Selasa, 17 Desember 2013

Seni Sakral (Barong Ket)

BARONG KET


1.        Pengertian Barong Ket
Barong berasal dari kata bahruang yang merupakan nama sejenis binatang dan sangat populer di Bali. Pengertian ini tampak begitu populer, padahal jika kita simak secara  bersama binatang sejenis bahruang tidak pernah kita temukan hidup di Bali. Penulis Bali tidak tahu menahu akan nama yang telah sedemikian populer di Bali ini. (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :1).
Bila ditinjau dari terminologi Barong, arti Barong secara Nominatif bersal dari sejenis binatang beruang dst. Arti riil adalah personifikasi atau wujud penyelamat dan seni spectakuler/sekuler. Pada jaman kerajaan Bali, kalau terjadi wabah maut (gering agung) barong akan diarak keluar mengusir roh – roh jahat. Sedangkan barong berasal dari bahasa kawi. Ba (h) rwang selanjutnya berarti beruang mengalami metatetis atau sandi barwang menjadi Barong (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :26). Jika ditinjau dari etimologi katanya bersal dari bahasa sanskerta b (h) arwang. Dalam hal ini kata barong bervariasi dengan kata barwang menjai baruang, yang bersinonim dengan kata beer yang berarti beruang (Dr. R. Goris) (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :26).
Beberapa jenis Barong yang dikenal atau populer di kalangan Umat Hindu Bali ada Barong Ket atau Ketet (mengambil rupa singa), Barong Bangkung (mengambil rupa Celeng atau Babi, biasanya digunakan pula untuk tradisi ngelawang), Barong Macan (mengambil rupa Harimau), Barong Brutuk (mengambil rupa Lembu, biasanya ditarikan di daerah Trunyan) dan ada juga Barong Kadingkling atau yang dikenal pula dengan Barong Blasblasan (mengambil rupa wayang wong). Dua jenis Barong yang disebutkan terakhir bisa dikatakan sangat jarang kita temui dalam kegiatan adat sehari-hari.
Dari beberapa jenis Barong diatas, salah satunya Barong Ket atau Barong Keket (hal ini tergantung dari kebiasaan setempat) adalah tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.  Untuk menarikannya Barong Ket ini, diusung oel du aorang yang disebut dengan juru saluk atau juru Bapang, yang mana salah satu penari bagian kepala dan yang satunya lagi di bagian pantat dan ekor. Tari Barong ini melukiskan tentang pertarungan kebajikan (dharma) dan keburukan (adharma) yang merupakan dua sifat berlawanan yang disebut dengan rwabineda. Tari Barong Ket ini diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan (http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-barong-ket.htm). Barong Ket ini, merupakan Barong yang amat populer di Bali Selatan dan tengah, termasuk daerah Badung, Gianyar, Klungkung dan Tabanan (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :29).

2.        Asal – Usul Barong Ket
Barong Ket dianggap sebagai manifestasi dari banaspati raja atau raja hutan. Orang Bali menganggap seekor singa sebagai raja hutan yang paling dasyat. Konsep yang sama juga terdapat di India, Cina, dan Indonesia. Di Jawa, figur Barong Ket seperti di Bali disebut Barong Singa, dan Reog Ponorogo. Jika diteliti secara mendalam mengenai ikonografinya, memang bentuk dasar dari topeng Kala itu ialah muka singa. Di India penggambaran ini disebut Shimamukha, atau Khirtimukha. Dalam hal ini singa dipilih sebagai figur Barong adalah karena singa memiliki kemampuan untuk menghancurkan kekuatan jahat. Di Bali Barong Ket dianggap sebagai simbol kebaikan. Dalam pementasan tari Barong di Bali, figur Barong Ket dijadikan simbol kemenangan dan Rangda merupakan simbol pihak yang kalah. Namun di luar konteks seni pegelaran, kedua figur itu duduk sejajar sebagai pelindung masyarakat.
Barong menurut I Made Bandem, adalah topeng yang berwujud binatang,  mitologi yang memiliki kekuatan gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Dilihat dari ikonografi topeng-topeng Barong yang ada di Bali, nampak adanya perpaduan antara kebudayaan Bali Kuna dengan kebudayaan Hindu, khususnya kebudayaan Hindu yang bercorak Budha. Topeng-topeng Barong seperti itu terdapat pula di negara-negara penganut agama Budha seperti Jepang dan Cina. Di Cina, tradisi mengenai kepercayaan terhadap naga yang dianggap memiliki kekuatan gaib sudah tua umurnya. Contoh, naga-naga dalam kebudayaan Zaman Batu Baru (Neolithic) dilukis pada vas-vas bunga dan diukir pada batu giok. Pada Zaman Perunggu (Bronze Age) di Cina, naga-naga diasosiasikan dengan kekuatan dan manifestasi alam semesta, seperti angin, kilat dan petir.
Masih menurut I Made Bandem, ada versi lain mengenai munculnya Barong di Bali. Banyak para sarjana memastikan bahwa asal mula Barong adalah tari singa Cina yang muncul selama dinasti Tang (abad ke 7-10) dan menyebar ke berbagai negara bagian di Asia Timur. Nampaknya pertunjukan tari singa ini pada awalnya merupakan suatu bentuk pengganti dan pertunjukan singa asli oleh para penghibur keliling profesional (sirkus) yang tampil di setiap pasar malam atau festival musiman. Bila dihubungkan dengan Sang Budha,tari singa Cina memiliki konotasi sebagai pengusir bala yang hidup sampai masa sekarang. Dilihat dan fungsinya Barong-Barong di Bali juga melakukan perjalanan ke luar desanya, berkeliling mengunjungi desa-desa lain, mengadakan pementasan di jalan raya atau dirumah orang secara profesional, memungut uang untuk kepentingan kesejahteraan sekaa (group/kelompok) yang disebut ngalawang. Barong Ket yang keberadaannya tidak asing lagi bagi masyarakat Bali. Kabarnya ngelawang ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang berkeliaran di desa setempat, menyucikan desa hingga sebagai antisipasi pertama ketika desa diserang wabah penyakit.
Ngelawang Barong merupakan tradisi masyarakat Bali yang biasanya digelar menjelang perayaan Hari Raya Kuningan. Namun anak-anak sekolah kerap memanfaatkannya untuk mencari uang tambahan. Ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-religi yang kuat. Benda-benda keramat seperti Barong dan Rangda, misalnya, diusung ke luar pura berkeliling di lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat. Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah.
Tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan. Namun dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tak hanya ngelawang mengusung benda-benda sakral namun dibuat tiruannya untuk disajikan sebagai ngelawang tontonan. Itu merupakan sedikit dari asal muasal dan fungsi dari ngelawang
Anak-anak di Kabupaten Tabanan, Bali, memiliki kegiatan unik yang mendatangkan uang untuk mengisi libur sekolah mereka. Mereka mengamen, namun dengan menggunakan alat-alat musik tradisional dan sejenis barongsai yang kerap disebut Ngelawang Barong. Hampir sebagian anak-anak sekolah di Tabanan,Kerambitan , Bali, selama liburan galungan dan kuningan, memanfaatkan hari-harinya untuk mencari tambahan jajan dengan mengamen keliling.
Uniknya kegiatan mengamen yang mereka lakukan, tidak menggunakan alat musik gitar, melainkan musik tradisional khas Bali, berupa seperangkat gamelan sederhana,yang terdiri dari kendang,kecek,kempul,serta beberapa perangkat tambahan lain dan barong. Dalam bahasa Bali kegiatan ini disebut Ngelawang Barong. Tanpa malu anak-anak ini mendatangi rumah warga satu persatu. Setelah menemukan rumah berpenghuni, barulah mereka beraksi. Diiringi bunyi kentongan, barong yang dibawa dua anak menari mengikuti irama musik kentongan.
Mereka mendapatkan imbalan berupa sejumlah uang dari warga. Bagi anak-anak ini, inilah yang menjadi daya tarik kegiatan Ngelawang Barong. Sebab uang bisa mereka gunakan untuk menambah uang jajan hingga membeli buku sekolah. “Ikut Ngelawang untuk ngisi liburan. Sebentar lagi kan mau Hari Raya Kuningan,” kata seorang anak yang ikut Ngelawang Barong (http://www.pandebaik.com/about/).
Selain itu ada juga beberapa teori tentang munculnya Barong Ket yaitu :
3.1 RELEGIOUS INSTINCT
Menurut teori ini, kemunculan dari Barong Ket karena terlihat binatang yang bersikap aneh, binatang kadang – kadang tidak mungkin ada dalam fauna Bali yang terkadang dilihat bersembunyi ke sebuah pura. Masyarakat Bali sering menyaksikan binatang yang berwujud ajaib dan misterius, masyarakat menyebutnya sebagai due (binatang milik Dewa – dewa). Pengalaman ini membuat masyarakat berkesan dan mengagap Dewa – dewa memelihara binatang. Konsepsi secara kasar bagi masyarakat bahwa Dewa – dewa adalah personifikasi dari humanisme. Dewa – dewa ini dianggap demi gods (dewa setengah manusia, manusia setengah dewa) yang hobby memelihara binatang layaknya manusia biasa.
Binatang ini secara mithologi misalnya visnu menunggangi garuda, indra menunggangi gajah dll. Binatang tunggangan ini secara umum disebut unen – unen. Unen - unen ini dijadikan miniatur menjadi sebuah patung yang disimpan bersama dengan pratima (simbul dewa) dalam sebuah pura, setelah melalui proses penyakralan (mensucikan) atau yang disebut sakralisasi. Unen – unenan ini otomatis memiliki sifat keDewaan. Maasyarakat Bali tidak pernah mengalami masa, dimana mungkin toteisme merupakan gejala kemasyaraktan, sehingga menyucikan binatang atau simbulnya merupakan tokoh utama dari praktis keagamaan. Namun betapapun harus diakui bahwa dalam konteks itu terjadi antara Dewa – dewa dengan binatang, adanya binatang suci ini karena manusia memiliki naluri keagamaan (relegious instinct) (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :6-7).

3.2 PLAY INSTINCT
Pendapat lain tentang penciptaan Barong Ket  dimulai dari play instinct (naluri permainan). Bagi anak – anak bermain adalah salah satu kebutuhan vital yang mutlak terpenuhi. Dari bermain anak- anak  belajar berimajinasi, menirukan dan menciptakan bentuk sederhana dari pengalaman apa yang dilihatnya untuk dijadikan sebuah permainan. Binatang i hewan peliharaannya yang dekat dengan kehidupannya misalnya babi, kucing, anjing, sapi, lembu dan sebagainya. Bentuk kucing ini kemudian berkembang menjadi sebuah permainan anak – anak tidak hanya meniru bentuknya saja tetapi juga tingkah lakunya yang kadang – kadang menggelitik hatinya. Anak – anak dalam meniru tingkah laku binatang peliharaannya berusaha sebagai operator (nyalukin) untuk menghidupkan jenis permainannya itu. Maka dari sinilah tercipta BarongBarongan. Menurut teori ini Barong Ket merupakan lanjutan (survibel) dari permainan BarongBarongan itu.  Tidak ada yang tahu kelanjutan dari teori ini, kecuali pengalaman – pengalaman kontemporer tentang pemain –pemain yang kerauhan (didatangi dewa – dewa dalam keadaan kesurupan) (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :8).

3.3 VITALITY INSTINCT
   Teori vitalty instinct atau juga disebut dengan naluri kehidupan, yang secara negatif berarti naluri takut akan kematian. Misanya takut keluar malam sendiri karena takut dengan setan, leak, yang merupakan suatu apresiasi dari takut akan kematian. Dalam sasana Budaya Bali. 1975/1976 : 9 dinyatakan bahwa “manusia sering mengalami kematian massal akibat dari penyakit yang menular atau epidemic (disentri, typhus, kolera dll)”. Di Bali dikenal dengan istilah gerubug atau juga gering. Penyakit ini muncul diluar dari daya nalar manusia atau bersifat nonmedis. Manusia mencari kambig hitam bahwa penyebabnya tidaklah lain murka dari roh – roh jahat. Kematian ini tidak mungkin diatasi oleh kecerdikan manusia duniawi, sementara sumbernya bersifat supernatural (adi kodrati). Dalam keputusan ini manusia mengarahkan perhatiannya kepada Dewa – dewa yang baginya dalam watak praktisnya merupakan kharisma. Bagi masyarakat gerubug adalah suatu gejala nyata. Agar para Dewa mungkin diperankan dalam hubungnya dengan dunia atau tujuan praktis, maka peran itu haruslah dimaterialisir dalam wujud tertentu, atau lewat pelantara pendeta yang bersumber dari para Dewa. Agar sebanding dengan wujud musuhnya yang mengerikan maka beliaupun mengambil wujud yang angker dan mengerikan pula. Maka dari sinilah tercipta Barong Ket yang wujudnya merupakan tiruan dari binatang (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :9).
3.4 AKULTURASI
   Teori ini dikemukaka dari kalangan pelajar, yang ada kolerasinya dengan mata pelajaran Sejarah. Penganut – penganut teori ini merujuk beberapa contoh : yang pertaman gaya lukisan tradisional Ubud dan sekitarnya yang dipengaruhi oleh walter speis dan Bonnet. Kedua candi dari simbul kerajaan Belanda yang berupa kostum penari kecak dari pemain pemain komidi-stambul atau marinir asing dan sebagainya. Dinyatakan bahwa barong sae adalah sumber barong ket yang diadopsi oleh Bali dari Tiongkok Cina. Bali dan Tiongkok pernah bergaul baik secara langsung atau tidak langsung melalui jalur perdagangan. Kazanah budaya assosiatif bersifat keCinaan misalnya uang kepeng (pis bolong, bentuk arsitektur Taman Ujung (Karangasem), beberapa alat upacara pura Batur Kalanganyar-Bangli, ornamen pintu raja Bangli, hasil – hasil seni keramik yang disebut jun dan sebagainya. Cukup masuk akal bahwa Barong Ket adalah tiruan atau duplikat dari barong sae. Akulturasi ini tidak saja fenomenologis tetapi juga assosiational. Dewasa ini Barong sae sebagaimana di Bali juga berfungsi sebagai penolak roh – roh jahat dan hiburan. (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :14) Menjejaki mula cipta Barong Ket berdasarkan teori naluri keagamaan dan teori bermain, betapapun kesannya sangat ilmiah, namun tidak sedikitpun mengandung analogi. Oleh kedua teori ini diserahkan daya khayal , seolah – olah pulau Bali adalah sebuah negeri tertua dan terasing. Teori ini mengingkari kebenaran sejarah, karena sesungguhnya Bali tidak pernah mengalami masa yang dimaksud. Yang memberi pandangan bahwa manusia Bali memulai hidupnya dengan situasi naivete dan kekanak – kanakan belum menganut agama tertentu. Teori naluri bermain cukup bertentangan dengan aktuil. Kalau permainan barong – barongan tidak berkembang menjadi Barong ket di pegunungan. Karena seni rupa hampir tidak berkembang dan tidak lahir di desa – desa. Anak – anak tidak pernah mengenal permainan barong – barongan, mereka lebih karib bergaul dengan binatang peliharaannya. Permainan mereka dikenal dengan sebutan gembala – gembala, yang dimana mereka mengikat tali pada tangan kawannya kemudian  menarik – nariknya. Demikian permaian  diperoleh atas pengalaman kehidupannya sehari – hari, mereka meniru tingkah laku orang tuanya dan dirinya sendiri . Permaianan barong – barongan hanya dilakukan oleh anak – anak kota karena disekelilinya banyak barong ket. Dan permaianan ini hanya populer ketika masanya selama 42 hari sejak hari raya Galungan. Sehingga tidak mungkin Barong Ket ada karena naluri bermain (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :14 - 15).
Demikian juga halnya dengan naluri keagamaan, di desa – desa kuno masyarakat masih sempit mendapat pengaruh Hinduisme hanya sebatas praktek kecil saja. Masyarakat ini tidak memuliakan binatang meskipun percaya akan adanya unen – unenan ini. Melaiankan patung nenek moyanglah yang disucikan sebagai mana halnya di desa Truyan yaitu dengan adanyatopeng – topeng Brutuk (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :15)  
Kemudian hubungannya dengan teori instinct kehidupan. Beberapa jenis Barong ket memiliki fungsi yang berbeda – beda, ada yang hanya sebatas hiburan meski ada yang berfungsi sebagai unsur religion. Di Tabanan misalnya dalam masa – masa grubug mereka tidak mengeluarkan benda seni untuk mengusir roh – roh jahat. Barong Ket tetap tersimpanrapat agar jauh dari kekotoran masyarakat (sebel) akibat kematian masal sasana Budaya Bali. 1975/1976 :16).
Kini tinggallah satu –satunya alternatif, yakni barong Ket timbul karena adanya akulturasi budaya. Sesuai dengan azas – azas adaptasi, kebudayaan Bali memang luwes menerima, menyaring kebudayaan Tiongkok. Mengingat kedua bangsa ini pernah hidup harmonis dengan Budhisme. Namun tetap sulit suatu prospek maupun spekulasi dimana, dan bagaimana cara adaptasi ini berlangsung (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :16).

3.        Bentuk Barong Ket
Kini tibalah kita membicarakan bentuk dari Barong Ket. Bentuk Barong Ket umumunya seperti apa yang kita lihat keseharian. Bentuk Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi atau boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak serta janggutnya biasanya terbuat dari rambut manusia (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :28).  Barong Ket memiliki gigi yang runcing – runcing, memiliki kumis dan berbulu lebat, hal ini diasosiasikan dari kombinasi antara macan, singa ataupun sapi(sasana Budaya Bali. 1975/1976 :29).
Barong Ket dianggap sebagai manifestasi dari banaspati raja atau raja hutan. Orang Bali menganggap seekor singa sebagai raja hutan yang paling dasyat. Konsep yang sama juga terdapat di India, Cina, dan Indonesia. Di Jawa, figur Barong Ket seperti di Bali disebut Barong Singa, dan Reog Ponorogo. Jika diteliti secara mendalam mengenai ikonografinya, memang bentuk dasar dari topeng Kala itu ialah muka singa. Di India penggambaran ini disebut Shimamukha, atau Khirtimukha. Dalam hal ini singa dipilih sebagai figur Barong adalah karena singa memiliki kemampuan untuk menghancurkan kekuatan jahat. Di Bali Barong Ket dianggap sebagai simbol kebaikan. Dalam pementasan tari Barong di Bali, figur Barong Ket dijadikan simbol kemenangan dan Rangda merupakan simbol pihak yang kalah(sasana Budaya Bali. 1975/1976 :29). Namun di luar konteks seni pegelaran, kedua figur itu duduk sejajar sebagai pelindung masyarakat.

4.        Fungsi Barong Ket
Segala sesuatu yang manusia ciptakan, oleh cipta , rasa dan karyanya hingga menjadi benda seni dan mengalami sakralisasi, Seperti halnya Barong Ket ini tentu memiliki suatu fungsi. Secara umum Barong Ket mungkin hanya berfungsi sebagai bebalihan atau pertunjukan hal ini sesuai dengan teori asal mula yaitu teori play instinct diatas. Seperti yang kita ketahui, Bali adalah obyek wisata yang sudah terkenal diberbagai belahan dunia. Tak heran jika banyak wisatawan datang berbondong – bondong untuk berkunjung ke Bali. Sehingga tidak jarang pementasan Barong Ket hanya sebagai sebuah pertunjukan belaka untuk menghibur para wisatawan sekaligus berfungsi untuk memperkenalkan kebudayaan Barong yang berada di Bali (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :23).
Namun jika ditinjau dari segi sakralisasi, jelas Barong Ket ini berfungsi sebagai pelindung, dengan wujud mengusir roh jahat pada proses ngelawang. Sesuai dengan makna dari wujud Barong Ket sebagai simbol kebajikanyang memiliki kekuatan white magic yang mengalahkan kejahatan(rangda) black magic. Kekuatan white magic ini dipusatkan pada punggalan (mukanya), khususnya pada matanya, gigi atau janggutnya (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :28) .
Fungsi lain,  jika sebuah desa diserang wabah kematian massal, maka pemangku Barong itu dengan cepat merendam janggut dengan secangkir air bersih, kemudian air suci ini dipergunakan sebagai obat untuk menyelamatkan masyarakat tersebut. Di banjar Kebon (Singapadu) konon ada barong yang mengeluarkan minyak dari matanya dan minyak ini telah menyembuhkan penyakit kudis (koreng) yang menyerang anak kampung tersebut (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :28). Namun di Tabanan misalnya dalam masa – masa grubug mereka tidak mengeluarkan benda seni untuk mengusir roh – roh jahat. Barong Ket tetap tersimpanrapat agar jauh dari kekotoran masyarakat (sebel) akibat kematian masal sasana Budaya Bali. 1975/1976 :16). Karena setiap desa memiliki kebudayaan, tradisi yang berbeda – beda. Jadi sebuah suatu yang wajar jika fungsi Barong Ket di masing – masing daerah memilki fungsi yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan Desa, kala dan patranya.

5.        Makna Barong Ket
Makna dari keberadaan Barong Ket ini diambil dari keberadaan dua sifat yang bertolak belakang yang berada pada setiap mahluk. Dua sifat ini sering kita sebut sebagai Rwabineda. Dari keberadaan Barong Ket inilah untuk menggambarkan tentang dualisme tersebut, yang dimana kebajikan (dharma,)(Barong) akan selalu menang di dunia ini dan mengalahkan kelajahatan (rangda). Barong Ket dianggap sebagai simbol kebaikan. Dalam pementasan tari Barong di Bali, figur Barong Ket dijadikan simbol kemenangan dan Rangda merupakan simbol pihak yang kalah. Namun di luar konteks seni pegelaran, kedua figur itu duduk sejajar sebagai pelindung masyarakat.
Dalam pementasan calonarang, Barong dimana Barong bertentangan dengan musuh bebuyutannya rangda, maka Barong Ket disebut dengan banaspatiraja. Dr. R. Goris mengatakan banaspati berarti woud beer atau beruang hutan (sasana Budaya Bali. 1975/1976 :26).  

6.        Gambar – gambar
Gambar kiri Rangda simbol black magic dan kanan barong ket simbol white magic.
http://www.babadbali.com/image/seni/drama/dt-barong-ket.jpg




Sumber : http://www.google.co.id/search?q=barong+ket&hl=en&client=firefoxa&sa=G&rls=org.mozilla:enUS:official&channel=s&prmd=imvns&tbm=isch&tbo=u&source=univ&ei=sPrWT9PHIrNrQeFy8D8Dw&ved=0CFEQsAQ&biw=1116&bih=468. Disearch tanggal 12 juni 2012, pukul 16 : 19.

Daftar Pustaka :
Proyek Sasana Budaya Bali. 1975/1976. Barong Di Bali Ditinjau dari Segi Rituil dan Perkembangannya Sebagai Seni Pertunjukan. Denpasar : Sasana Budaya Bali

4 komentar:

  1. 918kiss online wow i love 918kiss login t hat SO much.918kiss register can i cut and 918kiss agent paste it into my 918kiss app blog?? but give u credit, of course 918kiss kiosk???

    BalasHapus
  2. You made some good quality points there. I did a search on the rollex casino online malaysia topic and found many people will agree with your blog.

    BalasHapus
  3. There is a lot of info on mega 888 Download
    this blog: very helpful

    BalasHapus
  4. Gambling must be outdated, as a result the culture of the community his explanation often falls into religious infringements like gambling, but in certainty this does not guard social gambling. Gambling is one thing, there are many regulations and clear regulations in the law, even those obvious people who handily prove that gambling will receive criminal punishment, but the reality is that the knack of gambling is not just the veto of the law.

    BalasHapus