Kajian
Yoga dalam Siwaratrikalpa
I.
Pendahuluan
Sastra menurut teori
semiotik adalah tanda yang khas. Hasil kreasi orang yang suka mabuk bermain,
yakni bermain kata. Tradisi menamai mereka sastrawan, pujangga, penyair atau
sang kawi. Permainan katanya baru akan selesai manakala kata telah menjadi
wacana yang indah. Sistem bahasa dalam sastra adalah sisem tingkat dua. Oleh
karena itu, arti sastra adalah arti dari arti yang lazim disebut makna (Suarka,
2007:55). Keberadaan karya sastra
merupakan hasil kreasi pengarang yang dibangun berdasarkan tiga konvensi:konvensi
bahasa, konvensi sastra, konvensi budaya. Konvensi selalu ada tegangan antara
tradisi dengan pembaharuan. Maka untuk memahami karya sastra , mau tidak mau
harus memperhatikan konvensi dan penyimpangan konvensi yang melingkupi karya
yang dikaji ( Yasa, dkk, 2008:4)
Dalam hal ini sastra
juga dikenal dengan sebutan basa makulit
artinya wacana indah yang mengandung makna berlapis – lapis yang dibangun dan
ditata melalui keterpesonaan sang pujangga bermain alamkara “bermain dengan
bahasa” baik sabdaalmkara
“bermain dengan bunyi bahasa” atauun juga artalamkara,
bagi sang kawi-wiku adalah sarana
untuk mencapai kelepasan ( Yasa, dkk, 2008:3)
Kisah Si Lubdaka adalah
hasil imajinasi Mpu Tanakung yang digubah lewat kekawin dan memiliki
tema-amanat agama-budaya. Kisah ini merupakan rekaman religius peradaban
masyarakat yang hidup pada zaman Majapahit. Beliau berusaha membuat kisah yang
pemeran utamanya bukan dari kerajaan melainkan masyarakat walaka/biasa. Secara
eksplinsif dalam kisah Lubdhaka adalah kisah yang mendramatiskan kehidupan
berburu yang secara agama berburu adalah tindakan himsa karma yang secara tegas dilarang oleh ajaran Agama Hindu.
Untuk mendapatkan kebahagiaan manusia agar hidup selalu didasari oleh cinta
kasih atau ahimsa prinsip hidup tanpa
kekerasan. Ahimsa mukhayaning dharma
“ahimsa adalah darma yang terutama”.
Himbauan Bhagawan
Wararuci, mengajarkan bahwa “ada sepuluh perbuatan dosa”. Karmaphala namanya.(1) dengki pada kepunyaan orang lain (2) benci
kepada mahkluk lain (3) tidak menyakini karmaphala, itulah tiga pikiran. (4)
berkata jahat (5)berkata kasar (6) berkata fitnah (7) berkata bohong, itulah
dosa dari ucapan. (8) membunuh (9) mencuri (10) berzinah, inilah tiga dosa
tingkah laku (Saracamuscaya sloka
74-76).
Si Pembunuh jelas tidak
mungkin mendapat ke-siwa-an, sebab secara normatif, rahmat-Nya hanya mungkin
akan diperoleh dengan kasih. Kasih dalam pikiran adalah kebenaran, kasih dalam
perasaan adalah kedamaian, kasih dalam prilaku adalah darma, dan kasih dalam pengertian
adalah tanpa kekerasaan. Itulah empat pilar nilai kemanusiaan (Narayana, 1988
:23)
Dengan demikian Si
Lubdaka adalah manusia pembunuh itu, lalu memperoleh rahmat Siwa adalah kisah
yang naif atau nonsen. Anehnya kenapa selalu dibaca oleh anak nyastra “sastrawan religius Bali” terutama manakala mereka
melakukan puja siwaratri. Oleh sebab
itu perlu diajukan pertanyaan, adakah kisah Si Lubdaka tersebut bersifat maya “selubung” yakni menyelubungi makna
yang sebenarnya?. Jika hal tersebut benar adanya, jalan seperti apa yang Mpu
Tanakung tawarkan kepada umat untuk mencapai siwaloka atau kelepasan.
II.
Pembahasan
2.1
Kisah
Pemburu Bernama Si Lubdaka
Si Lubdaka adalah manusia
rimba, suku terasing wangsa Nisāda.
Ia mondok bersama anak, istri, dan wangsanya di tegalan bukit hutan. Mereka
hidup sederhana dan penuh suka cita. Nikmat hidupnya dari berburu. Binatang
buruannya bukan binatang sembarangan. Ia hanya suka memburu dan membunuh
binatang besar, terutama mong
“harimau”, wek “babi hutan”, gaja “gajah”, dan warak “badak”.
Pada hari catur dasing kapitu krsna “ hari ke
empat belas paro terang sasih ke 7 [bulan Magha]”, dengan pakaian berburunya
yang khas : krsnāmbarakancuga “ hitam membiru langit”, ia berangkat
berburu menyusuri hutan gunung yang indah ke arah timur laut seorang diri.
Banyak asrama yang tidak lagi terawat dan rusak dilewatinya. Sambil terus
mendaki menyusuri pedalaman hutan yang indah, ia siaga dengan panahnya
mengintai binatang buruan. Tetapi sial, tidak seekor binatang pun muncul. Hari
pun sore. Si Lubdaka lapar, haus, dan kelelahan. Walau begitu, ia berfikir. “
tidak ada guna pulang tanpa hasil buruan”. Oleh karena itu, ia terus
melanjutkan perburuan. Menjelang malam, tibalah ia di pinggir danau. Ia mamenĕk pang ing maja tĕhĕr
manongi talaga “ naik pohon maja dan di cabang pohon itu ia siaga dengan
panah memandangi tepian danau mengintip harapannya”. Pikirnya : “ mudah-mudahan
ada binatang minum air”. Tetapi sekali lagi ia sial. Malam tiba, kegelapan
hutan yang sunyi menakutkannya. Lubdaka mengantuk. Ia takut jatuh dan takut
menjadi mangsa binatang buas. Maka ( Wirama Aswalalita, pupuh 5:5) :
Dadi wĕkasan mapet pangalimur harip
mata sakeng takut makĕjĕpa,
pinipik ikang
rwan ing maja nirartaran tinibakĕn ring wway adalem,
ri dalĕm
ikang tataka hana teki rakwa Śiwalingga nora ginawe,
yata kahanan ikang sakala wilwaparna
tumibā tanora minaha.
Artinya :
“ kemudian ia
berusaha menghibur rasa kantuk dan saking takutnya ketiduran,
dipetiknyalah
daun bilwa lalu dijatuhkannya ke air danau yang dalam,
Di dalam danau
itu adalah Śiwalingga alami,
Tanpa disengaja
Śiwalingga itulah yang ditimpa oleh daun-daun wilwa yang dijatuhkannya”.
Ketika fajar menyingsing, ia
pulang dengan tangan kosong. Sore hari, menjelang petang ia tiba di pondoknya.
Anak istrinya menyambut kedatangannya dengan rasa sedih dan haru. Istrinya
menyuguhkan air dan sedikit nasi. Lalu, Si Lubdaka tidur kelelahan. Hari-hari
berikutnya mereka lalui seperti biasa : berburu dan bersenang-senang gurau dan
lama kemudian, Si Lubdaka sakit tua lalu mati. Kematiannya ditangisi. Mayatnya bhinasmi tĕlas ing gĕsĕng
“dibakar gosong”.
Alkisah, Si Lubdaka Roh sedih
melayang-layang di udara. Ia pangling, tidak tahu jalan ke alam baka. Hyang
Śiwa mengetahui itu, maka Beliau mengutus para gana “abdinya” untuk menjemputnya. Sabdanya : hanang
nisādātma sudhīra ring brata, ika papag denta wawan mare nghulun
“ di sana ada Si Lubdaka Roh, orang yang teguh melaksanakan brata. Jemputlah ia, iring ke sini
menghadap Aku”. Para gana tercengang dan bingung menerima perintah Bhatāra
Śiwa. Mereka berfikir, bagaimana mungkin roh seorang pembunuh bisa masuk
Śiwaloka. Maka mereka bertanya penasaran ( Wirama Wangsastha, pupuh
11:8-9) :
....,.....,
mapeki
don Hyang mami kĕdwa mamaksakĕn,
tĕka
nikang Lubdhakajīwa ghataka,
Apan
sajīwanya sadāmati mrga,
samātra
tapwan magawe tapabrata,
ndya
tĕka donanya tĕkeng Śiwalaya,
kĕnohnya
yan mungsira tambra gohmukha.
Artinya
:
“......,.......,
Ya Tuhanku, apakah tujuan Anda
menghadirkan Si Lubdaka Roh,
roh seorang pembunuh itu ke
Śiwaloka.
Kok perintah ini sepertinya dipaksakan.
Padahal, selama hidupnya ia selalu
berburu membunuh binatang.
Sama sekali tidak pernah melaksanakan
tapabrata.
Lalu, apa manfaatnya ia di
Śiwaloka.
Bukankah lebih baik ia dijebloskan ke
kawah neraka?”
Untuk menghilangkan
keragu-raguan para gana tersebut Śiwa bersabda (Wirama
Śārdūlawikridita, pupuh 12:1) :
....,....,
hāh
wwantĕn ta ya tang bratenulahakĕnya ndug sĕdĕngnyan dadi,
atyantādhika
ning bratanya ta ya kājar de nikang rāt kabeh,
manggĕh
ling nikang ādiśāstra Śiwarātripunya tan popama.
Artinya
:
“....,...
Oh ya, ada brata yang ia laksanakan
ketika masih hidup.
Sangat sempurna caranya melaksanakan
brata, itu dipercakapkan oleh masyarakat.
Menurut kitab suci disebut brata
Śiwarātri, brata yang penuh berkat,
tiada tanding keutamaannya”.
Demikianlah penjelasan Bhatara Siwa. Para gana puas, lalu berangkat menjemput roh Si Lubdaka dengan kendaraan
kebesaran Siwa yang bernama Puspaka. Sementara
di Yamaloka, Bhatara Yama, Sang Penegak dharma pun tahun betul siapa Si
Lubdaka. Ia adalah pembunuh dan kini telah mati. Atas dasar itu, Beliau
mengutus para kingkara”abdi Bhatara Yama”untuk menjemput Si Lubdaka Roh.
Perintah-Nya (Wirama Aswalalita pupuh
14:4):
.....,.....
lumarisa mangkatangalapa
Lubdhakatma wawanen ya ring Yamapada,
apusanan tan haris-harisen
inggal-inggala phalanya dusta satata
Artinya :
“Jemputlah
segera Si Lubdhaka Roh. Bawalah ia ke alam Yama. Ikat ia kuat-kuat,
berangkatlah segera. Begitulah pahala orang yang selalu berbuat dosa”
Alkisah, Si Lubdhaka
Roh kesakitan tak alang-kepalang. Ia diikat dan disiksa oleh prajurit Yama.
Tidak beberapa lama datanglah prajurit Siwa. Si Lubdhaka Roh tak urung menjadi
rebutan. Karena prajurit Siwa dan prajurit Yama sama kukuh menjalankan perintah
tuannya. Akan tetapi, prajurit Siwa lebih digjaya. Prajurit Yama dipukul
mundur. Si Lubdhaka Roh dinaikkan ke Puspaka dan diiring dengan perasaan suka
ria ke Siwaloka.
Sesampainya di Siwaloka, Si Lubdhaka Roh disambut oleh
Hyang Siwa dengan sabda manis membahagiakan (Wirama Ragakusuma, pupuh 29:2-5)
......,.........
Bhagyan prāpta bapangku sang Paramadharma
suyaśa atisatya ring brata,
Ngke ngke tāparĕk i nghulun sipi girang
mami bapan ri datĕngta ri nghulun.
Nahan donku angutus watĕk gana humundanga kita
datĕngeng Śiwalaya, atyanta rĕnangkw denta mamangun brata
paramapawitra tan sipi,
mangke pweki nihan tĕmunta phala ning
gumaweyakĕn ikang bratādhika, sakweh ning ganasangghya tan hana
liwat-liwata ri kita katwangan.
Lawān toh tariman tĕkapta panganugrahan
mami ri kita ndatan salah, astwa-nĕmwa śarīra mukhya sahaneng
Śiwapada saha ratnapuspaka, mukhyang astagunādi pada kasraha ri kita
lawan trilocana.
Salwir ning warabhūsanārja maka
bhūsana mami ya ta kawwate kita. Kantĕnanya tanora bheda ni hawakta
lawan iki sarīra ni nghulun,
Sāsing ramya niking Śiwālaya kiteka
wihikana mamuktya tan waneh,
Yawat panca mahādhibhūta salawasnyan
inajarakĕn ing jagattraya, tāwat mangkana tekihĕn lawas ananta
tumĕmu suka ring Śiwalaya.
Artinya :
“selamat datang
anak-Ku, berbahagialah, Ananda adalah pengamal dharma yang utama, penuh jasa,
sangat teguh melaksanakan brata.
Mari-mari
mendekatlah, Aku sangat bahagia menyambut kehadiranmu, Nah, beginilah maksud-Ku
mengutus para gana menjemputmu untuk
diajak datang ke Śiwaloka.
Hatiku sangat
senang, oleh karena Ananda telah melaksanakan brata yang sangat utama yang penuh berkah itu.
Nah sekarang
terimalah berkah-Ku, karena Ananda telah berhasil melaksanakan brata yang utama.
Semua
prajurit-Ku, para gana itu tidak akan
ada yang berani lancang melangkahimu. Kini, Ananda komandan yang patut mereka
hormati.
Dan ini,
terimalah anugrah-Ku, hanya kepadamu tidak ada yang lain.
Semoga engkau
mendapatkan wujud mulia, segala yang mulia, juga kendaraan puspaka yang berlimpah mutumanikam, di Śiwaloka.
Juga yang sangat
utama, yakni las_aguna: anima dan
yang lainnya, begitu juga trilocana,
semua itu Aku serahkan kepadamu.
Karena
kenyataannya, tidak ada bedanya dirimu dengan ini didiriku.
Segala yang
indah yang ada di Śiwaloka
engkaulah yang berhak menikmati, tiada yang lain.
Selama
Pancamahābhuta dipelajari orang di jagat raya, selama itulah Ananda dapat
menikmati rasa bahagia di Śiwalaya”
Sementara di Yamaloka,
prajurit kingkara melaporkan segala kisah derita yang barusan mereka alami
kepada Bha_āra Yama. Si Lubdhaka Roh telah direbut paksa oleh para gana
dan telah diiring dengan tanda kebesaran ke Śiwaloka. Mendengar itu Yama
terkenyak heran dan marah. Dharmanya merasa dilecehkan. Yang melecehkan justru
Bha_āra Śiwa, Sang Jungjungan yang telah memeberinya wewenang sebagai
penegak dharma. Katanya “Ada apa gerangan. Bagaimana mungkin ini terjadi. Ini
melanggar dharma “hukum”. Ia yang
berbuat baik masuk sorga. Sebaliknya, ia yang berbuat jahat pantas masuk
neraka. Si Lubdhaka jelas pembunuh. Karena itu, ia adalah orang jahat dan
karena itu pantas masuk neraka. Tetapi kok dimuliakan di Śiwaloka? Ini
aneh, ini penyimpangan. Aku tidak puas. Aku belum bisa terima. Aku ingin tahu
alasannya”. Maka, Bhatara Yama bergegas ke pucak Gunung Kailasa menghadap
Bha_āra Śiwa.
Bhatara Yama, setelah
tiba di hadapan Bhatara Śiwa
menghaturkan pujastuti. Śiwa tahu maksud kedatangan Yama. Oleh
karena itu Bhātara Śiwa kembali menjelaskan mengapa Si Lubdhaka Roh
mendapat pahala ke-Śiwa-an. Mendengar wejangan Śiwa, Yama puas lalu
kembali ke alamnya.
Setelah kepergian Yama,
Bhatāri Giriputri yang sedari tadi diam penuh perhatian mendengarkan sabda
Bhatāra Śiwa, lalu bertanya : “Ya jungjungan-Ku, bagaimana cara
melaksanakan brata Śiwaratri (Śiwarajani)
yang penuh berkah itu?” Maka, Śiwa pun menjelaskannya dan Mpu Tanakung
mencatat penjelasan itu dengan Wirama
Jagatnatha (pupuh 37) dalam Kakawin
Śiwaratrikalpa dalam 9 bait.
2.2. Makna Estetik - Religius
Laku Hidup Si Lubdhaka
Mpu Tanakung berkata: “wruh ngwang nisphala ning mango jenek
alanglang I kalangen ikang pasir wukir”. Terjemahan : Aku tahu, percuma
saja menikmati keindahan, jika hanya melanglang buana lalu terpesona menikmati
keindahan pemandangan pesisir-gunung. Dengan wacana itu, Mpu Tanakung boleh
jadi ingin menyapa kita, para pembaca: “Percuma saja anda menikmati lapis-lapis
kulitnya saja yang berupa wirama, jalan cerita, dan permainan bunyi atau
kata-kata yang membangun kekawin ku itu. Hikmah
Siwaratri baru mungkin tersingkap manakala anda berhasil mengupas lapis-lapis
tanda yang aku narasikan menjadi kisah Si Lubdhaka. Dan apabila anda ingin tahu
kedalaman makna kisah ini, inilah manggala “syair kunci” berirama Ragakusuma
“kembang rasa asmara” untuk membuka tabir tanda-tanda bermakna yang aku
narasikan itu”. Mpu Tanakung lalu
bersenandung:
Sang Hyang ning Hyang
amurtti niskala sirati-kinenyep ing akabwatan lango,
sthulakara sira pratisthita haneng hrdaya kamala
Madhya nityasa,
dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken
ing samangkana,
nghing pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana
tulusa digjayeng lango.
Artinya :
Dewatanya para dewa yang berwujud niskala, Beliaulah
yang sesungguhnya selalu menjadi pusat renunganku dalam mencari pengalaman
estetik-religius. Namun dalam wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam
padma hatiku. Untuk itu, (pada hari suci Siwaratri) aku melakukan dhyana,
stuti, kutamantra, japa dan mudra. Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah
Beliau berkenan menganugrahi aku jaya dalam pengalaman estetik-religius.
Menurut Rasti, dkk (2004: 35 - 41), cerita Lubdhaka memiliki makna di
dalamnya. Dalam bahasa Sanskerta lubdhaka berarti pemburu. Dikatakan bahwa
semua manusia adalah pemburu. Ada yang berburu dharma, ada yang berburu artha,
ada yang berburu kama. Secara umum pemburu diartikan sebagai orang yang selalu
mengejar buruan, yaitu binatang (sattwa). Kata sattwa berasal dari kata Sat
yang artinya inti yang mulai atau hakekat, sedangkan twa berarti sifat. Jadi
kata sattwa berarti sifat inti atau hakekat. Dengan demikian, nama Lubdhaka
melukiskan orang yang selalu mengejar atau mencari inti hakekat yang mulia.
Mengenai hakekat hidup, apabila dikaji secara filosofis-religius, hidup
mengandung makna kesempatan untuk berkarma, malah dalam kitab suci Reg Weda disebutkan, “Tuhan hanya mau menolong
orang yang mau menolong dirinya sendiri dan bekerja keras yangdilandasi oleh
dharma”. Tujuan segala macam karma itu adalah pembebasan diri dari perputaran
punarbhawa, sehingga bisa mencapai moksa. Dengan demikian tujuan hidup ini
adalah agar tidak hidup lagi dalam artian bersatu dengan Sang Pencipta.
Dengan memakai tokoh seorang rakyat miskin yang selalu melakukan
perbuatan membunuh (himsa karma), mengisyaratkan bahwa siapapun dapat bertobat.
Semua orang pasti pernah berbuat salah. Kenyataan ini juga menyadarkan kita
kita agar tidak putus asa, untuk kembali ke jalan dharma. pintu dharma selalu
terbuka lebar bagi siapa saja yang sadar akan dosa-dosanya. Dalam kekawin
Nitisastra disebutkan,”… tan hana satru
manglewihaning ana geleng ri ati”. Artinya tidak ada musuh melebihi musuh
yang menyelinap di dalam hati. Sedangkan dalam kekawin Ramayana disebutkan, “Ragadi musuh mapara ri hati ya tonggwania
tan madoh ring awak.” Artinya raga (nafsu) adalah musuh utama, di hati
tempatnya tidak jauh dari badan. Musuh-musuh dalam hati tersebut meliputi:
nafsu (kama), kerakusan (lobha), kemarahan (krodha), kebingungan (moha),
kemabukan (mada), dan irihati (matsarya). Keenam musuh tersenuit disebut dengan
Sad Ripu.
Watra (2007:13-14) yang menguraikan bahwa Nama Lubdhaka adalah nama
kiasan mendekati arti kata pemburu (bahasa Sanskerta). Pemburu dilukiskan
dengan binatang (sifat binatang yang sudah diruwat disebut Sattwa). Secara
etimologis Sattwa berasal dari kata “Sat” (Roh Tunggal) yang identik dengan
hakekat Brahman, kalau di bhuana alit disebut dengan atman. Sedangkan “twa”
berarti sifta mendekati keburukan atau sering disebut “binatang” (perilaku
seperti binatang), kalau di bhuana alit disebut Triguna (Sattwam, Rajas,
Tamas). Disinilah manusia secara universal, tidak saja agama Hindu harus
melakukan tindakan-tindakan preventif, yang disimbolkan “mejagra” semalam
suntuk. Tetapi arti sesungguhnya secara universal hati-hati terhadap gejala
buruk yang disebabkan oleh Alam, dan secara individu berhati-hatilah bisa
selamat dengan pengaruh alam tersebut, dan jika dikaitkan dengan realitas
manusia maka hati-hatilah menggunakan Tri Guna, agar bisa selamat selama
menjalani hidup ini yaitu damai dan sejahtera sampai menjelang menyatu
dengan-Nya.
Sedangkan Yasa dalam Atmaja, (2009: 50-59) menguraikan tentang makna dari
cerita Lubdhaka dari perspektif yoga meliputi:
Tanda
|
Kemungkinan Arti dan makna
|
Si Lubdhaka mondok di hutan, hidup sederhana bersama anak dan istrinya
|
Prototipe orang mondok mengingatkan
kita kepada sebuah pertapaan. Si Lubdhaka berarti seorang pertapa. Kebiasaan pertapa adalah hidup
menyepi. Membiasakan diri hidup sederhana dengan mengasingkan diri ke
tempat-tempat sepi dengan cara mondok di hutan atau pinggir pantai
adalah laku hidup aparigraha.
|
Kebiasaan hidupnya adalah berburu binatang tepilih: mong “harimau” wek
“babi hutan”, gaja”gajah”, dan warak “warak”.
|
Memburu dalam arti berusaha mengendalikan atau melenyapkan sifat-sifat
binatang yang ada dalam diri. Binatang adalah lambang dari sifat
rajas,”egois, keakuan” dan tamas “malas, suka nikmat seksual, kepemilikan”
yang menyebabkan orang berlumur dosa yang disebut trimala: a. kasmala
“melakukan perbuatan hina; membunuh, mencuri, dan berzina”, b. mada “mabuk
karena merasa: cantik, kaya, pandai, bangsawan atau kedudukan, sakti, minum,
dan berani”. dan c. moha “kebingungan karena kama (penuh nafsu)”, krodha
(pemarah), mada (pemabuk), matsarya (iri hati). dan lobha (tamak) dan
berusaha menaklukkan pancaklesa “binatang
buas yang hidup dalam diri manusia” berusaha merupakan laku hidup tapah yakni usaha sungguh – sungguh
ingin menaklukkan musuh yang paling buas yang ada dalam diri.
|
Suatu kali ia berangkat berburu pada catrudasing kapitu krsna
|
Waktu kosmis yang tepat untuk melakukan laku spiritual. Bulan
dikatakan memiliki 16 kala “kekuatan duniawi”. 1+6 = 7 kemungkinan merupakan simbolik dari
sapta timira, dan pada hari panglong hari ke 14 pro kemungkinan 1+4 = 5
merupakan panca indrya, terang ini bulan telah kehilangan 14 kala “daya
pesona duniawinya”. Dan pada hari ini hanya tinggal 2 kala “kekuatan duniawi”
lagi. Oleh karena itu, para guru suci penganut paham Siwa menganjurkan para
peminat pengalaman spiritual untuk lebih meningkatkan usaha spiritualnya pada
purwani Tilem. Karena pada hari dimaksud para pemburu pengalaman religius
hanya perlu mengalahkan 2 kala “nafsu duniawi” lagi. Dua kala itu adalah kala
yang palig kuat diantara 14 kala yang lainnya. Bila mampu mengalahkannya,
maka diyakini rahmat Siwa akan turun berupa pencerahan rohani: memiliki
pengetahuan spiritual dan berbahagia. Dua kala yang dimaksud adalah raga atau
kama “nafsu birahi, keakuan” dan dwesa “kebencian, kepemilikan”
|
Pagi hari memakai pakaian hitam kebiru-biruan
|
Pakaian khas kebesaran Majapahit. Pagi hari disebut brahma muhurta
“hari Brahman”, waktu yang baik untuk melakukan olah spiritual atau memuja
Tuhan. Dapat dibandingkan dengan kebiasaan pendeta di Bali yang melakukan
upacara Nyurya sewana, memuja Bhatara Siwa raditya tepat ketika mata hari
baru terbit di ufuk timur.
|
Berjalan sendirian
|
Mengikuti jalan yang disebut nirwrtti marga, jalan spiritual bagi
seorang pertapa atau jnanin. Karena berangkat sendirian berarti tidak ada
teman bicara, berarti monabrata atau tidak bicara.
|
Siaga membawa panah
|
Panah merupakan lambang pikiran, maka dapat dikatakan bahwa ini
merupakan pemusatan pikiran, bekontemplasi
|
Ke arah timur laut
|
Kiblat suci yang merupakan sandi dari kiblat Utara simbol ratri
“malam, gelap, hitam” dengan kiblat Timur simbol Siwa atau Iswara “siang,
terang, putih”. Boleh jadi juga simbol sandi antara paham sakti dengan paham
siwa. Mengingat, Siwa-sakti: tantrisme yang kuat pengaruhnya di zaman jayanya
Hindu di Jawa dan Bali. Dalam konteks ini pada zaman Majapahit.
|
Selama perjalanan ia menjumpai banyak tempat suci rusak dan tidak
berpenghuni lagi
|
Membayangkan situasi politik dan kehidupan religius di akhir zaman
Majapahit.
|
Tidak seekor binatang buruan
pun yang didapatkan di hari itu
|
Ego “sifat binatang” sang pertapa sudah tidak diketemukannya lagi di
dalam dirinya. Artinya, sang pertapa telah berhasil mengalahkan keakuan dan
rasa kepemilikannya
|
Tidak terasa, senjakala pun tiba “malam”
|
Senja kala adalah hari sandi antara terang dengan gelap yang
menyebabkan kenyataan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu pertapa harus
lebih awas dengan meningkatkan kesadaran spiritualnya.
Malam dalam rangka yoga menandakan gelap bhatin karena pengaruh panca klesa atau lima rintangan dalam pikiran yang menyebabkan
kekhawatiran.
|
Naik pohon wilwa “bila, maja” yang tumbuh di pinggir danau. Si situ ia
duduk di camping pohon itu dan bergadang.
|
Untuk tidak dikuasai klesa Si Lubdhaka naik pohon Bilwa di
campangnya duduk dengan nyaman. Begadang berarti meningkatkan kesadaran dengan jalan meditasi untuk
memurnikan pikiran agar daya budi terungkap. Sadar berarti jagra. Pohon maja adalah lambang tulang punggung yang
secara spiritual di dalamnya terdapat cakra-cakra (yang terkenal sapta cakra)
“simpul-simpul spiritual yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan”. Duduk
nyaman berarti sikap asana atau duduk di camping pohon boleh jadi melambangkan titik kosentrasi, yakni
pada titik meditasi di tengah-tengah antara otak kiri dan otak kanan, yakni
di otak tengah. Otak kiri berkaitan dengan rasio dengn cara berpikir linier,
sedangkan otak kanan berkaitan dengan rasa dengan cara berpikir asosiatif.
Sementara di otak tengah atau pusat
berkaitan dengan hal yang bersifat spiritual dengan cara berpikir transformatif,
integratif, dan holistik (Sumardjo, 2007: 55-63), harmoni antara rasio dan
rasa, bijaksana.
Naik pohon boleh jadi juga melambangkan bangkitnya daya sakti yang
disebut Kundalini sang pertapa, yakni manakala ia telah berhasil melenyapkan
rasa keakuan dan kepemilikan dari dalam dirinya. Naik dimaksud adalah naiknya
daya sakti dari muladara cakra “simpul rohani yang berada di dalam tulang
ekor” melalui cakra-cakra di atasnya menuju ke sahasra cakra “simpul rohani
yang ada di atas ubun-ubun”.
|
Ranau “Danau”
|
Yoni adalah lambang Sakti atau Dewi saktinya Siwa, lambang kesuburan
|
Di tengah danau itu ada Siwalingga “nora ginawe” Batu berdiri sendiri
|
Lingga adalam lambang Siwa. Kata nora ginawe mengisyaratkan sifat
alami atau abadi; Siva adalah realitas yang abadi. Tidak dibuat, karena
segala yang dibuat sifatnya tidak abadi; lambang kesadaran.
Siwalingga inilah yang menjadi pusat kosentrasi dalam proses dharana hingga samadhi.
|
Pinipik ikang rwani ing maja “memetik daun maja” sampai fajar
menyingsing, semua daun maja jatuh mengenai Siwalingga, tidak dengan sengaja.
|
Kata pinipik “dipetik” menyarankan makna memetik sari ajaran Siwa.
Kata rwan atau ron atau don “berarti daun
dapat juga berarti tujuan” dirangkai dengan maja “daun maja (wilwa,
atau bodi)” melambangkan kesadaran. Dengan demikian artinya sang pertapa
selalu berusaha memetik sari ajaran untuk memperoleh kesadaran.
Memetik satu persatu daun bilwa, artinya secara sistematis dari satu tataran
ke tataran lainnya dalam melakukan yoga atau dapat diasosiasikan tahap asana hingga mencapai samadhi dengan bersatunya ibu kundalini dengan sahasrara cakra. Daun ini juga melambangkan berbagai jenis
keinginan, itulah yang ia petik dari objek kesukaannya lalu dikosentrasikan
ke danau. Daun
di jatuhkan ke danau artinya Lubdhaka melakukan dhyana. Danau boleh jadi lambang hredaya “hati nurani” atau anahata cakra. Subjek yang bermeditasi
ada di ajna cakra sedangkan objek
meditasinya ada di anahata cakra.
Tuhan yang berwaktulah yang ia stanakan dalam padma hatinya yaitu anahata cakra. Hingga daun itu mengena
lingga, artinya Lubdhaka mengkontemplasikan pikiran dengan melakukan mudra,
stuti dan japa. Dalam
konteks inilah jagrabrata diberi makna, yakni olah kesadaran (budhi) dengan
mempelajari Siwa tattwa (ajaran hakikat ketuhanan) sampai akhirnya ia mencapai
pencerahan rohani. Oleh karena itu, tujuan olah budi (wilwa, maja) yang
disarankan Mpu Tanakung haruslah dipusatkan atau dijatuhkan kepada
Siwalingga. Artinya, hanya terpusat kepada Tuhan. Dengan demikian dapatlah
akhirnya dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakan bahwa jagabrata (juga mona
dan upawasa); mahaprabhawa nikanang brata pangalimur
kadusta-kuhaka, satata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala
dahat “Sangat manjur kegunaan brata Siwaratri: upawasa-mona-jagabrata itu
untuk meruwat sifat dusta dan keji; (a) tidak beramal sedekah, (b) tidak
berbuat jasa, (c) tidak berbuat bajik, (d) tidak mengendalikan diri. Perilaku
dusta dan keji itulah sesungguhnya kasmala “dosa”
Cara meruat dosa itu adalah dengan melakukan: (a) dhyana “meditasi”,
(b) melagukan stuti “syair-syair pujian” (c) merafal kutamantra “formula,
mantra, mantra puncak”: (d) melakukan japa “mengucapkan nama Tuhan secara
berulang menurut hitungan yang ditentukan; (e) melakukan mudra “gerak jari
yang khas seperti yang dilakukan oleh para sulinggih ketika memuja, termasuk
di dalamnya melakukan asana dan pranayama” (Zoedmulder, 1995). Dhyana
“meditasi” mencapai samadhi “kemanunggalan, tidak diperoleh secara sengaja,
tetapi spontan. Karena kata orang suci dalam keadaan itu rasio dan perasaan
tidak berfungsi lagi. Hal ini dilakukan hingga fajar
menyingsing, artinya Lubdhaka berhasil mencapai pencerahan spiritual, berkah
hari suci Siwaratri, karena berhasil mengalahkan kala “waktu malam” : pancaklesa
|
Setelah fajar Lubdhaka turun dan
pulang dan tiba di pondok
sore hari menjelang petang (hari Tilem)
|
Kembali dari perjalanan suci yang dilakukan selama dua hari satu
malam: 36 jam. Dalam artian telah lampu dari
kesunyian dan melakoni hidup sebagaimana biasanya.
|
Setibanya di pondok Si Lubdhaka baru makan
|
Mengisyaratkan laku upawasa “puasa tidak makan dan tidak minum” selama
36 jam, yakni dari pagi hari pada hari ke 14 paro terang, dari purwani Tilem
sampai besok senja kala hari ke 15, Tilem,
|
Si Lubdhaka tua, sakit lalu mati. kematiannya ditangisi
|
Lubdhaka adalah orang yang dicintai. Dicintai karena ia orang baik,
berjasa kepada keluarga dan warganya. Tanpa itu tidak mungkin ia ditangisi.
|
Si Lubdhaka Roh diikat dan disiksa oleh prajurit Yama; para Kingkara
|
Bagaimanapun baik dan berjasanya orang sekali waktu tentu pernah
berbuat dosa. Sesuai dengan hukum karma, setiap perbuatan pasti berpahala.
Karma buruk menerima siksaan dan keterikatan.; neraka. Hal ini dapat
dibandingkan dengan kisah Yudistira dalam Swargarohanika Parwa. Bagi yang
sedikit dosanya terlebih dahulu mendapat siksa; neraka. Baru kemudian
menikmati pahala baiknya; sorga.
|
Si Lubdhaka roh direbut pasukan Yama, lalu didudukkan dalam kendaraan
Siwa yang bernama Puspaka dan diiring ke Siwaloka. Di sana ia mendapat berkah
keSiwa-an; sama dengan Siwa
|
Sebaliknya karma baik mendapat pahala masuk Siwaloka; mendapatkan
rahmat penampakan Tuhan; mencapai moksa “kebebasan”. Dikatakan ada empat
kebebasan:
1. Salokyamukthi,
yakni bilamana orang dapat merasakan kehadiran Tuhan dimana pun ia berada
2. Lebih
utama dari salokyamukthi adalah samipyamukthi, yakni manakala orang dapat
merasakan bahwa segala sesuatu sebagai perwujudan kemuliaan Tuhan,
3. Sarupyamukthi,
yakni hidup dalam kehadiran Tuhan yang tiada putusnya, selalu menyaksikan
kemuliaan Tuhan dan diliputi oleh kesadaraan Tuhan dimana pun ia berada
4. Sayujnamukthi
disebut juga ekanthamukthi adalah kesadaran tertinggi, yakni hanya bila rasa
perbedaan lenyap, keadaan manunggal tercapai. Dikatakan bahwa tingkat
kesadaran ini hanya dapat dicapai dengan rahmat Tuhan (Narayana dalam
Kasturi, tt: 62). Lubdhaka mendapat anugrah ini, mengingat sabda Bhatara
Siwa: “tanora bheda ni hawakta lawan
iki sarira ni nghulun” “tiada bedanya dirimu dengan diri-Ku ini”.
|
2.3
Siwa & Maya Tattwa : Paham Ketuhanan dan Yoga Mpu Tanakung
Kakawin siwaratri mengandung dua persoalan hidup yang bersifat
paradoks. Masalah paradoks yang dimaksud adalah pasangan beroposisi antara siwa
dengan ratri, secara teologis siwaistis disebut Bhatara Siwa personifikasi azas
Siwa tattwa dengan Bhatara Uma personifikasi azas maya tattwa atau sering juga
disebut sebagai Siwa-sakti (Yasa, dkk, 2008 :30-31). Kata Siwa, berasal
dari bahasa sanskerta yang berarti baik hati, suka memaafkan, memberi harapan
dan membahagiakan. Dalam hal ini siwa adalah sebuah gelar atau nama kehormatan
untuk salah satu menifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bergelar Sang Siwa.
Dalam fungsi beliau sebagai pe-mralina atau pelebur segala yang patut dilebur
(ke-papaan) atau diprelina untuk
mencapai kesucian atau kesadaran diri yang memberikan harapan yang bahagia.
Ratri artinya malam, malam disini dimaksudkan kegelapan. Jadi siwaratri artinya
malam untuk melebur atau memralina (meleyapkan) kegelapan hati menuju jalan
yang terang (Sudharta, 1992 :6). Dalam masalah paradoks atau oposisi biner atau
rwabhineda adalah hidup seorang manusia. Manusia dikatakan terlahir setengah dewa
setengah bhuta. Siwa menandakan idealis yang niskala, sementara sakti
menandakan yang realis yang sakala.
Dalam pokok narasi
menggala “kepala syair” kakawin Siwalatrikalpa,
Sang hyang ning hyang amurti niskala sirati-kinenyep
ing akabwatan lango
Sthulakara sira pratisthita haneng hrdaya kamala
nityasa
Dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken
ing samangkana
Nghing pinrih-prih i citta ni nghulun anugrahana
tulusa digjayeng lango
Artinya
:
Dewatanya para
dewa yag berwujud niskala, Beliaulah yang sesungguhnya selalu menjadi pusat
renunangku dalam mencari pengalaman estetik- religius.
Namun dalam
wujud nyata, Beliau selalu aku muliakan di dalam padma hatiku
Untuk itu, (pada
hari suci siwaratri) aku melakukan dhyana, stuti, kutamantra, japa, dan mudra.
Dan yang menjadi tujuan citaku semogalah Beliau berkenan menganugrahi aku jaya
dalam pengalaman estetik-religius.
Mpu Tanakung bermaksud menghimbau kita
agar gemar berburu sattwa. Kata sattwa berarti mahkluk hidup atau binatang
dapat juga berarti sifat murni atau kebaikan (Zoetmulder, 1995 :1056). Arti
kedualah yang yang lebih dipacu untuk diburu, yakni berburu kebajikan.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan digjayeng
lango kejayaan hidup :hidup bahagia”. Pengalaman hidup bahagia adalah
pengalaman estetik yakni indahnya akrab dengan lingkungan hidup. Pengalaman
estetik selain sebagai tujuan juga sebagai sarana untuk muktang klesa ”melebur papa, dosa”.
Dengan leburnya papa berarti dapat muliheng nirasraya “mencapai pengalaman
religius, kembali ke alam kelepasan” (Yasa, dkk, 2008:35).
Mpu Tanakung disebut laku Yoga sastra
dalam usahanya menciptakan Tuhan yang tak berwujud ke Tuhan yang berwujud.
Kenapa demikian ? karena bagaimanapun juga, terefleksi bahwa pikiran manusia
cendrung terikat oleh namarupa “nama
dan bentuk”. Wujud yang paling mengikat manusia adalah badan jasmani, diri kita
sendiri. Oleh karena itu Mpu Tanakung memilih wujud untu dipakai umpan
memancing pikiran. Tujuannya agar pikiran mudah dikonsentrasikan, ditarik dan
dikontemplasikan. Akan tetapi kini wujud sebagai umpan memancing bukan duniawi
tetapi wujud Ilahi. Ia yang transenden dimaksud adalah tujuan terutama yang
sesungguhnya diburu oleh Mpu Tanakung melalui yoga sastra “kontemplasi melalui
sarana dan jalan seni bahasa. Yang dimaksud mencapai tujuan adalah
menemukan-menghayati dan mengalami ke-siwa-an
“kebenaran-kebajikan-keindahan”. Akan tetapi , Mpu Tanakung menyadari betul
bahwa Ia yang transenden ini tan
kagrahita dening manah mwang indriya “tidak dapat dipikirkan dan
dirasakan”. Sehingga hal itu sangat sulit dicapai. Sarat pencapaiannya adalah
diam total dalam yoga samadhi “kemanunggalan”.
Diam total berarti tidak bergerak, tidak berpikir, dan sekaligus tidak
dirasakan. Keadaan diam yang dalam hal ini adalah keadaan yang paradoks dengan
kemanusiannya manusia (Yasa, dkk, 2008:36).
Sekali lagi, kemanusian
Mpu Tanakung yang kreatif itulah yang menjadi alasan mengapa ia lebih memilih
menghadirkan Tuhannya turun ke tataran manusia dengan sifat – sifat-Nya, yang
manusia dewa, yakni dalam wujud-Nya yang sekala-niskala “nyata-rohani”,;
berpribadi dan praktis. Stulakara sira
prathistita haneng hrdaya kamala madhya nityasa “namun dalam rangka cipta
sastra, wujud-Nya yang berpribadilah yang aku pilih. Aku muliakan Ia sebagai
Tuhan yang bertahta di hati sanubariku yang bagaikan kembang padma ini. Proses
Tuhan turun ke tataran manusia inilah disebut tantris. Proses sakral yang
dinarasikan dalam kakawinnya ditandai dengan pembayangan konsep sandhi “pertemuan” kiblat, yakni
membayangkan pergeseran kiblat timur bergeser ke Utara dan kiblat Utara
bergeser ke timur. Pada satu titik tengah yaitu antara timur dengan utara
terjadilah perkawinan kosmis. Perkawinan ini disebut lila “permainan” Tuhan yang membuahkan segala yang menjadi (Yasa,
dkk, 2008:37).
Tuhan yang sagunalah
yang dimohon oleh Mpu Tanakung untuk hadir. Keberhasilan menghadirkan Tuhan
dalam hati sanubari berarti berhasl mendapatkan taksu. Taksu sebagai hasil yoga sastra adalah daya pengalaman
estetik-religius “digjayeng lango”. Laku
yoga sastra oleh Mpu Tanakung adalah laku seorang bakta”abdi yang tulus” yang
suka mewirama-kan kakawin cetusan nuraninya. Tokoh yang dihadirkan oleh Mpu
Tanakung adalah tokoh inkonvensional yakni tokh jelata, seorang pemburu dari
suku terasing dan miskin diberinama lubdhaka. Puncaka senandung sujud baktinya
dapat kita nikmati kembali dalam narsi cerila Si Lubdahka. Disitu terdapat dua
syair Raga Kusuma (pupuh 33) :
Om sembah ning anasraye carana pengkaja bhuwanapatiki
tinghali,
Wahyawahya panembahi ngwang i kiteka satata
kinabhaktyam i ghulun,
Byaktabyakta kiteng sarat kita hurip ning ahurip
agawe halahayu,
Sang manggeh pinakesti ning mahaling manah
anilaraken dasendriya.
Ring diksadi nirwty atita pinakartanika kita wisesa
tan kalen,
Yan ring weda kitawak ing pranawa mantra taya lewiha
len saka kita,
Murtyamurti kitatisuksma saka ring tanu kita maganal
sakeng angong
Munggw ing sthawara janggamadi kita kewala paran
angungsi sunyata.
Artinya
:
Om, sembah hamba
yang tiada berpelindung ini pada kaki padma-Mu Hyang Bhuwanapati, saksikanlah
Lahir-batin
sujud bhakti hamba kepada-Mu
Engkaulah
satu-satunya Tuhan yang selalu hamba puja
Engkau
nyata-tidak nyata di dunia ini.
Engkau jiwa dari
yang hidup
Engkaulah
pencipta baik-buruk
Engkaulah yang
langgeng menjadi pusat renungan, yang menyucikan pikiran, yang meleyapkan
sepuluh nafsu.
Dalam diksa dan
yang lainnya, dalam nirwrti, dari awal sampai akhir,
Engkaulah
penguasa tiada lain
Dalam weda
engkau berwujud pranawa mantra, tidak
ada yang lebih utama dari-Mu, Tuhanku.
Engkau berwujud
tak berwujud, engkau sangat sukma, engkau jiwa dalam badan
Engkau lebih
besar dari yang besar
Engkau ada pada
tumbuh-tumbuhan, binatang dan yang lainnya
Engkaulah
yang menjadi tujuan orang yang mencari sunyata
(Yasa,
dkk, 2008:40).
Dalam cerita Si
Lubdhaka, dua syair tersebut adalah pujastusti Bhatara Yama kepada Bhatara
Siwa. Dalam dua syair tersebut tampak terangkum pandangan dunia dan orientasi
estetik-spiritual sang penyair yang berusaha menghadirkan Tuhan dari tataran wasistadvaita ke tataran Tuhan dwaita. Agar berkenan hadir berstana
dalam hati sanubari, mewahyukan diri-Nya ke luar dari badan sang pujangga.
Sehingga dengan demikian, Ia dapat menikmati sebagai sebuah drama hidup laku
(kaula-gusti) (Yasa, dkk, 2008:41).
Sang
Hyang Bhuwanapati “sang penguasa jagat, yang mahasuci”
yang dipuja Mpu Tanakung. Ia tiada lain adalah yang keberadaannya (2) byaktabyakta “nyata-tidak nyata”. Di
dunia ini Ia adalah hurip ing ahurip “jiwa
dari yang hidup” (4) yang agawe halahayu membuat
“baik-buruk”. Sang manggeh “yang
langgeng”. Yang pinakesti ning mahalilang
manah “menyucikan pikiran”. (6) yang ani
laraken dasendrya “menghilangkan sepuluh nafsu duniawi”. Bagi penganut diksadi yang juga disebut prawrti marga “penganut agama yang lebih
mementingkan ritual dan pengamut nirwrti
marga “penganut agama yang lebih mengutamakan tatwa, jnana yoga pengetahuan
spiritual dan laku mistik”. Ia adalah wisesa
“tuhan yang mahakuasa”; (8) inti weda “pengetahuan suci” yaitu Om, yakni pranawa mantra “mantra yang paling
utama”. Keberadaan-Nya murtyamurti “berwujud
tak berwujud”, antisuksma “sangat
halus” dan saka ring tanu “tiang
peyangga dalam badan”, yang ada pada sthwara
janggamadi “tumbuh – tumbuhan, binatang dan mahkluk lain”. Sehingga paran ing angungsi sunyata “dituju oleh
orang yang memburu kesunyatan, kelepasan”, demikianlah rasa ni de niranujaraken stawa ri suku Bhatara Sangkara “rasa yang
dilagukan oleh Bhatara Yama sebagai gita-puja yang dipersembahkan pada kaki
padma Bhatara Sangkara (Siwa) (Yasa, dkk, 2008:43-44).
Dihadapan Tuhan Ia
adalah abdi yang anasraya “merasa tak
berpelindung”, maka asraya “mohon belas
kasihan” dengan cara memuja yang etis di carana
pangkaja bhuwanapati “kaki padma Sang Hyang penguasa semesta”. Sembahyanya
adalah bakti tulus wahyawahya “lahir-batin”.
Disitu, dalam syair dilukiskan dua pribadi : (1) pribadi kecil yang memuja:
Bhatara Yama (Mpu Tanakung yang merasakan dirinya kecil dan tak berarti di
hadapan Tuhan) (2) pribadi agung: Sang Bhuwanapati atau Bhatara Siwa, dihayati
esa, purna dalam keagungan-Nya (Yasa, dkk, 2008: 41).
Ya Tuhan aku ini
abdi-Mu, hal ini terus diucapkan, Tuhan dihayati Mahahadir di hatinya. Kapanpun
Ia pergi, dimanapun ia berada, ketika apapun yang ia lakukan. Itulah keyakinan
yang praktis bagi Mpu Tanakung. Praktis, karena tidak menyebabkan dirinya
pangling. Oleh karena itu, ia dapat diam kontemplatif. Diam dalam kondisi yoga
seperti yang disarankan oleh baris ketiga bait manggala. Tuhan tidak lagi dihayati berada diluar dirinya. Tuhan
tidak lagi beranjak dalam dirinya tetapi kini, Tuhan telah menyatu dalam
dirinya, dan disitu selalu dirasakan nyata hadir. Hadir dalam hatinya (Yasa,
dkk, 2008:42)
Menjadi seorang bakta
atau menjadi sang kawi-wiku yang tulus sangatlah sulit. Perintang utamanya
adalah diri sendiri yang khilap dan silau oleh pesona duniawi. Hilap karena
tidak tahu, bahwa Sang Ego adalah siluman yang menyelinap bertahta dalam hati,
lalu kita serta merta mendewakannya. Inilah penghalang utama bernama Sang Ego
adalah mehkluk jejadian. Ia adalah penjelmaan enam emosi yang disebut sadwarga, kama, krodha, lobha, mada,moha dan irsya. Inilah musuh yang paling berbahaya, yang ada
dalam diri manusia. Ini juga tantangan terbesar manusia untuk akhirnya dapat
menyatu dengan Sang pencipta. Sang Ego yang dimanjakan menjadi raja dalam diri,
yang akan menjerumuskan orang dalam dosa, papa
(Yasa, dkk, 2008:48-49).
Mpu Tanakung memandang
Sang Ego sebgai musuh diri, sebagai mahkluk yang bersifat binatang. Oleh karena
itu, Sang Ego dilukiskan dalam sastranya sebagai binatang. Tidak sembarang
binatang, tetapi binatang buas, besar, binatang berbisa. Ia yang tidak jagra ”waspada” akan keberadaannya tentu
akan menjadi korban keganasannya (Yasa, dkk, 2008:49).
Kini jelaslah makna
pesan orang bijak Mpu Tanakung, pun orang bijak lainnya. Bahwa derita yang kini
kita alami adalah suatu ambisi kita yang berlebihan, beragam yang menyebabkan
manusia pangling, atau bingung. Sehingga seakan – akan manusia lahir hanya
untuk menjadi abdi setia Sang Ego. Kenyataan hidup inilah yang Mpu Tanakung
katakan sebagai orang yang berada dalam keadaan ratri “kegelapan” atau manusia tidak berkesadaran. Oleh sebab itu
manusia harus berusaha keras untuk membalik kesadaran atau usaha penyangkalan
diri yang disebut tapabrata.
Menyangkal Sang Ego sebagai raja semu dalam diri, mengapa? Karena ia bukanlah
raja yang sesungguhnya (Yasa, dkk, 2008:53).
Kata Mpu Tanakung
(Siwaratrikalpa, 37:1,5), ada tiga brata penting yang patut dijadikan landasan
utama bila kita bercita-cita untuk melenyapkan bhranta “kebingunan pikiran”, menghapus papa “dosa” dan muliheng
nirasraya “mencapai hidup bahagia”. Mengapa Tapabrata ? karena tapabrata
“usaha terkendali secara sistemik” adalah landasan yoga yang menjamin para
pemburu hidup berhasil mendapatkan pengalaman estetik-religius. Tiga brata
utama dimaksud adalah monabrata, upawasa,
jagrabrata. Lalu apa yang menjadi alasan rinci mengapa tiga brata sangat
penting dijadikan sarana mencapai siwa. Jawaban dan pemahamannya baru akan
ditempuh melalui pengupasan maya tattwa. Karena
mayalah yang menyelubungi kesadaran Yang Sejati. Sehingga untuk menemukan Sang
jati Diri, maya yang menyelubungi ituah yang terlebih dahulu harus kita sikap.
Dalam Bhagavadgita 7. 25 Sri Krsna
bersabda :
naham prakasah sarvasyo, oga-maya-samavrtah
mudho yam nabhijanati, loko mam ajam avyayam
artinya
:
terselubung oelh
yogamaya-Ku, aku takkan kelihatan oleh semuanya.
Dunia terkecoh
oleh maya-Ku. Karena itu mereka tak mengetahui aku yang tak terlahirkan dan
kekal abadi.
Maya juga disebut prakrti yang
difungsikan sebagai sarana-Nya untuk berkreatifitas. Sri Krsna bersabda (bhagavadgita
9.8) :
Prakirtim svaam avastabhya, visrjami punah-punah,
Bhuta-gramam imam krtsnam, avsasam prakrter vasat
Artinya,
Dengan
mengkreativitaskan prakerti-Ku, Aku menciptakan mahkluk berulang kali, dan
mahkluk menjadi tanpa daya oleh kekuatan pakerti- Ku
Hakikat maya tattwa
adalah segala yang berwujud sahan-hana ning bhawa siluman “ini
sesungguhnya bersifat siluman”, bersifat relatif, ilusi dapat mengambil
berbagai wujud sesuai kehendak (lila)
pemiliknya yaitu Tuhan. keberadaan maya inilah disebut dengan ratri. Ia yang
tidak menyadari ratri ini dipastikan hidupnya terikat trsneng wisaya “nafsu, terikat lekat mati pada nikmat wujud sensual
duniawi. Dalam konteks siwaratri artinya, ia jatuh : sengsara, ,enangis sedih,
hatinya gelap bagai pekat gelapnya malam pada hari ke 14 pada gelap sasih ke 7.
Ratri inilah yang menyelimuti kesadaran atau Siwa (Yasa, dkk, 2008 : 58).
Dalam Prasna Upanisad
seperti yang telah ditulis oleh Rohit Mehta dalam bukunya Mencari Tuhan Dalam
Diri. Maya atau ratri ini berbentuk badan. Badan yang meyelimuti kesadaran ada
lima lapis. Lima lapisan badan ini pancamaya
kosa (1) annamaya kosa “ badan
kasar”, (2) pranamaya kosa “ badan
nafas” (3) manomaya kosa “badan
pikiran” (4) wijnanamaya kosa “ badan
intlegensi atau budhi” dan (5) anandamaya
kosa “ badan kebahagiaan atau rasa”. Pendakian spiritual adalah usaha yang
sistemik untuk menyucikan atau meruwat maya atau ratri dengan olah rasa dan
olah budhi yang dicetuskan dengan mulat
sarira (Yasa, dkk, 2008 : 58).
Badan dalam aspeknya
yang tiga disebut tri sarira: (1)
sthula sarira yakni badan yang dibangun dari anna “sari – sari makanan dan minuman”. Badan ini lebih bersifat tamas “lembam” (2) suksma sarira yakni badan
halus yang berupa prana “daya
hidup” dan manah “pikiran”. Badan ini
bersifat rajas “aktif”. (3) antahkarana sarira yakni badan astral
atau badan dewa kita yang berupa wijnana
“intlegensi” dan ananda
“kebahagiaan”. Badan ini bersifat satwam “terang”
(Yasa, dkk, 2008 : 58-59).
Secara spiritual badan
yang telah disucikan atau diruwat dari maya atau ratri, seperti halnya pura
layak disebut dengan meru sarira.
Menyucikan badan berusaha mengecilkan pengaruh rajas, tamas dengan jalan memupuk satwam. Artinya berusaha amuter tutur “membalik kesadaran” yakni
dari berkesadaran badan (rajas, tamas)
menjadikan berkesadaran jiwa (satwam). Badan itu bisa disebut meru
sarira apabila telah berhasil menyucikan badan kasar dan badan halus (Yasa,
dkk, 2008 : 59). Penyangkalan diri semacam itulah sang guru sastra-spiritual
yang bernama Mpu Tanakung mau bersusah payah menggubah kakawin dengan
mengisahkan laku hidup Si Lubdhaka. Artinya, dengan metode bercerita, para
peminat hidup bahagia diajar atau dihimbau untuk tekun berjuang memburu
binatang yang disebut Sang Ego. Kita dihimbau agar memperhatikan makna
ketekunan Si Lubdhaka mengawasi kehadiran binatang buruan (Yasa, dkk, 2008:54).
Penyucian atau ruwatan
pertama itu adalah badan kasar. Secara spiritual ada tiga cara meruwat badan
kasar ini (1) upawasa “pantang makanan sembarangan” atau puasa dalam kurun
waktu tertentu. Secara biologis hal ini untuk menjaga kesehatan organ
percernaan dengan mengistirahatkan sementara. Dalam artian lain, hanya memakam
makanan yang sattwika, yakni makanan yang memberikan sehat lahir batin. Karena
makanan yang sattwika ini akan mempengaruhi badan prana dan badan manah
yang memberikan output pada perilaku yang baik, dalam terminologi hindu
perilaku ini disebut kayika parisuddha.
Makanan sattwika diperoleh dari cara memperoleh, mengolah, menyajikan hingga
menelan dengan cara yang baik dan benar. (2) melakukan asana “olahraga hindu yaitu dengan melatih hatha yoga dan surya
namaskara dan (3) sauca mandi atau
tirtayatra “mandi suci” (Yasa, dkk, 2008 :62). Kalau dikaitkan dengan
astanggayoga Patanjali proses penyucian badan kasar ini masih dalam tataran yama, nyama dan asana. Yama pengendalian diri yang ditekankan dalam diri. Nyama pengendalian yang
ditekankan lebih di luar diri sebagai pengkukuhan yama. Asana adalah latihan
fisik untuk selajutnya masuk ke tataran meditasi. Pernyataan ini terdapat
dalam yoga marga rahayu halaman 25 dan
Yoga Kundalini.
Penyucian atau ruwatan
kedua yakni permurnian badan yang lebih halus disebut pranamaya kosa. Caranya adalah dengan cara olah pranayama “olah nafas yang sistemik
dalam yoga”. Nafas ini berkaitan dengan bunyi. Bunyi dalam terminoligi hindu
disebut wak atau wacika. Agar wacika
parisuddha kita haruslah melatih daya bicara dengan monabrata “puasa , pantang mengucapkan kata – kata kotor, berkata
fitnah, mengendalikan wicara hanya mengucapakan kata – kata sanwacana “yakni kata – kata yang
menyebabkan orang lain bahagia” (Yasa, dkk, 2008 : 62-63).
Langkah ruwatan yang ketiga adalah
pemurnian suksma sarira “ badan halus yang bersifat pikiran. Pikiran merupakan
akumulasi emosi dan keinginan. Karena keberadaan pikiran ibarat monyet “tidak
bisa diam”. Pikiran yang tidak terkendali dan tidak fokus sama halnya dengan
energi yang terbuang percuma. Pikiran disebut sebagai raja dari sepuluh indriya
kita yang disebut sebagai dasendriya.
Sehingga pikiranlah yang harus dijinakkan yang nantinya setelah jinak mampu
memandu sepuluh indrya yang lainnya dengan jinak pula. Agar mata tidak jelalatan
melihat rupa kesukaan, telinga tidak jelalatan mendengar suara kesukaan, hidung
tidak mendengus-dengus menciumi bau kesukaan, lidah tidak menjilat – jilat rasa
yang nikmat dam kulit tidak ketagihan meyentuh atau meraba objek kesukaan.
Maharsi Patanjali merumuskan ajara yoganya yoga’s
wrtti nirodah “yoga adalah usaha sistematis untuk mengendalikan dan
mendiamkan gerak-gerik pikiran (Yasa, dkk, 2008 : 63-64).
Tujuan Mpu Tanakung
melakukan yoga adalah agar ia selalu jagra
atau dapat mahalilang manah “berpikiran
jernih” atau disebut juga manacika
parisuddha. Secara lebih teknis jagrabrata
dilakukan dengan mulat sarira “melihat diri” dengan melakukan meditasi :
1. Pratyahara, menarik atau melepaskan indrya – indrya dari objeknya
2. Dharana, lalu mengikat atau mendiamkan sekejap pada pusatnya
diotak
3. Dhyana, kemudian difokuskan, dikontemplasikan pada objek
maditasi “perwujudan Tuhan, sinar atau yang lainnya yang dipandang religius (Yasa,
dkk, 2008 : 65).
Hanya dengan murni-sucinya trikaya inilah badan antahkarana sarira yang bagai matahari
itu tampak. Badan astral ini berwujud jyotir
“sinar” disebut juga surya jnana
“sinar pengetahuan” yakni badan dewa yang terdiri dari dua lapisan yaitu badan wijnanamayakosa dan anandamaya kosa. Badan kembar inilah dalam sastra suci Hindu
dilukiskan sebagai padma hrdaya “teratai
hati” (Yasa,
dkk, 2008 : 65).
Atas dasar itulah, dapat dipahami mengapa Mpu Tanakung mengatakang
brata siwaratri : upawasa, monabrata dan jagrabrata
sebagai brata paramapawitra “brata
yang sangat utama”. Dengan kata lain, manakala trikaya telah suci, ketika ituah terjadi pencerahan, jati dirinya
tersingkap menjadi pengalaman sejati dan kebahagiaan.
Rahasia dalam kisah
Lubdaka telah terungkap melalui sabda Mpu Tanakung “Brata Siwaratri adalah brata
paramapawitra”. Brata yang utama ada
tiga yaitu : upawasa, monabrata dan jagrabrata. Pertama upawasa adalah puasa dalam kurun waktu tertentu untuk
mengistirahatkan organ percernaan, dan pantang dengan makanan sembarangan,
makan makanan yang sattwika yaitu makanan yang menyebabkan sehat lahir batin.
Badan yang kesehatannya terjaga disebut kayika parisuddha. Kedua, monabrata adalah puasa tidak berbicara,
pantang mengucapkan kata – kata yang kotor, kasar, mengendalikan wicara yang hanya mengucapkan
kata penuh makna yang membuat orang lain dan diri kita bahagia. Inilah wacika parisuddha. Ketiga, jagrabrata
adalah puasa melek, senantiasa menjadikan diri sadar. Jagra intinya berpikiran yang jernih dan suci. Inilah yang disebut manacika parisuddha. Jadi, brata Siwaratri adalah tri Kayaparisuddha, sehingga terjadi
pencerahan terhadap sang jiva dan kebenaran serta pengetahuan sejati terungkap
yang menjadikan kebahagiaan (Yasa, dkk, 2008 : 94).
Dapat ditelaah maksud
Mpu Tanakung lewat karya sastranya adalah mengapai Tuhan melalui jalan Brata Siwaratri dengan jalan upawasa, monabrata dan jagrabrata yang disamakan dengan tri kayaparisuddha. Seperti halnya juga
tujuan ini terdapat dalam yoga yaitu untuk memperluas kesadaran sampai mencapai
taraf kesadaran kosmik (kesadaran Tuhan). Untuk itu diperlukan berbagai upaya,
upaya kasih, upaya pikiran, upaya kata – kata dan upaya perbuatan. Sebagai
aliran yoga menghendaki agar muridnya mengembang kasih yang agung (universal)
(Kamajaya, 1998: 73). Inilah menjadi alasan mengapa yoga itu dilakukan sehari –
hari, bahwa segala kegiatan hidup itu adalah yoga. Namun perlu digarisbawahi
orang dikatakan telah melakukan yoga dalam perspektif brata siwaratri apabila
telah melaksanakan tri kayaparisuddha yang
suci.
Secara epistemologis,
yoga itulah jalan kuno yang kembali ditawarkan Mpu Tanakung sebagai jalan
efektif untuk muktang klesa “meruwat
ego”. Jalan kuno yang dimaksud, boleh jadi jalan atas pengalamannya sendiri.
Karena, orang suci pantang omong kosong. Katanya dhyana mwang stuti kutamantra japa mudra linekasaken ing samangkana “dalam
usahaku untuk mendapatkan pengalaman estetik-religius, aku melakoni yoga (1) dhyana “meditasi” ; (2) stuti “mengkidungkan gitapuja; (3) kuta mantra “mengucapkan mantra utama” ;
(4) japa “ mengulang-ulang nama
Tuhan”; (5) mudra “melakukan olah
raga atau tari spiritual” (Yasa, dkk, 2008:55).
Dikisahkan Si Lubdhaka
mengabdikan diri untuk terus menerus menjadi penyelidik, lalu membidik dan
menghujam binatang buruan dengan panah. Panahnya ternyata adalah panah dhyana, yakni daya kosentrasi yang
tajam. Hingga suatu hari tidak ditemukan lagi binatang buruan di hutan. Hutan
yang belantara yang ada dalam dirinya. Sang Ego lenyap dalam api kesadaran, dan
tumbuhlah daya spiritual yang ditandakan dengan Lubdhaka naik pohon bila dan
duduk awas dicabangnya. Artinya, Si Lubdhaka berhasil duduk yoga mengharmonikan
budi dengan rasa hati. Ketika itu lingga pun dilihatnya dan dijadikan pusat
konsentrasi (Yasa, dkk, 2008:54).
Secara aksiologis, ada
tiga wacana yang menjadi yang tampak dalam karyanya Mpu Tanakung Siwaratrikalpa: (1) akabwatan lango “berusaha mendapat pengalaman estetik” (2) muktang klesa “ruwat dari dosa” (3) muliheng nirasarya “ kembali pulang ke
asal, mencapai kelepasan atau mencapai pengalaman religius”. Tujuan pertama
dijadikan jalan atau sarana untuk mencapai tujuan kedua, yakni untuk menghibur
diri karena ringrang i manahnya lot kasih
harep “gelisah mencari pelipur hati yang bingung dipanglingkan oleh pikiran
yang memelas banyak harap”. Itulah ke-papaan
yang ingin Mpu Tanakung ruwat melalui
yoga sastra, dengan ruwatan dosanya berarti mendapat bekal untuk mencapai
kelepasan. Katanya : muktyang klesa
silunglunganya muliheng nirasraya juga “ harapanku, mudah – mudahan dengan
merangkai kata menjadi syair Siwaratri itu aku dapat bebas dari penderitaan”
(Yasa, dkk, 2008:55).
2.4 Refleksi Makna Kisah Siwalatri Dalam
Kehidupan Masa Kini
Dapat ditelaah maksud
Mpu Tanakung lewat karya sastranya adalah mengapai Tuhan melalui jalan Brata Siwaratri dengan jalan upawasa, monabrata dan jagrabrata yang disamakan dengan tri kayaparisuddha, sehingga terjadi
pencerahan terhadap sang jiva dan kebenaran serta pengetahuan sejati terungkap
yang menjadikan kebahagiaan. Seperti halnya juga tujuan ini terdapat dalam yoga
yaitu untuk memperluas kesadaran sampai mencapai taraf kesadaran kosmik
(kesadaran Tuhan). Untuk itu diperlukan berbagai upaya, upaya kasih, upaya
pikiran, upaya kata – kata dan upaya perbuatan. Sebagai aliran yoga menghendaki
agar muridnya mengembang kasih yang agung (universal) (Kamajaya, 1998:
73).
Kegelapan yang sering
disebut dengan papa. Papa dalam
bahasa sanskerta artinya sengsara, neraka, buruk, jahat, dan hina. Untuk
meleyapkan ke-papaan dilakukan dengan
cara brata siwaratri Manusia
dilahirkan dengan berbadan bhuta kala.
Untuk menyucikan manusia dari badan bhuta
kala, manusia diajarkan untuk melakukan upacara – upacara penyucian dari
bayi dalam kandungan hingga upacara perkawinan. Perlu diingat upacara ini hanya
sebagai lambang yang bernilai sakral, yang berfungsi untuk menyucikan manusia
dari segala kotoran batin (Sudharta, 1992 :7). Berkenaan dengan itu, tulisan
ini juga ditkemukakan berdasarkan pertimbangan berikut. Perbuatan bukanlah
kebaikan, apabila makna (kebaikan) teks (Brata
Siwaratri) dibiarkan berhenti pada terminal normatif, tanpa membawanya ke
wilayah aplikatif, kedalam dunia fenomena (manusia). Artinya kebaikan itu lebih
sebagai bukti daripada menjadi saksi. Perbuatan bukanlah kebaikan, jikalau
manusia hanya baik dalam pikiran dan tidak dalam tindakan. Swami Rama menegaskan bahwa “brata siwaratri meminta pelaksanaan
perbuatan daripada meyimpannya menjadi pengetahuan hapalan yang hanya eksis
dalam pikiran dan ucapan. Inilah semangat utama yang mengalirkan tulisan ini
hendak memasuki wilayah – wilayah dunia praksis kehidupan. Kehidupan kekinian
yang disini selalu merefleksikan pada dua dunia: masa lalu dan masa depan”
(Yasa, dkk, 2008 :103).
Masyarakat dikatakan
sebagai sebuah organisme mengalami perkembangan dari tingkat yang sederhana ke
tingkat yang kompleks. Perubahan menurut Rostow lima evolusi (the five stage
scheme) masyarakat tradisional menuju prakondisi tinggal landas, kemudian
perkembangan menjadi masyarakat pematangan atau pendewasaan, dan akhirnya
mencapai masyarakat modern. Menurut, tahapan masa kristis terhadap perkembangan
masyarakat adalah tahapan tinggal landas. (Yasa, dkk, 2008 :105).
Masyarakat tradisional
ditandai dengan rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga
cara hidup lebih ditempuh dengan cara – cara yang diwarisi dari generasi
terdahulu. Masyarakat dikuasai dengan kepercayaan – kepercayaan tentang
kekuatan di luar jangkauan akal sehat sehingga muncul jenis-jenis pemujaan
kepada arwah – arwah. Mata percahariannya lebih banyak pada sektor agraris atau
petani. Selanjutnya, masyarakat tradisional ditandai oleh produksi sangat
terbatas sehingga pertumbuhan ekonomi madeg atau mengalami pertumbuhan yang
tidak berarti (Yasa, dkk, 2008 :106)
Tahapan
masyarakat prakondisi tinggal landas merupakan masa transisi ketika prasyarat
untuk lepas landas mulai berkembang. Pada tahapan ini masyarakat masih berada
dalam nilai-nilai tradisional, tetapi nilai-nilai baru datang dari sektor
eksternal secara bertubi – tubi. Akibatnya, terjadi goncangan psikologis antara
dua kutub nilai lama-baru sehingga produktifitas belum sepenuhnya dapat menjadi
andalan bagi penciptaan modal.
Tahap ketiga, tahapan
tinggal landas ini ditandai dengan hilangnya hambatan-hambatan yang menghalangi
proses pertumbuhan ekonomi. Pada masa ini telah terjadi pergerakan menuju
masyarakat modern. Dilanjutkan dengan fase pendewasaan atau setelah lepas
landas akan terjadi suatu proses kemajuan yang panjang yang terus menerus ke
depan, meskipun terjadi pasang-surut. Pasang-surut inilah disebut sebagai
negara berkembang yang sering muncul kecemasan yang dihadapi dengan
tergesa-gesa. Kelima, menurut pemikiran Rostow pada saat negara telah mencapai
fase zaman konsumsi massa tinggi, ada kenaikan pendapatan masyarakat yang
signifikan sehingga konsumsi tidak lagi
terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meingkat kebutuhan yang lebih
tinggi. Masyarakat yang disamakan dengan organisme mengalami dinamika yang
diwarnai modernisasi, indusrtilisasi, dan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat
industri adalah titik puncak modernisasi, yakni masyarakat konsumtif setelah
melewati lima tahapan (Yasa, dkk, 2008
:104-112).
Modernisasi ini
diwarnai dengan peningkatan kesadaran kemajuan rasionalitas. Dalam hal ini
manusia diposisikan sebagai subjek yang berpusat pada rasional dan alam sebagai
objek yang harus dikuasai dan
dieksploitasi sebesar-besarnya untuk kesejahteraan. Kesejahteraan inilah alat
sekaligus tujuan yang selalu ambigu baik
arti ataupun maknanya dalam dunia praktis. Kesejahteraan disimbolkan sebagai
uang. Ketika pohon dibabat, burung ditembak, ikan dipancing dan sumber air
mengering toh manusia juga tidak bisa makan uang. Akan tetapi, demi uang negara
berkembang berlomba – lomba menciptakan kemajuan demi kesejahteraan melalui
proses modernisasi dan industrilisasi. Proses transisi inilah masa titik
kerawanan dalam bidang sosial dan budaya yang melahirkan banyak masalah. Dalam
menghadapi dampak modernisasi dan industrilisasi terutama yang berkaitan dengan
degradasi moral kemanusiaan yang merupakan titik penting dan menjadi proyek brata siwaratri.
Ciri – ciri umum masyarakat dalam
modernisasi. Modernisasi dan indrustrilisasi yang pada dasarnya merupakan
penerapan pengetahuan ilmiah dalam segi – segi kehidupan, ternyata secara
sistematis menumpulkan ketajaman mata hati (Yasa, dkk, 2008 :122). Dalam proses
modernisasi dan industrilisasi manusia telah kehilangan kemanusiaannya ”human lost”. Ciri modernisasi
produktifitas menjadi satu – satunya cara untuk mengkukuhkan stastus sosial
individu di tengah – tengah masyarakat. Produktifitas –kerja dan hasil kerja
menentukan derajat kemungkinan perolehan peluang untuk mendapatkan alat pemuas
nafsu dan selera yakni uang dan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk
meningkatakan produktifitas tersebut. Orang ditakar-ukur berdasarkan jabatan
dalam dunia kerja dengan kata lain status sosial ditentukan oleh seberapa besar
imbalan, fasilitas kekuasaan secara materi. Malahan cara- cara hegemonik
mendekati orang yang dipandang dapat mengantarkan pada status yang diinginkan
juga tidak ditabukan. KKN pun pada gilirannya tidak dapat dihindari. Cara bajik
dan picik sama saja, sejauh dimaksudkan meraih uang, kekuasaan dan alat pemuas
lainnya. Ini menyiratkan orientasi masyarakat tentang kerja lebih menekankan
kemakmuran semata. Padahal makna kerja yang sejatinya adalah yadnya seperti apa
yang disebutkan dalam Bhavadgita kini
telah bergeser keluar dari hakikat kerja itu. Kerja semata – mata untuk urusan
mulut perut dan pemuasan terhadap nafsu-selera. Kesejahteraan material
diposisikan menjadi instrumen bagi tercapainya kesejahteraan batin dan
karenanya dapat dipahami materi itu hanyalah alat bukan tujuan. Apabila materi
menjadi tujuan maka aktor – aktor dan agen – agen pembangunan hipokrit,
sebagaimana dikatakan oleh Krishna bahwa “ Ia yang duduk mengendalikan panca
inderanya, tetapi pikirannya ingat kenikmatan yang menjadi objek inderannya,
sesungguhnya ia adalah hipokrit” (
bhagavadgita III:6). Dalam kategori ini, dikatakan ia yang berbicara
tentang kebijaksanaan, tetapi berbuat sebaliknya. Ia yang berkata – kata
tentang kesejahteraan batin, tetapi lebih mengusahakan dan mengutamakan
kesejahteraan material. Pada akhirnya ia yang munafik adalah ia yang menganiaya
diri sendiri (Yasa, dkk, 2008 :120).
Oleh hasil – hasil
beragam barang duniawi yang memancing gairah penikmatan kepemilikan dan manusia
memburu nafsu-selera. Nafsu melahirkan keninginan penikmatan yang cendrung
lahir dari dalam diri, sedangkan selera melahirkan keinginan kepemilikan yang
cendrung lahir dari luar diri. Intinya nafsu selera itu selalu mengalirkan
keinginan dan keinginan itu tidak sama dengan kebutuhan. Pada dasarnya
kebutuhan adalah kepentingan yang sudah dekat dengan alat pencapaiannya (Yasa,
dkk, 2008 :96). Ini adalah ciri manusia berkesadaran badan artinya manusia yang
selalu mencari hidupnya di luar dirinya. Ia menganggap bahwa objek-objek
duniawi yang ada di luar dirinya, yang ia sukai adalah sumber kebahagiaan. Ia
selalu rindu dan mengejar objek – objek duniawi kesukaannya. Manusia menjadi mahkluk malang yang
menganiaya dirinya sendiri dengan menjadi budak nafsu-seleranya.
Dalam konteks duniawi,
empat pilar yang menjadi landasan hidup manusia. Dharma “karakter luhur”
merupakan landasan dasar yang utama dalam mencapai tujuan hidup, sedangkan
artha adalah alat untuk memenuhi keinginan yang buka dalam tataran nafsu selera
tapi kebutuhan. Bukan sebaliknya, artha menjadi tujuan hidup dengan meniadakan
dharma demi tercapainya keinginan untuk memenuhi nafsu selera. Demikian
kepuasaan nafsu-selera, ternyata manusia sedang mengalami proses modernisasi
dan industrilisasi telah mengaburkan batas baik-buruk, benar-salah dan
beradab-biadab. Untuk memperjelas batas-batas itu diperlukan pengendalian
pikiran ucapan dan perbuatan dalam koridor moralitas sebagaimana yang telah
dianjurkan Brata siwaratri (Yasa,
dkk, 2008 :125-126).
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang membangkitkan manusia untuk menggempur tembok –
tembok kebodohan sehingga manusia mengalami perkembangan yang begitu pesat
dalam bidang material. Akan tetapi dalam bidang moral- kemanusiaan manusia
mengalami perkembangan yang sebaliknya yakni terjadi degradahi moral dan
dehumanisasi yang semakin akut (Yasa dkk, 2008 :139).
Kemajuan terknologi
yang mulanya menawarkan kepraktisan kini menjadi bumerang tersendiri bagi
konsumen yang menggunkan hal tersebut secara tidak efesien. Kemajuan teknologi
yang pesat memunculkan kerawanan kanibalisme (Yasa, dkk, 2008 :127). Seperti
internet yang membawakan manusia pada pergaulan tanpa batas. Banyak informasi
tentang manusia hilang akibat pergaulan tanpa batas. Internet menjadi sarana
tawar menawar efektif kerajinan eksport-import yang sebaliknya, sarana ini
mematikan pedagang-pedagang pasar seni tradisional. Pembunuhan karakter
seseorang misalnya dengan memanipulasi wajah tokoh penting (penguasa atau juga
penguasa) dengan wajah bintang film porno. Misalnya juga, FB yang belakangan
ini menjadi tren manusia modern juga digunakan secara tidak wajar sebagai
pembunuhan dan keretakan persahabatan, pasangan dll dengan mengupload gambar-
gambar, kata – kata yang tak bermoral. Internet yang juga sebagai akses data
tanpa batas secara negatif membiarkan konsumen yang belum cukup usia untuk
mengakses hal-hal yang tak bermoral seperti film porno, gambar porno. Malahan
pesan singkat (sms) dan juga BBM belakangan ini diketahui memiliki daya
terhadap keretakan terhadap keretakan dan kelantakan para pemuda modernis-industris.
Ini menunjukkan bahwa kemajuan Iptek bukan saja memberikan kemudahan berburu
materi tetapi juga penghancuran kemanusiaan dan moralitas. Rupanya, manusia
tidak menyadari dua azas dua yang disebut oposisi biner (rwa bineda) yang ada
pada setiap apa yang ada didunia ini, dimana ada kemudahan disitu ada
kesukaran, dimana ada kebahagiaan disitu pula ada kesedihan. Dimana tempat tipu
muslihat, disitu kemunafikan banyak diterima dan kejujuran tersingkirkan.
Modernisasi dan
industrilisasi juga menimbulkan perubahan besar daam bidang nilai, sikap dan
kepribadian yang sering diwujudkan dalam konsep manusia modern. Menurut Lauer
(2003:98) manusia modern adalah manusia yang gemar mencari sesuatu sendiri,
memiliki kebutuhan berprestasi, dan memiliki motivasi mencari sesuatu yang
berbeda dari orang lain. Motivasi ini disebutnya empati, yakni kapasitas
melihat diri sendiri menurut situasi orang lain. Dalam konteks ini upawasa menganjurkan hati-hati dengan
keinginanmu. Menurut upawasa
keinginan mencari sesuatu yang baru itu bukan dosa, tetapi perlu disempurnakan
dengan nilai-nilai kesucian karena menjadi spritual berarti tidak menolak
efektifitas, partisipasi dan nalar namun melampauinya. Upawasa selalu mengajarkan tunjukkan dirimu yang sederhana,
rangkulah kodratmu yanh asli, tahanlah rasa ingat dirimu dan batasi
keinginanmu. Ingat tidak ada kutuk yang lebih besar daripada merasa kurang
puas, tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu ingin memiliki (Yasa,
dkk, 2008 :136-138).
Pembangunanisasi yang melekat dalam modernisasi tanpa disadari telah
menjadi bagian integral dalam penciptakan kenikmatan inderawi ternyata
berlangsung diluar kesadaran. Berdirinya super-market atau mall-mall di kota
misalnya, telah menjadi kebanggaan warga kota tetapi dibalik kebanggaan itu
tanpa disadari mereka telah dididik menjadi masyarakat konsumtif. Menahan diri,
agar tidak tergoda oleh indahnya barang-barang industri dalam super-market atau
mall-mall menjadi anjuran upawasa (Yasa,dkk,
2008 :134).
Pada masa transisi ke
jaman modernisasi berlomba – lomba untuk mengejar nafsu-selera yng memainkan
peran yang sublim. Akibatnya manusia kehilangan daya beda antara kebutuhan dan
keinginan dan inilah manusia rasional yang tanpa rasionalitas. Mengendalikan
keinginan yang selalu dalam koridor kebutuhan. Diasumsikan brata siwaratri :upawasa,
mona, dan jagra menemukan jalanya untuk mengembalikan nafsu-selera kepada
kebutuhan nyata sesuai dengan kodrat dan harkat manusia. Hal inilah mekanisme
kontrol sosial yang dinamid dan produktif (Yasa, dkk, 2008 :97). Brata siwaratri : upawasa, monabrata dan jagrabrata mengembalikan semu menjadi
kebahagiaan sejati. Upawasa misalnya
menunjukan jalan untuk memahami sad ripu yaitu enam musuh dalam diri sebagai
enam sumber kehancuran diri. Upawasa
memberikan wiweka tentang nafsu-selera yang sebagai objek – objek indrawi yang
bersifat relatif. Nafsu –selera yang terpenuhi akan menimbulkan kesenangan yang
menimbulkan keserakahan (loba). Walaupun terpenuhi, kelobaan senantiasa
menimbulkan kekurangan sehingga ada usaha untuk memenuhi secara membabi-buta
atau kemabukan (mada). Kemabukan inilah kemudian menimbulkan kebingungan
(moha). Sebaliknya, apabila nafsu-selera tak terpenuhi timbullah amarah
(krodha) dari kemarahan hilanglah akal sehat yang meyebabkan melemahnya daya
beda sehingga menimbulkan kedengkian (matsarya) dan dari kedengkian menimbulkan
kebingungan (moha). Seperti wejangan Sri Krsna “ dengan memikirkan benda
duniawi munculah keingin untuk memiliki. Dari keinginan yang tak terpenuhi
timbullah amrah, dari amarah timbullah kebingungan dan dari kebingungan
hilanglah kesadaran. Dengan hilangnya kesadaran hancurlah kemanusiaan “ (Bhagavadgita II. 62-63). Dengan
demikian nafsu-selera baik terpenuhi atau tidak pada akhirnya akan membawa pada
kebingungan dari kebingungan inilah membuat manusia dilematis. Dilematis
membuat manusia tersesat tak terarah. Pemuasan nafsu-selera berdasarkan objek –
objek duniawi hanyalah sementara (Yasa, dkk, 2008 :122).
Makna upawasa secara holistik adalah
pengengkangan terhadap nafsu-selera. Ini merupakan srategi membatasi
nafsu-selera yang menggebu – gebu dan menjalani kehidupan menurut azas
kecekupan. Dengan azas kecukupan adalah kata lain kebutuhan yang terkendali
bararti menekan kemunculan kebutuhan – kebutuhan baru, berkurangnya kebutuhan
berarti berkurangnya produksi baru ataujuga berkurangnya nafsu-selera. Pada
gilirannya upawasa dapat menjadikan
orang selalu matang dalam mengenal objek – objek indrawi dan mengatasi
nafsu-seleranya. Sehingga, orang terhindar dari pengaruh negatif proses
modernisasi dan industrilisasi (Yasa, dkk, 2008 :123).
Makna Monabrata tidak
semata – mata hanya diam, tetapi berbicara secara hati – hati dengan
berlandaskan kesadaran. Monabrata adalah jalan untuk membangun komunikasi yang
baik dalam masyarakat. Karena kenyataannya, tidak sedikit salah paham dimulai
dari ketidaksesuaian antara cara penyampaian pesan sehingga menimbulkan
kegagalan dalam komunikasi. Seperti halnya konflik, perang berawal dari
kegagalan dalam membangun komunikasi yang sering disebut dengan mis comunication. Dalam rangka membangun
komunikasi inilah monabrata, yakni
pengendalian ucapan dalam tata krama manusiawi menjadi kebutuhan yang mendesak
dalam masyarakat global. Sarasamuccaya,
sloka 119 disenandungkan dalam lantunan palawakya :
Apan ikang ujar yan rahayu ta kojarannya, tan tunggal
ikang sukha kapuhara denya, yadyapin rahayu towi, yan tan rahayu kojarannya,
irikang umajarakenya tuwi, pwan pamuhara lara
Artinya,
Karena perkataan
itu jika maksudnya baik, dan secara baik pula diucapkannya, hanyalah kesenangan
yang ditimbulkan olehnya, meski maksudnya baik, jika tidak secara baik
diucapkannya, bahkan kepada yang mengucapkkannya pun menimbulkan hati duka.
Memperkaya kompas jagrabrata “puasa melek” yakni usaha
keras menjadikn diri selalu sadar atau pengendalian kesadaran. Jagrabrata mengajarkan kesadaran dalam
pikiran yang dijelmakan dengan tindakan. Karena jagra ini adalah manacika
parisuddha, memang menjadi paling penting dalam ajaran brata siwaratri.
Pentingnya pikiran yang jernih dalam pengendalian indera dalam tindakan,
dijelaskan dalam Bhagawadgita III.7
Sesungguhnya
orang yang dapat mengendalikan panca inderannya dengan pikiran, dengan panca
inderanya bekerja tanpa keterikatan, ia adalah sangat dihormati
Apabila kemanusiaan
merupakan nilai tertinggi pada diri manusia dan kehormatan merupakan nilai
tertinggi pada kemanusiaan. Kesadaran kerja dalam kehormatan merupakan dasar
komitmen tujuan dari setiap yajna. Manusia bukan bekerja semata – mata hanya
untuk memenuhi nafsu selera namun tetap pada hakikat kerja itu sendiri sebagai
yajna. Manusia bekerja tanpa pernah terikat dengan hasilnya. Dalam konteks
perkembangan iptek jagra bukan menghambatnya tetapi jagrabrata menyampaikan himbauan kepada manusia kepada fitrah
dirinya bukan semata – mata material, melainkan hidup yaitu Tuhan – pujaannya,
asal mula dan leburnya alam semesta. Jagrabrata
memberikan kesadaran agung, yang berawal dari dalam diri di tengah – tengah
menciutnya moral dan nilai melalui persebaran barang – barang hasil industri
dan informasi yang tanpa bentuk. Sehingga kebenaran menjadi barang langka yang
semakin buram. Pikiran manusia bercabang memikirkan pesatnya produksi barang –
barang modern yang membuat pikiran manusia linglung dan semakin tertutuplah
pikiran yang jernih itu. Coba renungkan ketika kita mengincar sesuatu yang
sangat memikat hati, namun apa kau tahu apa yang terjadi setelah kita
mendapatkannya, tidak akan ada keinginan yang menggebu-gebu mendobrak nafsu
seperti ketika baru memilikinya. Sesuatu itu akan menjadi biasa – biasa saja.
Begitulah hal ini terjadi berulang – ulang. Tak ada kepuasan dari keinginan itu. Seperti anak kecil yang
menangis ketika tidak dibelikan mainan. himbauan jagrabrata ini adalah janganlah selalu mementingkan sesuatu hal
yang tidak penting dalam kehidupan ini. Dengan demikian manusia menjalankan jagrabrata telah memiliki kesadaran akan kebahagiaan semu
ini dan beralih mengejar kebahagiaan yang sejati.
Dalam
konteks ini manusia berani mengkikis lapisan dunia kasarnya yang terdiri atas anna “makanan” dan prana “nafas hidup”. Dengannya manusia mampu mengekspresikan dunia
halus yang sukma melalui mana
“pikiran-subjektif-nondimensional” sehingga ia siap memasuki dunia simbol tanpa
simbol dengan widjnana “kecerdasan
semesta” untuk tiba pada dunia tanap dunia, ananda
“kebebasan”.
Brata
siwaratri mengajarkan berpikir, berkata, berbuat dan tindakan bajik. Kasih
menjadi dasar komitmen dan tujuan yang dianjurkan Brata Siwaratri seperti halnya juga dalam ajaran yoga kasih menjadi
dasar yang membawakan kebahagiaan yang memberi ketenangan kepada semua pihak.
Bhagavan Baba menyatakan bahwa “ kasih sayang merupakan jalan termudah untuk
mendapatkan anugrah Tuhan dan menyadari keberadaanNya pada segala sesuatunya.
Kasih sayang janganlah didasarkan dengan kasta, keyakinan, status sosial
ataupun pencapaian intelektual seseorang. Kasih sayang merangkul segalanya ; ia
tak dapat hanya diarahkan pada seseorang dan mengesampingkan yang lainnya. Ia
merupakan arus yang mengalir yang menerpa segalanya, yang membawa pada
perluasan sedangkan kebencian akan menyebabkan kontraksi dan kematian. Inilah
dasar ajaran kitab Sanatama Dharma.
Hati yang dipenuhi dengan kasih sayang tidak akan menampilkan pemikiran –
pemikiran yang dapat mengakibatkan kekerasan. Tuhan adalah kasih sayang, Tuhan
kedamaian, Tuhan adalah kekuatan ( Maswinara :2000 :53-54). Bhagavan satya
Narayana dalam ajarannya yang menyiratkan bahwa hanya kasih sayanglah yang
dapat menyatukan seluruh keberadaan di alam semesta raya ini dalam persaudaraan
semesta karena sumber dari padanya adalah Tuhan itu sendiri sebagai
pengejawantahan kasih sayang atau prema
svarupa. Svami Vivekananda dalam menyampaikan ajaran vedanta kepada orang –
orang barat mengatakan bahwa “Kasih
sayang ilahi ibarat segitiga yang setiap sudutnya melambangkan tiga kondisi
yang mendasarinya, yaitu : kasih sayang tak mengenal tawar menawar, kasih
sayang tak mengenal rasa takut dan kasih sayang tak menginginkan adanya
persaingan” (Maswinara : 2000 :49). Sehingga dapat dikatakan bahwa kasih yang
universal merupakan tali-temali yang erat terhadap segala bentuk kehidupan di
dunia, baik hubungan erat manusia dengan Tuhan, hubungan erat manusia dengan
manusia dan juga hubungan erat manusia dengan lingkungan dalam ajaran Tri Hita
Karana. Kasih menciptakan komunikasi yang jauh dari perkataan bohong, fitnah,
keji, kasar dan kemunafikan karena monabrata
mengajarkan mengatakan sesuatu yang menyenangkan diri sendiri dan orang lain. Jagrabrata senantiasa mendorong
kesadaran manusia pada setiap kesempatan dalam puncaknya untuk tidak berlaku
semena – mena terhadap sesama. Sebagai juga implementasi ajaran weda tentang
sifat Tuhan berada dimana-mana yang secara logis dapat diartikan bahwa manusia
itu adalah Tuhan, binatang adalah Tuhan hingga pada akhirnya semua isi alam
semesta juga adalah Tuhan. Filsafat Vasistadvaita menurut Sri Ramnuja juga
mengajarkan bahwa alam beserta isinya berawal dan berakhir dari, kepada Tuhan.
Dalam upawasa memberikan landasan
untuk tidak mementingkan diri sendirida tiadanya pamrih pribadi dalam setiap
tindakan. Mengingat baik habitus (proses persepsi sosial), habitat (kondisi
sosial) maupun habit (kebiasaan bertindak) telah berada dalam lingkup kasih
bersama Brata Siwaratri. Dengan
demikian pengaruh negatif perkembangan iptek pada eglo (era globalisasi) dapat
dihindari (Yasa, dkk, 2008 :127).
III.
Penutup
Atas dasar analisis –
analisis diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa gambaran cerita
Lubdhaka adalah mengandung makna spiritual dari seseorang yogi yang tekun
memuja Dewa Siwa. Makna tersebut terselubung dalam lapis – lapis karya
sastranya, sehingga untuk mendapatkan isinya seseorang harus mengupas terlebih
dahulu kulitnya. Ia yang senantiasa mengejar hakikat yang mulia dan telah
mencapai puncak yang tertinggi dalam yoga disebut samadhi. Yoga dalam siwaratri
dilaksanakan pada hari pengelong 14 kapitu yang dimana sang yogi mendapatkan titik
kulminasi dari yoganya yaitu samadhi. Atau juga karena waktu sakral tersebut
adalah waktu yang mengandung janji suci Kosmis. Cara bhakti kepada Bhatara Siwa
ialah dengan mengendalikan diri sehingga mencapai kesadaran diri. Dengan kata
lain Si Ludhaka telah berhasil memburu binatang yang ada dalam dirinya secara
sistematis dengan senjata panah (vidya), dan setelah pangelong 14 kapitu sudah
binasalah semua buruan binatang yang ada dalam dirinya sehingga mencapai alam
siwaloka. Ini dilambangkan dengan jagrabrata,
melaksanakan upawasa dan monabrata. Lubdhaka sebagai seorang
pemburu. Kerjanya hanya membunuh, menyakiti, menyiksa itu disebut himsakarma. Himsakarma yang dimaksud adalah membunuh Sang Ego dalam diri,
sehingga timbulah rasa kasih terhadap ciptaan Tuhan. Atas dasar inilah ahimsa karma menjadi dasar ajaran yoga.
Setelah melalui tahap ahimsa karma
inilah seseorang melaksanakan yoga ke tahap berikutnya.
Ada tiga wacana penting yang
tampaknya secara runut diformulasikan oleh Mpu Tanakung dalam karyanya :
Kakawin Siwaratrikalpa. Wacana ynag dimaksud (1) akabwatan lango “berusaha mendapat pengalaman estetik” (2) muktang klesa “ruwat dari dosa” (3) mulihang nirasraya “kembali pulang
keasal, mencapai kelepasan atau mencapai pengalaman religius”. Itulah ke-papa-an yang ia ingin ruwat dengan yoga
sastra dan dengan ruwatan ia mendapat bekal untuk mencapai tujuan akhir yakni
mencapai kelepasan. Inilah juga tujuan dari disiplin ilmu yoga.
Tujuan akan tercapai melalui
perjalanan yang panjang yang dibumbui dengan berbagai rintangan. Oleh sebab
itu, untuk mencapai tujuan manusia harus fokus atau kosentrasi dan tetap teguh
demi tercapainya tujuan itu. Inilah proses yang sama, yang ditawarkan oleh
jalan yoga yang disebut astanggayoga. Jadi, dengan demikian dapat penulis
katakan Brata siwaratri adalah salah satu bentuk ajaran yoga. Hanya saja bentuk
ajaran yoga yang didominasi oleh jnana yoga yaitu pengendalian yang lebih
ditekankan pada diri sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sudibya
bahwa “Bebanten
tapa, brata, yoga dan semadhi merupakan bagian dari kehidupan untuk
melihat diri ke dalam sebagai salah satu upaya tanpa lelah dan tanpa henti
dalam mengendalikan keinginan tanpa batas yang distimulasi panca indria”
(Sudibya, 1997 :65).
Daftar
Pustaka
Atmaja, I Made Nata,dkk. 2009. Siwa, Sadasiwa dan Paramasiwa. Surabaya:Paramitha
Kamajaya, Gede. 1998. Yoga Kundalini (Cara Untuk Mencapai Siddhi dan Moksa). Surabaya:
Paramita
Maswinara, I Wayan. 2000. Kedamaian di Tengah – Tengah Prahara.
Surabaya : Paramita
Maswinara,
I Wayan. 2000. Lima Nilai Kemanusiaan dan
Keunggulan Manusia. Surabaya : Paramita
Rasti, Ni Wayan, dkk. 2004. Siwaratri, Tinjauan Sosioreligius dan Filosofis. Surabaya:
Paramitha
Sudharta,
Tjok Rai. 1992. Siwaratri Makna dan
Upacara. Denpasar : PT Upada Sastra
Sudibya,
I Gde. 1997. Hindu dan Budaya Bali Bunga
Rampai Pemikiran. Denpasar : PT BD
Watra, Wayan, dkk. 2007. Pandangan Filosofis, Etika dan Upakara Dalam Siwaratri di Era Modern.
Surabaya: Paramitha
Yasa, I
Wayan Suka, dkk. 2008. Siwaratri (Wacana
Perburuan Spiritual Dulu dan Kini). Denpasar: Fakultas Ilmu Agama UNHI
Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma
Yasa, I
Wayan Suka, dkk. 2006. Yoga Marga Rahayu.
Denpasar: Fakultas Ilmu Agama UNHI Bekerjasama Dengan Penerbit Widya Dharma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar