, shaktinya Dewi Rodri, aksara sucinya "Si", di Bali beliau dipuja di Pura Puncak Mangu.
9)     Dewa Sambhu merupakan penguasa arah timur laut (Ersanya), bersenjata Trisula, wahananya (kendaraan) Wilmana, shaktinya Dewi Mahadewi, aksara sucinya "Wa", di Bali beliau dipuja di Pura Besakih.
10) Dewa Siwa merupakan penguasa arah tengah (Madhya), bersenjata Padma, wahananya (kendaraan) Lembu Nandini,senjata Padma shaktinya Dewi Durga (Parwati), aksara sucinya "I" dan "Ya", di Bali beliau dipuja di Pura Pusering Jagat
http://id.wikipedia.org/wiki/Nawa_Dewata  diakses tanggal 19/11/2013 pukul 08:56)
Dari kesembilan penjuru mata angin memeiliki dewata tersendiri. Masyarakat Hindu di Bali memili sendiri dewa yang akan mereka puja sebagai objek pemujaan atau sering disebut sebagai Istadeawata. Istadewata sering disebut dengan abhistadewata atau dewa pilihan. Ngurah Nala berpendapat bahwa umat hindu di Bali yang mayoritas menganut ajaran siwa siddhanta, menurut mereka yang dimaksudkan dengan istadewata adalah Dewa Nawasanga (Nawasangga). Kesembilan dewa diatas diyakini dan dipercayai oleh umat Hindu di Bali, yang dianggap mampu memberikan kesejahteraan, kedamaian, perlindungan dan pertolongan serta menjaga keselamatan umat dari mara bahaya yang datang dari segala penjuru mata angin (Ngurah, 2006:79).

2.3    Dasa Aksara dalam Bhuana Agung dan Bhuana Alit
Bhuana Agung berasal dari dua  kata “bhuana yang berarti alam” dan “agung yang berarti besar”. Bhuana Agung berarti alam besar. Alam besar dalam agama Hindu disebut sebagai makrokosmos, jagat raya ataupun brahmanda. Makrokosmos  meliputi gugusan bintang, matahari, planet bumu beserta isinya. Sedangkan bhuana alit adalah alam kecil yang disebut dengan mikrokosmos. Mikrokosmos meliputi semua mahkluk hidup (manusia, binatang dan tumbuhan) (MGMP, 2010:20,34)
Dasaaksara ini terbagi atas dua kelompok yang disebut panca brahma(agni,api) dan panca tirta (apah, air). Panca Brahma terdiri atas aksara sang, bang, tang, ang, dan ing atau sa-ba-ta-a-i. Sedangkan Panca Tirta terdiri atas aksara Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang. Panca Brahma membentuk tanda tambah atau silang tampak dara, atau swastika tegak lurus timur-barat dan selatan-utara, berada di dikpala. Sedangkan Panca Tirta membentuk tanda tambah dengan arah menyilang, yakni tenggara-baratlaut dan baratdaya-timurlaut, berada di widkpala (Ngurah, 2006:113)
Panca Brahma ini menempati dikpala, yakni arah timur-barat dan selatan-utara dari bhuana agung atau jagat raya. untuk memperjelas keterkaitan aksara, unsur kanda pat, linggih (sthana) atau kedudukan baik di tubuh manusia (bhuana alit) maupun di jagat raya (bhuana agung.
Tabel 02
Hubungan Panca Brahma dengan Wijaksara, Kanda Pat, Linggih dan Dewa
No
 Bunyi & Murti Siwa wija aksara
Unsur Kanda pat
Linggih di Bhuana Alit
Linggih di Bhuana Agung
Dewa atau Batara
1
Sang perthiwi-murti
Ari-ari, tembuni plasenta
Charma
kulit
Purwa
Timur
Sang hyang Iswara
2
Bang agni-murti
Rah
Darah
Rah
darah
Daksina
Selatan
Sang Hyang Brahma
3
Tang Vayu-murti
Lamas/Lamad
Selaput janin
Mamsa
daging
Pascima
Barat
Sang Hyang
Mahadewa
4
Ang Jala-murti
Yeh nyom
Air ketuban
Uat, damani urat
Uttara
Utara
Sang Hyang Wisnu
5
Ing Akasamurti
Dengen
bhuta
Otak,
mastiska
Madya
Tengah
Sang Hyang Siwa
Panca Brahma selain malinggih di dalam tubuh manusia (sang ibu) juga malinggih di dalam unsur kanda pat dari manik, rare (bhruna janin), sehingga unsur ini memiliki juga kekuatan seperti para dewa tersebut. Para Dewa dan unsur kanda pat ini adalah : 1) Wijaksara Sang, Sadyojata, pertiwi atau tanah, Dewa Iswara berada di ari – ari (plasenta), 2) Wijaksara Bang , Bamadewa, teja, agni, panas atau api, Dewa Brahma, berada di rah (darah, rakta), 3) wijaksara Tang, Tat Purusha, vayu, bayu atau udara, Dewa Mahadewa, berada di lamas (lamad, selaput tipis pembungkus badan janin), 4) wijaksara Ang, Aghora, Dewa Wisnu, apah atau air berada di yeh nyom (air ketuban) dan 5) wijaksara Ing, Icana, Dewa Siwa, akasa, embang atau ruang, berada di dengen (gelar kanda pat).
Unsur kanda pat yang terdiri dari air ketuban, darah, selubung tipis dan plasenta, merupakan unsur vital sebagai pembentuk, pendukung dan penjaga kehidupan janin (bhruna) selama berdad di dalam kacupu manik, garbhasaya, uterus atau kandungan ibu. Air ketuban atau yeh nyom berfungsi sebagai bantalan bagi bhruna atau janin sehingga terhindar tubuhnya dari berbagai guncangan dan benturan fisik.  Sewaktu lahir, air inilah yang bertugas sebagai pelopor, membuka jalan agar licin, sehingga janin mudah melaluinya dan lahir dengan lancar, selamat. Rah, rakta atau darah berfungsi sebagai pembawa makana dari sang Ibu melalui ari – ari (plasenta) dan tali pusat ke dalam tubuh janin, serta membawa limbah produk sampingan metabolisme jani ke ibu. Lamas, ini berfungsi ssebagai penahan agar suhu tubuh janin tidak banyak dipengaruhi oleh suhu lingkungan di luar tubuhnya.  Tembuni, ari-ari atau plasenta yang melekat erat pada dingding bagian dalam dari garbhasaya (kacupu manik, uterus atau kandngan ibu), merupakan perantara antara ibu dengan janin. Darah ibu ke luar masuk ke dalam badan janin, melalui plasenta atau tali pusat. darah yang masuk ke dalam janin membawa zat makanan, oksigen serta unsur nutrisi lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh janin, dan membawa kembali dari janin ke ibu semua hasil metabolisme termasuk karbodioksida. dengan demikian ketika lahir, dan setelah berada di luar kandungan ibu, hidup mandiri sebagai manusia, unsur kanda pat ini tetap menjaga sang bayi dari segala gangguan nisakala. oleh karena sangat besar jasanya, wajarlah keempat unsur ini dianggap sebagai nyama, semeton atau saudara sehingga disebut semeton patpat, atau nyama patpat, empat saudara (Ngurah, 2006:111-113)

2.4  Makna dasa aksara
Khan berpendapat dalam Donder (2005:35) bahwa dalam mitologi India musik atau gambelan dianugrahkan oleh Dewa Siwa kepada umat manusia.  Konsep Siwa Siddhanta disimbolkan dalam lingkaran, simbol lingkaran ini memupnyai makan bahwa Dewa Siwa menguasai segala penjuru dunia. Untuk memuja dewa Siwa yang disimbolkan dengan nyasa lingkaran dan udara, maka saran yang tepat digunakan adalah unsur – unsur bunyi atau yang dapat mengeluarkan bunyi antara lain : pranayama, kidung, mantra, damaru ‘suara kendang’ dan gamelan (Donder, 2005:35).
Aksara dan bunyi mnyebar keseluruh penjuru dunia. Dipertegas dalam lontar Prakema bait 7 sebagai berikut:
ring purwa arupa putih, aksaranya sang
ring nairiti arupa dadu,aksaranya Nang
ring nairiti arupa bang,aksaranyaBang
ring nairiti arupa kwanta,aksaranya Mang
ring nairiti arupa jnar,aksaranya Sing
ring nairiti arupa wilis,aksaranya Ang
ring nairiti arupa ireng,aksaranya
ring nairiti arupa bhiru,aksaranya
ring nairiti arupa panca-warna,aksaranya ring luhur Ing; ring sor Yang
mwang swaranya :
Ring Purwa       : dang
ring Nariti          :ndang
ring Dassina      :ding
ring Pascima     :nding
ring Kulon         :deng
ring Bayabya     : ndeng
ring uttara          : dung
ring Ersanya      :ndung
ring madya        : dong ring luhur, ndong ring sor
’Adapun di sekeliling dan ditengah – tengahnya ada cahaya beraneka warna disertai dengan aksara dan bunyinya yaitu :
ditimur rupanya putih, aksaranya Sang
di tenggara rupanya dadu, aksaranya Nang
di selatan rupanya merah, akasaranya Bang
dibarat-daya rupanya jingga, aksaranya Mang
di barat rupanya kuning, aksaranya Tang
dibarat-laut ruanya hijau, aksaranya Sing
di utara rupanya hitam, akasranya Ang
di timur – laut rupanya biru, aksaranya Wang
di tengah rupanya lima warna, aksaranya di atas Ing, dang di bawah Yang
(pada watna dan aksara itu terjadi pula) suara :
di timur           :dang
di Tenggara     :ndang
di Selatan        :ding
di Barat-daya  :nding
di Barat           :deng
di Barat-laut    :ndeng
di Utara           :dung
di Timur-laut   :ndung
di Tengah        :dong di atas, ndong di bawah (Donder, 2005:49-50)
Dapat diperjelas dalam gambar  suara dan istadewata yang menguasai penjuru ( Lontar Prakema, bait 18) berikut :


 





nding
 
ndang
 
                  


ding
 
 
           
I           : dong  = Ciwa
Sa        :dang   = icwara
Bha      :ding    =Brahma
Ta        :deng   =Mahadewa
A          :dung   =Wisnu
Na       :ndang =Mahesora
Ma       :nding  =Sangkara
Si         :ndeng =Rudra
Wa       :ndung =Sambhu
Ya        :ndong=Budha (Ciwa)
Donder (2005: 50-51) berpendapat bahwa bait lontar Prakema ini menuraikan kesepuluh nada yang menyusun musik gamelan Bali menyebar keseluruh penjuru angin dalam wujud bunyi (dang, ndang, ding, nding, deng, ndeng, dung, ndung, dong, ndong). Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai para dewa menyebar dan mengausai ke seluruh penjuru mata angin (Dewata Pangider Bhuana) yang diwujudkan dalam simbol aksara (Sang, Nang, Bang, Mang, Tang, Sing, Ang, Wang, Ing  dan Yang. simbol aksara Dewata Pangider Bhuana relevan dengan simbolisasi Siwa dalam Siwa Siddhanta yang dilukiskan sebagai lingkaran, makna simbolik dari lingkaran itu adalah penguasa segala penjuru mata angin.
....dasa aksara dijadikan dua kelompok yakni, panca brahma dan panca tirtha: sa, ba, ta, a,i dan na, ma, si, wa, ya. Dari panca brahma diringkas menjadi tryaksara, rwa bineda dan eka aksara, ong, panca brahma panca tunggal nama siwanya, dan ini menunjukkan  Paham Siwaisme. Kandanning Aji Dasa aksara memotivasi bahwa agama Hindu didominasi oleh doktrin Siwa dan di Bali juga disebut Agama Tirtha. Putu Bangli  berpendapat bahwa Aksara meliputi seluruh aspek upacara keagaamaan di Bali, sejak mulai seluruh aktivitasnya. Aksara dasa aksara sebagai landasan filosofis dari seluruh bangunan fisik pelinggih – pelinggih, gedong – gedong stana Bhetara-Bhetari  (Bangli, 2004 :24-28).
Pemantauan sistem kerja Dasa aksara memberi kejelasan paham monotheisme dari doktrin Siwa, bahwa hanya ada satu Tuhan dengan banyak sebutan “EKAM SAD WIPRA BAHUDA VADANTI” (Bangli, 2004 :25). Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari.
 Sa eko bhagavan sarvah
Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah
Catur vidhasya karanam
Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya
Kahidup makalaksana siwatattwa
Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda
Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha.
Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.
Artinya :
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.
Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :

          Om namah Sivaya sarvaya
          Dewa-devaya vai namah
          Rudraya Bhuvanesaya
          Siwa rupaya vai namah

Artinya :
          Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa
          Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
          Kepada Rudra raja alam semesta
          Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis
          Twam Sivas twam Mahadewa
          Isvara Paramesvara
          Brahma Visnuca Rudrasca
          Purusah Prakhrtis tatha

Artinya :
          Engkau adalah Siwa Mahadewa
          Iswara, Parameswara
          Brahma, Wisnu dan Rudra
          Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti
          Tvam kalas tvam yamomrtyur
          varunas tvam kverakah
          Indrah Suryah Sasangkasca
          Graha naksatra tarakah
 Artinya :
          Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu
          Engkau adalah Varuna, Kubera
          Indra, Surya dan Bulan
          Planet, naksatra dan bintang - bintang
          Prthivi salilam tvam hi
          Tvam Agnir vayur eva ca
          Akasam tvam palam sunyam
          Sakhalam niskalam tatha
 Artinya :
          Engkau adalah Bumu, Air
          dan juga Api
          Angkasa dan alam sunia tertinggi
          Juga yang berwujud dan tak berwujud
  Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.
 Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.  Salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html  diakses 19/11/2013 (pukul 08:53).
Menurut lontar atau buku Usada Tiwas Punggung (Punggung Tiwas), dasa aksara ini terdiri dari 10 aksara suci atau wijiaksara, yaitu : Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, dan Yang. Kesepuluh aksara ini berasal dari delapan buah akasara wianjana (sa,ba,ta,a,i,na,ma,si,wa dan ya) dan dua buah aksara suara (a dan i). Kalau kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata – kata akan terbentuk kalimat, yang bunyinya sebagai berikut :sabatai nama siwaya. Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa Siwa ( nama siwaya) (Ngurah, 2006:107).
Mengenai dasaaksara yang merupakan konsep dalam paham Siwa Siddhanta juga dipertegas oleh Ngurah Nala dalam webnya sebagai berikut:
Sa berarti satu
Ba berarti bayu
Ta berarti tatingkah
A berarti awak
I berarti idep
Nama berarti hormat
Siwa berarti Siwa
Ya berarti yukti
Dengan pengertian seperti itu, maka arti dari dasa aksara ini adalah orang yang mempunyai tingkah laku dan pikiran (idep) yang luhur saja yang mampu mempergunakan bayu kekuatan dari Siwa. Dengan menyatukan tingkah laku dan pikirannya dia akan mampu mempergunakan dasa bayu untuk kesehjateraan buana alit dan buana agung.
Jika panca tirtha digabung dengan panca brahma ditambah dengan tri aksara dan eka aksara akan terjadi catur dasa aksara. Catur dasa aksara ini terdiri atas: sa-ba-ta-a-i ditambah na-ma-si-wa-ya, serta digabung dengan ang-ung-mang dan ong-kara yang erat kaitannya dengan catur-dasa-bayu, suatu kekuatan yang ada di dalam buana alit dan buana agung, yang memungkinkan manusia dan dunia hidup dengan wajar.
http://www.puragunungsalak.com/2010/06/dasa-aksara.html   diakses 18/11/2013 pukul 19: 23.

3.        PENUTUP
Simpulan
Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dasa aksara adalah aksara suci yang memiliki kekuatan magis sehingga aksara tersebut jarang masyarakat menggunakannya. Sudah barang tentu dasa aksara ini tidak diketahui oleh masyarakat kebanyakan. Dasa aksara terdapat dalam segala penjuru mata angin yang di kenal sebagai pengider bhuana atau jagat raya. Dasa aksara ini memiliki saktinya masing – masing yang diyakini dan disembah sebagai istadewatanya. Memang dilihat dari dewa – dewa yang ada dalam dewata nawasangga begitu banyak, hal inilah yang umat lain katakan Hindu memuja banyak dewa. Sesungguhnya itu adalah hal yang keliru. Makna yang terselubung dalam aksara suci tiap dewa penguasa mata angin itu adalah paha monotheisme. Tuhan yang kekal dan abadi adalah satu namun karena  Beliau meliputi banyak aspek, maka umat menyembah Beliau di tiap – tiap aspek. Beliau yang satu itu disebut dengan Siwa yakni inti atau poros dari segala penjuru. Kalau kesepuluh aksara ini dirangkai dalam kata – kata akan terbentuk kalimat, yang bunyinya sebagai berikut :sabatai nama siwaya. Kalimat ini merupakan ungkapan doa untuk memuliakan Dewa Siwa ( nama siwaya).       


DAFTAR PUSTAKA
Bangli, I.B. Putu. 2004. Mutiara Dalam Budaya Hindu Bali (Pedoman Guide). Surabaya : Paramita
Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu. Surabaya : Paramita
Nala, Ngurah. 2006. Aksara Bali dalam Usada. Surabaya : Paramita
MGMP. 2010. Lembaran Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu. tkt.tp



ANYAR BALI POS
Rabu, 13 November 2013

Kekecewaan Dan Kebanggaan PAH V
Anyar Bali pos, Singaraja



Singaraja- Lapangan Tihing Petung menjadi saksi kekecewaan tim futsal PAH V yang kalah dari tim futsal PBB VII dalam memperebutkan juara 1 pada juara futsal tahun ini. Sekaligus menjadi saksi kesenangan tim PAH V tersendiri yang telah berhasil membalas dendan pada tim PAH VII pada musim futsal 2013.



Pendidikan Agama Hindu (PAH) V berhasil mengalahkan PAH VII dengan skor 4 – 2 di babak ke-2 pada semi final pekan lalu (08/11).  Final, tim PAH 5 berhadapan dengan tim Pendidikan Bahasa Bali (PBB) VII untuk memperebutkan piala pertandingan futsal putra dalam rangka memeriahkan ulang tahun Institut Hindu Dharma  Negeri (IHDN) Denpasar ke IX, tim PPB VII berhasil menaklukan tim PAH V dengan pencapaian skor 6 – 3.
Setelah berhasil menaklukan beberapa tim lawan dalam 4 kali pertandingan, akhirnya tim PAH V beradu dengan tim PBB VII di babak final. Pertandingan yang menegangkan antara PAH V dengan PBB VII demi memperebutkan juara futsal di musim 2013. Pertandinngan final dilaksanakan sabtu, 9 november pukul 17 : 00 – 17:30 wita. Pertandingan yang berlangsung selama 30 menit, dibagi menjadi dua babak.
Babak pertama berlangsung selama 15 menit, PBB VII sukses menahan tim PAH V 3 – 1  pada babak pertama. Putu Juni Parwanto mengecoh pemain penyerang ( Krisnaadi dan Samiasa)  dan kiper  Ogik sehingga mencetak goal terbanyak pada babak pertama. Pemain yang kerap disapa jonok ini, berhasil mencetak goal sebanyak 3 kali. Tim PAH V berhasil membalas dengan skor 1 yang disumbangkan oleh pemain Kadek Agus Sandi.
Berlanjut, permainan babak ke-2 selama 12 yang lebih memanaskan lagi diantara kedua pemain di Lapangan Futsal Tihing Petung. Tim PAH V harus lebih ekstra lagi untuk mengejar selisih 2 point dari tim lawan. Ojil, Jonok dan Kacir berhasil menambah 3 point untuk tim PBB VII. Agus Sandi mengejar point lawan dengan menggoal 1 kali. Begitu pula dengan Samiasa pemain dari tim PAH V menunjukkan kebolehannya dengan menggoal 1 kali. Tepat pukul 17 :30 wita pemainan ini berakhir dengan skor 6 -3 dan PBB VII dinobatkan sebagai juara I dan PAH V sebagai juara II sedangkan PAH VII juara III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar