HISTORIS SANGGAH DADIA BANJAR LET
BANJAR PAKETAN, DESA SUKAWANA
2.1
Sejarah Pembangunan Sanggah Dadia Banjar Let
Sejarah berdirinya Sanggah
Dadia Banjar Let ini berakar dari Pasek Kayu Selem yang berada di Desa Songan.
Dikatakan bahwa Sang Pasupati memiliki putra yang bernama Mpu Gnijaya, Mpu Semeru,
Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah. Mereka adalah 5 orang Brahmana yang
bersaudara kandung. Mereka lazim disebut dengan panca Rsi atau Panca Dewata
yang terlahirkan di Bali. Kelima Mpu itu pada masa kecilnya pernah belajar di
Bharata Warsa (India) setelah tamat dari pendidikannnya beliau kembali ke
Indonesia dan melakukan yoga di Gunung Semeru Jawa. Mereka sangat terkenal
dengan karena kepandaian dalam berbagai ilmu, seperti agama, pemerintahan, kedyatmikan dsb. Keempat bersaudara
tersebut menetap di Bali kecuali Mpu Baradah tinggal di Jawa Timur sebagai
penasehat raja Erlangga ( Sadia, dkk,1982 :95-96 ; Soebandi, 2008 : 32-33 ;
Soebandi, tp : 44-45).
Mpu Semeru alias Mpu
Mahameru pemeluk aliran Siwa, tiba di Bali pada hari Jumat kliwon Wuku Pujut
purnamaning sasih kawulu candra sengkala Jadma siratmaya muka, tahun icaka 921
(tahun 999 M) selanjutnya berparhyangan di Besakih. Bilau memiliki putra yang
bernama Mpu Kama Reka yang berparhyangan di Tapuriang. Mpu Kama Reka memiliki
anak kembar buncing yang bernama Ni Ayu Cemeng dan Kayu Ireng. Singkat cerita
Setelah pernikahan Ni Ayu Cemeng dengan Kayu Ireng yang kemudian bertempat
tinggal di Goa Song, membuahkan empat orang anak yang bernama Kayu Selem,
Celagi, Kayua dan Kayu Menyan. Masing – masing anak beliau bertempat tinggal
menyebar di tempat yang berbeda – beda. Kayu Selem berstana di desa Songan,
Taru Menyan berstana di Desa Truyan, kayua berstana di Desa Pinggan dan Celagi
di Pedaan atau Padang sari.
Sebagai warga Pasek Kayu
Selem mengalami penyebaran di seluruh pelosok wilayah Bali dan tibalah seorang
wayah bernama Prau yang memiliki dua orang anak, satu anak laki dan satu anak perempuan di Desa Sukawana, Banjar
Paketan. Anak perempauan beliau menikah di daerah Desa Sukawana di banjar Kelod
namanya. Anak laki – lakinya yang bernama Wayah Tindih memiliki 13 orang anak
yang terdiri dari 12 anak laki – laki serta seorang anak perempuan dan tetap
menetap di Banjar Paketan. Anak perempuannya menikah di daerah Kintamani, kemudian
anak laki-laki beliau menyebar ada yang
bertempat tinggal di daerah Blandingan, Panji, Tamblang, Munti, Metra, Tiingan
(Plaga), 3 orang laki yakni (Komor, Tekun, Wande) tetap menetap di Banjar
Paketan sisanya belum diketahui. Nah, kemungkinan dari ketiga pendahulu inilah
yang menetap dan tinggal meneruskan keberlangsunagan hidup. Hingga tumbuh
berkembang menjadi banyak dan mendirikanlah pemujaan kepada leluhur yang kini
disebut sebagai Sanggah Dadia Banjar Let.
Bagan
perjalanan pendahulu atau wayah hingga menetap di balik bukit panorajan atau
bukit penulisan sekarang.
Sang
Pasupati
Tapu Riang Goa Song Kayu
Selem Paketan
2.2
Palingih – palinggih Sanggah Dadia Banjar Let
Sebelum Mpu Kuturan
datang ke Bali, hanya ada tiga pura yang dikelola oleh kerajaan – kerajaan di
Bali yaitu : Pura Segara lambang dari Bhur loka, Pura Penataran lambang Bhuah
Loka dan Pura Puncak lambang Swah Loka (Wiana, 1993 : 82-83). Namun ketika pada
masa pemerintahan Gunaprya Dharmapatni atau Udayana Warmadewa pada Icaka 910
sampai dengan 933 (988 sampai dengan 1011 M). Tatkala ketika itu penduduk
kerajaan Bali mayoritas orang – orang Bali Mula, yang menganut 9 aliran yang
disebut dengan sekte atau paksa. Dimana dalam pelaksanaan keagamaannya memuja
salah satu Tuhan sebagai Istadewatanya. Hal ini kemudian yang mengakibatkan
berbagai perselisihan. Oleh sebab itulah, Panca Rsi diatas diundang oleh Raja
Bali ketika itu untuk membantu mengatasi kemelut yang terjadi daam tubuh
masyarakat Bali Mula terkecuali Mpu Baradah (Soebandi, 2008 :31).
Pada suatu hari Mpu
Kuturan selaku ketua Majelis Pakira-kiran
I Jro Makabehan, mengadakan rapat besar atau pasamuan agung di Bataanyar.
Rapat ini mengundang tokoh dari masing – masing penganut keprcayaan dan pemeluk
agama, yang dibedakan menjadi tiga kelompok, yakni :
a. Mpu Kuturan alias Mpu Rajakretha atau pemimpin rapat
besar sebagai wakil dari penganut Buddha.
b. Tokoh dari masing – masing penganut sekte atau paksa dari
orang – orang Bali Mula
c. Tokoh dan peminpin aliran Siwa yang diwakili oleh Mpu
Semeru.
Dari rapat besar itu
salah satu keputusan penting yang ditelorkan setiap anggota Desa Pakraman
diberikan secutak tanah untuk pekarangan rumah, dan keharusan mendirian tempat
suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau
leluhur dengan palinggih pokok berbentuk rong
tiga pada masing – masing rumah tangga, kemudian palinggih ini dikenal
dengan sebutan Kamulan dan tempat
susi ini sekarang lazim disebut merajan atau sanggah( Soebandi, 2008 :38).
Merajan dilihat dari
istilah berasal dari bahasa Sanskerta yaitu raja atau yang disebut juga rajan secara umum berarti raja sebuah
sebutan kepala pemerintahan. Kata rajan
mendapat awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna sebagai tempat untuk
memuliakan dan memuja yang dalam kesempatan itu berarti tempat memuliakan arwah
leluhur. Sedangkan kata sanggah berasal dari kata sanggar secara harfiah berarti kuil atau sangga yang dalam kaitan anangga
yang berarti memegang tinggi – tinggi juga berarti pula bermakna
menjungjung atau memuja. Sanggah berarti tempat suci untuk menjungjung tinggi
atau memuja leluhur. Dengan demikian antara merajan dengan sanggah memiliki
makna yang sama sebagai tempat untuk memuja arwah leuhur (Soebandi, 2008 :23 –
24).
Menurut lontar
siwagama, tempat suci ini dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu pura
untuk keluarga dalam pekarangan rumah yang disebut Kemulan. Pura untuk
tingkatan keluarga yang lebih besar memiliki palinggih dan Gedong Prtiwi yang
sering disebut pura Merajan Gede atau Sanggar Gede.
Pura
Kawitan yaitu Pura
yang Penyiwinya ditentukan oleh ikatan ”Wit” atau asal muasal atau ikatan
leluhur berdassarkan garis keturunan geneologis seperti : Sanggah/pemerajan,
Prthiwi, Ibu/Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedarman dan
sejenisnya. Jenis pura yang tergolong pura kawitan ini juga
sering disebut pura dadia dan pura Batur
(bukan pura batur yang ada di kintamani). Yang dimana pura kawitan ini
berfungsi untuk memuja roh leluhur yang telah Sidhadewata (telah mencapai alam ketuhanan) dan jika dilihat dari
segi sosiologis pura kawitan ini juga berfungsi untuk mempersatukan atau
merukunkan umat dari tingkat keluarga terkecil hingga tingkat keluarga paling
besar yang berasal dari satu keturunan. (Wiana, 1993 : 82-83).
Mengenai jumlah palinggih
– palingih yang dibangun di masing – masing dadia berbeda – beda jumlahnya
karena terkadang palinggih – palinggih yang dibangun itu dibuat berdasarkan
orang – orang yang dianggap berjasa dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Oleh sebab itulah, jumlah bangunan antara dadia yang satu dengan dadia yang
lainnya tidak tentu jumlahnya.
Sesuai dengan bukti
tulisan yang terdapat dalam Balai Peparuman atau Pelik Sanggah Dadia Let ini dilakukan
pembugaran pertama kali pada tanggal 6 April 1989 dan selesai penggarapannya
tanggal 2 September 1989. Setelah pebugaran pertama, maka pada tahun 2011,
dilakukan pembugaran kembali yakni menggunakan padas hitam. Sanggah Dadia Let terletak
di sebelah kanan jalan, (jalan menuju Pura Dalam Balingkang) tepatnya di
sebelah utara balai Banjar Paketan. Pengemong Sanggah Dadia Banjar Let terhitung
jumlahnya hingga saat ini adalah 108 kepala keluarga. Terkait dengan pembangunan
palinggih yang ada di Dadia Banjar Let pertama dibuat untuk memuja leluhur (Sidhadewata), kedua memuja beberapa
istadewata sebagai dewa tertinggi dan ketiga juga untuk memuja orang – orang
yang telah berjasa untuk keberlangsungan hidup masyarakat dengan bentuk
palinggih Gedong Perucut. Wayan Nurkancana mengatakan bahwa bangunan dan jenis
pemujaan dalam Sanggah Dadia disesuaikan dengan kepercayaan yang dianut, jika
paham dwaita yang dianut maka ada pemujaan terhadap pertama kepada Parama siwa
atau Tuhan yang Esa, kedua Sada Siwa setaraf dengan Dewa – dewa dan yang ketiga
adalah pemujaan terhadap Siwatma atau Jiwatma atau juga roh leluhur.
Adapun palinggih Sanggah
Dadia Banjar Let Sukawana, Br Paketan adalah sebagai berikut :
Jeroan atau utama mandala terdiri atas :
1.
Balai Peparuman
atau Pelik
Pada hari piodalan
di sanggah dadia Banjar Let pratima atau benda – benda yang disakralkan
yang menjadi wakil wadagNya dihias dengan segala macam hiasan kebesaran, dan
diarak dengan segala kemegahan untuk kemudian ditahtakan di balai peparuman atau pelik (balai pesamuan).
Di balai inilah Bhatara-bhatari dan tamunya mengambil tempat untuk turut untuk
merayakan hari besar di Sanggah tersebut, dan bersama tuan rumah menerima
penghormatan dan persembahan dari umat. Balai peparuman atau
pelik ini juga berfungsi sebagai tempat untuk menghaturkan upakara atau sesajen
pengenem ulu celeng.
2.
Palinggih
Ibu Kamimitan
Menurut keputusan dalam seminar kesatuan tafsir terhadap
aspek – aspek agama hindu dimana ditetapkan bahwa kemulan rong tiga adalah
palinggih Tri Murti atau Hyang Kamimitan atau Hyang Kemulan. Oleh sebab itu
Palinggih Hyang Kemulanatau Ibu Kamimitan
atau disebut juga Hyang Kemulan sebagai tempat memuja asal muasal manusia atau
kawitan. Kedua kata ini berasal dari kata kemulan
yang berasal dari kata mula “ asal” dan wit “sumber”. Memuja Tuhan dalam
fungsinya sebagai leluhur disebutkan dalam Bhagavagita
X sloka 23 dinyatakan bahwa “apapun yang kau puja, akan sampai juga kepada-Ku”
(Jendra, 1998 :77). Lalu memuja Bhatara Guru, yakni Tuhan sebagai Guru dengan
tujuan agar mendapat pencerahan pikiran sehingga dapat melakoni hidup
sepatutnya. Dalam rangka itu dilakoni tradisi berguru untuk mendapat ilmu
pengetahuan duniawi maupun spiritual. Rsi
yadnya. Tetapi juga berarti hormat kepada leluhur, karena leluhur sekaligus
juga dapat dipandang sebagai guru keluarga. Beliau di stanakan dan dipuja di
sanggah kemulan (di ruang kanan dan ruang kiri ): pitra yadnya. Secara simbolik ia melakukan pemujaan bhakti dalam
bentuk upacara dewa yadnya: melakukan
pemujaan kepada Dewa, Ayah Ilahi di sanggah kemulan (ruang tengah) (Yasa, dkk,
2006 :52).
Dengan
demikian bangunan Ibu Kamimitan yang
berong (me-ruang) tiga dihubungkan juga dengan ajaran Tri Rnam, yakni Tiga
Hutang manusia yang harus dibayar kepada :
1) Hutang kepada Sang Hyang Widhi dan semua manifestasiNya
2) Hutang kepada Maha Rsi
3) Hutang kepada leluhur ( Sudarsana, 1998 :62)
Menurut
keputusan dalam seminar kesatuan tafsir terhadap aspek – aspek agama hindu
dimana ditetapkan bahwa kemulan rong tiga adalah palinggih Tri Murti atau Hyang
Kamimitan atau Hyang Kemulan. Menurut Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta MA (SARAD No.
41/2003) hal tersebut sejalan dengan lontar – lontar berikut ini :
1)
Lontar Usana Dewa
yang menyatakan dsb:
Yang berstana
pada hyang kemulan adalah Sang Hyang Atma. Di Kemulan rong kanan adalah Para
Siwa yaitu ayah. Di kemulan rong kiri adalah Siwa Atma yaitu ibu. Di kemulan
rong tengah adalah wujudnya Brahma, yaitu ibu bapak yang sudah berwujud Sang
Hyang Tuduh
2)
Lontar Gong Besi
“....pada
kemulan rong kanan sebagai bapak adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri
sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna
Atma atau leluhur seterusnya, yaitu ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang
Kuasa yaitu Sang Hayng Tunggal, mempersatukan wujud....”
3)
Lontar Purwa Bumi
Kemulan
Yang berstana
di Sanggah kemulan adalah Atman sebagai Bhatara Guru
4)
Lontar Siwa Gama
Kemulan
Yang berstana
di sanggah kemulan adalah Sang Pitara dengan menyebutkan “....Kramanta Sang
Pitara muliheng batur Kamulannya nguni”
Jadi,
lontar – lontar tersebut, menekankan bahwa yang berstana di palinggih Ibu
Kamimitan atau Hyang kemulan adalah Atman atau Pitara atau Sang Hyang Guru.
Jika ada yang menyatakan bahwa yang berstana di sanggah Kemulan adalah Tri
Murti dalam pengertian Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai dewa
Brahma, Visnu dan Siwa maka pemikiran itu tidaklah benar. Tegasnya, Roh suci
leluhur atau Dewa Hyang atau Bhatara Bhatari keluargalah yang distanakan dan
disembah di Kemulan Rong Tiga dan atau Kemulan Rong Kalih (Suhardana, 2006 :
123-124).
Sehingga
dapat penulis katakan bangunan palinggih Ibu Kamimitan yang berong tiga
tersebut adalah palinggih tempat memuja Leluhur, yakni rong kanan sebagai bapak
adalah Para Atma. Pada kemulan rong kiri sebagai ibu namanya Siwa Atma. Pada
kemulan rong tengah wujudnya sebagai Susuna Atma atau leluhur seterusnya, yaitu
ibu bapak dalam wujudnya pulang kepda Hyang Kuasa yaitu Sang Hyang Tunggal.
3.
Palinggih
Ayu
Mas Melanting
Palinggih
Ayu Mas Melanting adalah pemujaan Tuhan dalam bentuk Dewi Kemakmuran dan
kesejahteraan umatnya yaitu Dewi Laksmi atau Dewi Sri. Tuhan diibaratkan adalah
seorang presiden yang memiliki banyak ajudan seperti DPR, Mentri, Gubenur,
Bupati dll. Nah, palinggih inilah yang dipersonifikasikan sebagai ajudan
presiden. Ketika rakyat kecil ingin memohon bantuan berupa dana untuk
keberlangsungan, maka pengajuan proposal ini tidak secara langsung diajukan
kepada presiden namun melalui tangan dan kaki atau bawahan Presiden tersebut.
Begitu halnya Presiden ketika menyumbangkan segala sesuatunya sebagai wujud
partisipasinya kepada rakyat mesti melalui bawahannya (Jendra, 1998:77). Inilah
sekiranya usaha manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui cara
memanusiakan Tuhan agar jarak antara manusia dengan Pencipta terasa dekat
seperti layaknya ibu dan anak. Palinggih ini juga tempat pemujaan bagi masyarakat
yang memiliki kesamaan profesi. Profesi sebagai petani penghasil palagantung,
palabungkah. Petani tentu mengambil juga profesi sebagai pegadang untuk menjual
hasil panen mereka kepada saudagar. Sehingga tidak salah jika masyarakat Dadia
Banjar Let juga mendirikan palinggih ayu Mas Melanting sekalipun daerah ini
jauh dari pasar. Palinggih Ayu Mas Melanting merupakan salah satu palinggih
penyawangan dari Pura Subak Tenten yang berada di sebelah timur dekat SDN 4
Sukawana Banjar Paketan.
Dengan
adanya pemujaan Dewi Laksmi yang diyakini sebagai Dewi yang memberi rejeki
sehingga manusia menjadi makmur, dengan demikian kehidupan masyarakat menjadi
bahagia. Dalam konsepsi Hindu diyakini Dewi Laksmi adalah sakti dari Dewa
Wisnu. Sehingga dapat penulis katakan bahwa bangunan palinggih Ayu Mas
Melanting merupakan adanya pengaruh dari sekte Waisnawa.
4.
Palinggih Ratu
Ayu Subandar
Palinggih ratu Sunbandar ini adalah pemujaan terhadap
dewa yang tidak terdapat dalam nama – nama dewa tertinggi dalam Agama Hindu
sekalipun demikian, tetap memiliki kedudukan yang sama terhormatnya dengan dewa
– dewa dalam Agama Hindu. Palinggih ini merupakan penyawangan dari Pura
Ulundanu Batur di Desa Batur, Pura Balingkang di Desa Pinggan dan pura
Penataran Agung Besakih, pemujaan yang diwarisi sebagai pemujaan yang mengikuti
tradisi cina (Gunawan :2012:20).
Keberadaan
Palinggih Ratu Ayu Mas Subandar ini memiliki dua warna mencolok yakni merah dan
kuning. Merupakan warna ciri khas tempat peribatatan masyarakat Tionghoa.
Tempat pemujaan khusus kepada Kang Cing Wie istri raja Sri Jaya Pangus.
Palinggih ini diyakini sebagai tempat pembawa berkah.
Ini menandakan
masyarakat Bali sejak jaman prasejarah telah memiliki hubungan kekerabatan
melalui jalur perdagangan. Sebagai juga sebuah kajian historis bahwa kata ratu yang diduga berasal dari bahasa
Austronesia, yang merupakan pemujaan terhadap leluhur oleh masyarakat Bali
(Ardika, 1997 :6). Dilihat dari bangunan dan bentuk Palinggih Ratu Ayu Subandar
yang merupakan penyawangan dari Pura Dalem Balingkang menggunakan sejumlah uang
kepeng dan gunci sebagai tempat menaruh dupa. Dari uraian ini maka bangunan Palinggih
Ratu Ayu Subandar adanya pengaruh dari etnis Cina dengan kepercayaan Buddha.
Mungkin jadi, ada juga pengaruh dari sekte Boddha.
5.
Palinggih Padmasana atau Surya
Padmasana berasal dari dua kata padma yang berarti
teratai merah dan asana yang berarti sikap duduk. Padmasana berati tempat duduk
dari teratai berwarna merah (Titib, 2003 : 106). Padmasana adalah lambang
makrokosmos atau alam semesta yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Siwa Aditya). Palinggih surya adalah bangunan untuk memuja Sang Hyang Surya Raditya sebagai upa
saksi segala kegiatan manusia yang berkaitan dengan upacara yadnya. Dalam
lontar Siwagama gelar Surya Raditya adalah gelar atas anugrah
dari Dang Guru (Dewa Siwa) karena
bhakti dan kepadaian beliau oleh sebab itu dalam segala ritual beliau sebagai
saksi atas pelaksanaan upacara yadnya tersebut. Dijelaskan oleh I
GB Sugriwa, Dwijendra Tattwa (1991
:5) sebagai symbol luhuring akasa
dan sebagai symbol upasaksi terhadap kegiatan yajna.
Bahan bangunan
umumnya terbuat dari batu padas, kadang – kadang dari batu karang laut (putih)
atau juga daribatu lahar (gunung agung). Dari bentuknya yang sederhana
padmasana terbuat dari pasir semen dan tidak ad yang mengunakan kayu. Kadang – kadang pada belakang bangunan
terdapat pahatan burung Garuda yang mendukung Dewa Visnu yang membawa Amrtha.
Kadang – kadang dipahatkan pula ukiran angsa yang sedang mengepak – empakkan
sayapnya. Tidak ada padmasana sebagai pemujaan terhadap roh leluhur
(Atmasiddhadevata). Bangunan atau palinggih Padmasana tersebar pada sebagian
pura di Bali dan juga hampir semua pura di luar Bali menggunakan Palinggih
Padmasana sebagai palinggih utama. Di Besakih misalnya bangunan padma berjejer
berdiri tiga dengan yang dilinggastanakan adalah Parama Siwa (tengah), Sada
Siwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri) (Titib, 2003:107).
Dapat dilihat
pada gambar Palinggih Padmasana diatas menggunakan batu
padas. Dibelakangnya (seperti gambar disamping ) dipahatkan relief Dewa
Visnu yang menunggangi burung Garuda diatasnya burung angsa dan Padmasana ini beruang
(me-rong) satu dengan palih tiga yaitu palih taman (bawah), palih sancak (tengah) dan palih sari (atas), tidak
menggunakan bedawag nala. Dilihat dari rong dan pepalihan maka padmasana yang
ada di Banjar Let ini adalah jenis padmasari. Palinggih ini barada di tempat
timur laut menghadap barat daya. Bangunan ini merupakan
kristalisasi dari sekte Sora (surya).
6.
Palinggih Kayu Selem
Walaupun
sudah mendirikan sanggah kemulan, masyarakat juga memuja dewa-dewa yang
ada di dalam tempat suci asalnya. Pemujaan ini dilakukan pada setiap adanya
upacara dalam tempat suci tersebut. Untuk menghemat biaya dan untuk memudahkan
jalan persembahyangan, dewa-dewa yang bersemayam di tempat suci asalnya dibuatkan
palinggih dalam sanggah pamrajan yang bam itu. Karena demikian,
maka tidak mengherankan apabila palinggih-palinggih di dalam sanggah pamerajan
tidak tetap jumlahnya dan bisa mencapai duapuluhan, malahan bisa lebih. Palinggih
Kayu Selem adalah palinggih penyawangan Pasek Kayu selem yang berada di Desa
Songan. Palinggih inilah yang mencirikan warga masyarakat Dadia Banjar Let
sebagai warga pasek Kayu Selem.
http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/05/esensi-konsepsi-pura-sebagai-tempat-suci-di-bali/
(kamis 18 okt. Pukul 8:55).
Palinggih
padang sari adalah pelanggih penyawangan dari kawitan yang berada di Pedaan
Padang sari yang merupakan salah satu semeton Kayu Selem.
8.
Palinggih Taksu
Bangunan
ini menggunakan batu padas, yang berong satu, mengenai kata taksu memiliki
fungsi sebagai pemberi kekuatan kepropesionality kepada masyarakat sesuai
dengan keahliannya. Agar apa yang menjadi perannya dalam masyarakat mampu
dimainkan seseorang dengan sungguh – sungguh sehingga orang tersebut dikatakan
metaksu atau berkharisma. Menurut ajaran agama Hindu profesi tersebut ada
sepuluh yakni :
1) Guna Rsi profesi sebagai pendeta
2) Guna Wibawa profesi sebagai pagawai, pejabat
3) Guna Tukang profesi sebagai pertukangan
4) Guna sangging profesi sebagai tukang pahat
5) Guna Pragina profesi sebagai penari, penyanyi dan pemusik
6) Guna Balian, profesi sebagai dukun, bidan, perawat dsb
7) Guna Sastra profesi sebagai pengarang, pengawi, penulis
8) Guna Dagang, profesi sebagai saudagar, pengusaha
9) Guna Senteng profesi sebagai pemangku, pemuka agama
10) Guna Tani profesi sebagai petani
Dengan
adanya sepuluh profesi memerluksn snugrsh dari Ida Hyang Widhi melalui
manifestasiNya yaitu Sang Butha Kala Raja, beliaulah sebagai Sedahan Taksu.
Taksu itu sesungguhnya adalah kekuatan magis dari Ida Hyang Widhi, dimana
kekuatan tersebut adalah kekuatan gravitasi (gaya tarik) dan kekuatan tersebut
menyatu dengan kekuatan manusia serta membangkitkan manusia sehingga manusia
memiliki kharisma, kakuatan yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan
profesinya. Dengan demikian bangunan Suci Taksu sangat perlu dibuat sebagai
stana beliau (Sudarsana, 1998 :63-65)
9.
Palinggih Kemulan
Bentuk
bangunan ini adalah menggunakan turus lumbung yang berong satu. Tiangnya
menggunakan kayu dapdap dan tempat rongnya menggunakan pohon bambu yang dijalin
setengah lingkaran dan untuk menyatukan antara tiang dan rongnya digunakan tali
dari ijuk yang dijalin. Pada gambar tidak terlihat tiang dapdap dan rongnya,
karena masih dalam proses pembugaran jadi palinggih kemulan ini masih rusak.
Fungsi bangunan ini adalah bukti secara niskala bahwa masyarakat nunas tanah di
areal tersebut untuk dibanguni sanggah atau merajan. Sehingga tidaklah salah
kenapa bangunan ini disebut kemulan (mengingat kemulan berarti mula) karena
bangunan inilah yang pertama didirikan.
Perkembangan
penduduk yang semakin lama makin bertambah banyak. Karena kepadatan penduduk,
banyak penduduk yang semula tinggal dekat tempat-tempat suci pergi ke tempat
lain yang agak jauh. Perpindahan ini mungkin disebabkan oleh karena mencari
penghidupan yang baru atau karena desanya dirasa tidak aman, sering terjadi
kerusuhan dan perampokan seperti halnya desa Ju1ah pada sekitar abad XI,
sebagaimana diberitakan dalam prasasti Sembiran A IV. Pada tempat yang baru
ini, mereka membuat suatu bangunan yang sifatnya sementara. Bangunan ini dibuat
dari ”turus pohon dapdap” sebagai tiangnya dan dibuatkan sebuah ruangan dengan
balai-balai yang dibuat dari bambu untuk tempat me1etakkan sajian. Bangunan
suci jenis ini disebut ”turus lumbung” http://ibgwiyana.wordpress.com/2012/04/05/esensi-konsepsi-pura-sebagai-tempat-suci-di-bali/
(kamis 18 okt. Pukul 8:55).
Dapat
penulis contohkan Sanggah Turus Lumbung (lihat gambar disamping namun gambar
ini adalah sanggah turus lumbung yang ada di masing – masing pekarangan rumah) Sanggah yang
terbuat dari pohon dapdap dan juga di awal pembuatan sanggah, banyak umat yang
menggunakan pepohonan ini yang dipercayai sebagai taru sakti. Turus dapdap
merupakan tameng atau perisai, yakni alat untuk melindungi diri ; dan lumbung,
yakni tempat untuk menyimpan padi untuk penghidupan. Namun sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi maka didirikanlah sanggah permanen. Mengenai batasan waktu
penggunaan turus lumbung memang secara mutlak tidak ada ketentuannya. sebab
sesuai dengan sifat ajaran agama hindu yang luwes, pengalamannya selalu
dikembalikan kepada umat yang bersangkutan, Terutama masalah kemampuan umat
untuk membuat sanggah yang permanen atau tidak. Sebagaimana disebutkan, sanggah
ini juga merupakan salah satu tempat suci dalam pekarangan rumah.
Namun
keberadaan Sanggah Turus Lumbung di Desa Sukawana masih tetap eksis sekalipun
taraf ekonomi penduduknya sudah dapat dikategorikan cukup. Bangunan palinggih
ini dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal)
yang digunakan untuk tempat sajian. Bangunan rong tunggal inilah yang disebut ”
kemulan atau sanggah kemulan”. Peninggalan-peninggalan bangunan ini juga dapat dijumpai
di desa-desa Bali Kuno, seperti di
Julah, Sembiran, Lateng, Dausa, dan tempat kuno lainnya. Lama kelamaan oleh
karena kebudayaan manusia makin maju, maka dalam perkembangan sejarah bangunan
rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (merong dua). Dalam perkembangan
selanjutnya bangunan rong dua berkembang menjadi Bali yang beragama Hindu. Bangunan
seperti ini merupakan tempat untuk menghormati atau memuja leluhur-leluhur
mereka yang telah disucikan. Selanjutnya, dalam perkembangan kemudian, bangunan
yang memakai ruangan tiga (rong telu) disesuaikan dengan konsep Trimurti sebagai sanggah kemulan, sebagai
tempat pemujaan leluhur.
10.
Pyasan Kayu Selem
Pyasan
berasal dari kata pehiasan artinya tempat untuk menghias atau merangkai simbul
arca, daksina palinggih. Namun khusus pada bangunan ini adalah Beliau Ida
Bhatara – Bhatari Kayu Selem sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat
upakara yang akan dipersembahkan. Pyasan kayu selem ini dibuat untuk tempat
pertemuan Ida Bhatara- Bhatari Kayu Selem, yang berlangsung pada setiap ada
upacara di sanggah dadia, pyasan
ini berfungsi sebagai balai untuk Bhatara-Bhatari berhias. Dengan kata lain Pyasan
adalah bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan,
dimana disini juga diletakkan sesajen (banten) yang dihaturkan kepada dewa yang
dipuja sebagai jamuan layaknya seseorang yang bertamu.
http://www.babadbali.com/astakosalakosali/astakosala.htm (kamis 18 okt, pukul 8:27)
11.
Pyasan Padang Sari
Pyasan
ini berfungsi sama halnya dengan pyasan Kayu Selem yakni untuk balai pertemuan
Bhatara – bhatari Padang Sari dengan semetonNya
yakni Bhatara-bhatari Kayu Selem dan juga tempat persembahan jamuan kepada Bhatara-
bhatari yang dipuja di tempat suci asal mula.
12.
Palinggih pasimpangan pegonjongan
adalah
bangunan yang hanya menyediakan tempat singgah bagi para dewa, yang bertahta di
tempat lain, tetapi menjadi pelindung tetap dari pura itu. Namun demikian, jika
dihayati lebih mendalam, sesungguhnya bukan saja pasimpangan, melainkan palinggih pun dan bahkan puranya
sendiri merupakan tempat singgah belaka dari para dewa. Dikatakan demikian,
karena tempat menetapnya ada1ah di “kahyangan atau di puncak gunung”.
Kedatangannya di pura hanyalah pada saat-saat tertentu, misalnya pada waktu
diadakannya upacara piodalan di pura itu. Pada saat inilah pura itu penuh
dengan”tamu agung” yang terdiri atas semua para dewa yang ada sangkut pautnya
dengan pura tersebut.
Jaba Tengah atau madya mandala terdiri atas :
13.
Pasimpenan
Siang Anti
Siang
Anti berfungsi sebagai tempat persimpanan benda yang disakralkan. Adapun benda
yang disakralkan yang disungsung oleh dadia Sanggah Let berupa : Bajra Sangku,
Saka, Keris, Manik, dan Jinah Gempeng atau uang Bolong. Ketika hari piodalan
benda – benda sakral ini di arak kemudian di wangsuh dan ditempatkan pada balai
paruman atau pelik. Setelah upacara piodalan usai maka para Bhatara
- bhatari kembali lagi ke persemayaman masing-masing dan benda – benda sakral
ini diarak kembali ke tempat penyimpanannya yakni Persimpenan Siang Anti.
Dari uraian
diatas, benda – benda sakral atau pratima merupakan adanya pengaruh dari sekte
pasupata karena cara pemujaan yang menggunakan sarana berupa benda – benda
sakral sebagai simbol tempat turunnya atau berstananya Tuhan adalah ciri dari
sekte pasupata. Benda sakral seperti jinah
gempeng atau uang bolong yang merupakan bukti pengaruh kebudayaan Budhha di
Bali yang jika ditinjau hal ini merupakan pengaruh dari sekte Boddha.
14.
Palinggih
Hyang Balian
Bangunan
palinggih ini digunakan untuk memuja roh – roh yang telah suci yang dianggap
berjasa dalam kehidupan pengempon Sanggah dadia Banjar Let. Seperti layaknya
tugas balian yang dapat dikatakan sebagai seorang tabit atau orang yang ahli
dibidang pengobatan. Seperti dukun,
dokter, perawat, bidan dll. Boleh jadi masyarakat pengempon Sanggah Dadia
Banjar Let nunas tamba (obat) kepada
Balian. Sehingga untuk mengenang jasa – jasa beliau dibuatkanlah palinggih
Hyang Balian. Palinggih ini berdiri diujung utara diantara Palinggih Dewa dan
palinggih Truna Pangod.
15.
Palinggih
Dewa Hyang
Palinggih Dewa Hyang adalah palinggih yang digunakan
untuk menstanakan Leluhur yang telah mendapat upacara pitra yadnya atau ngaben.
Letak palinggih ini diantara palinggih Hyang Balian dan palinggih Truna Pangod.
Palinggih ini juga sebagai tempat memuja leluhur, mengahatur sesajen atau soda
baik ketika upacara atau tidak. Misalnya seperti hari raya Galungan dan
Kuningan, dan juga hari raya Posa.
Sesajen ini juga dihaturkan pada Palinggih Hyang Balian dan Truna Pangod.
Bangunan
palinggih ini digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur yang tidak menikah
atau sukla brahmacari. Palinggih ini
berdiri paling selatan diantara palinggih Dewa Hyang dan Hyang Balian.
Bentuk bangunan denah bujur sangkar dengan luas dasar
sekitar 0,60 X 0,60 meter, tinggi sekitar 2 meter terdiri dari tiga bagian
yaitu dasar, badan, kepala atau tepas, batur dan tengek.dari bawah mengecil ke
arah bidang – bidang pasangan membentuk ruangan tempat sesajen. Bahan bangunan
dari batu alam, batu karang laut atau jenis batu lainnya. Fungsi bangunan untuk
menstanakan sarwa Bhuta/kala atau roh – roh halus lainnya. Bila bangunan
prasada, meru dan padmasana atau gedong mengambil tempat pada posisi utama
mandala (di timur berjejer ke barat), maka bangunan Tugu mengambil posisi
selatan atau barat yang disebut posisi teben. Tugu disamping dibuat di Sanggah
Dadia juga dibuat di pekarangan rumah dan di tempat – tempat yang diyakini
angker biasanya sebagai palinggih Banaspatiraja (Titib, 2003:110).
Manifestasi
Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan suci Tugu adalah Sang Hyang Durga
Manik sebagai kekuatan pelindung, pengayom, dan pendidik umat manusia.
Dikatakan sebagai pelindung dan pengayom karena Beliau memiliki kemahakuasaan
menolak perbuatan jahat dan Beliau memberi anugrah jalan kehidupan manusia
mencapai keserasian, keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Dikatakn
mendidik, apabila manusia lupa dengan keberadaan Beliau maka Beliau akan mendidik
dengan cara mengganggu keserasian, keseimbangan manusia dengan alam sehingga
muncul bebarapa permasalahan seperti sakit, keributan rumah tangga, kemandulan
dsb. Dengan demikian Beliau memiliki dua kekuatan yaitu kekuatan Dharma dan
kekuatan wisesa atau yang seing dikenal oleh pemuja Siwa adalah Siwasakti. Oleh
sebab itulah, kain poleng yang
menjadi busanaNya menjadi simbul kedua kekuatan tersebut (Sudarsana, 1998
:67-68).
Dilihat dari
fungsi bangunan tersebut jika dikaitkan dengan sekte – sekte yang pernah
berkembang di Bali. Dimana Tugu diposisikan sebagai stana sarwa Bhutakala atau
roh – roh alam bawah untuk mengatur atau menolak kekuatan-kekuatan (niskala)
magis atau untuk melindungi manusia. Tentu jika ditinjau dari kedudukan Palinggih
Tugu ini, dapat disamakan dengan kedudukan Ganesa sebagai Dewa Wigna yaitu
penghalang gangguan. Sehingga dapat penulis katakan pelingigih Tugu ini adalah pengaruh
dari sekte Gonapatya.
Nista Mandala terdapat palinggih :
18.
Palinggih Pengubeng
Palinggih Pengubeng ini
berfungsi untuk tempat mengayat atau mohon ijin dari nista mandala bagi masyarakat
Sanggah Dadia banjar let yang mengalami cuntaka. Layaknya seorang anak yang
hendak jalan – jalan atau berpergiaan sudah tentu mohon ijin atau restu kepada
orang tuanya namun ketika anak ini tergesa – gesa maka anak ini minta tolong
atau nitip pesan kepada adiknya untuk menyampaikan mohon restu kepada orang
tuanya. Secara sekala boleh jadi kedudukan ini disamakan dengan seorang satpam
(security) atau juga tukang pos.
2.3
Jenis Upakara dan Mantra pada Upacara Piodalan
Upacara piodalan
Sanggah Dadia Banjar Let jatuh pada hari anggara
kliwon wuku Julungwangi atau anggara
kasih Julungwangi. Pangider – ider menggunakan warna putih kuning. Benda –
benda yang disakralkan di Pasimpenan
Siang Anti diwangsuh dengan tirta dan miik
– miikan oleh Pemangku atau orang – orang yang berwenang. Adapun upakara yang
dihaturkan, sebagai berikut :
1.
Upakara di Balai Peparuman atau Pelik
Upakara yang
dihaturkan di balai peparuman atau pelik ini disebut pebaktian pengenem ulu
celeng yang terdiri atas :
1)
Anteb – anteban
yang terdiri dari, lis gede, canang pabuat (tingkih, tepung tawar, teenan)
penulis, pemutus, sanggah urip, pasokan.
2)
Suci aturun yang
terdiri dari : daksina (telur bebek, telor ayam, tingkih, bawang, suna, pedak
(panak pulung) dll), tebasan (tumpeng 22, peras ajengan, ayam, sekar taman,
tebu 4 potong, cir , uang kepeng 11, 4
kojong gampel, aled bundar, pragembal (suci istri dan suci lanang), dedari
mayong, pengempu (nasi oraan, ceper 3 buah, sesayut jati tunggal, 2 buah aled,
injin, kacang saur, injin, tumpeng, pisang, kojong buah besikan, bawang merah,
bawang putih, canang mejujuk dsb.
3)
Marga terdiri dari:
tumpeng 22, kojong buah besikan, sikep busung dsb.
4)
Jan Lawangan
terdiri dari : tumpeng 10, sikep busung, kojong buah besikan, canang dsb.
5)
Longkak udel
terdiri dari : buah- buahan, tumpeng 10, sikep busung, kojong buah besikan,
jaja (jaja uli, kiping, begina) dsb.
6)
Tapak Malinggih
terdiri dari : tumpeng 11, sikep busung, kojong buah besikan, jaja uli, jaja
begina, jaja kiping dsb
7)
Siaga Pancoran terdiri dari : nasi oraan, selangi
8)
Dinding Payung
terdiri dari : tumpeng 12, sikep, kojong buah besikan, jaja uli, jaja begina
dsb
9)
Dulangan, terdiri
dari tipat satu kelenan atau enam butir telor ayam, buah – buahan dengan
tempatnya dari dulung, berisi canang sari dan canang besar
10) Jerimpen, ter dari : jaja begina, jaja bunga, tipat satu
kelang lengkap dengan lauknya, beras, benang tukelan atau benang bali, uang
kepeng 225 keping, peselan yang terdiri dari injin dan ketan, buah kelapa, buah
– buahan, srembeng ron, jaja plakayu, jaja gina, sampyan, dan canang mesila
metajuh.
11) Pajegan sepaa satus dan Pajegan satak selae
12) Lantasan putih dan Kuning terdiri dari : kain kafan
kuning 2 m, kain kafan putih 4 m, kojong buah besikan, sikep busung, uang
kertas
13) Kotak terdiri dari: buah pinang, uang kepeng, canang
sari, benang tukelsn, kojong buah besikan dsb
14) Caratan yang berisi kalungan porosan dan disampingnya
payung berukuran kecil berwarna putih dan kuning
15) Bebangkitan Celeng yang terdiri dari : tatakan urip (
tipat 4 buah, kojong buah besikan 4 buah, canang sari 4 buah, pisang 4 buah,
sate 4 buah, jaja uli 4 buah), sesayut bingin (sate lemat dikanan 11 tusukan,
sate asem 11 tusukan, tatakan nasi, balung, plamuh, urutan, uraban merah dan
putih), tebogan. Bebangkit ini beralaskan sok ulat bisi.
16) Sekar Murti Kadi Anti terdiri dari : tumpeng, sikep
busng, kojong buah besikan, canang sari dsb
17) Selaran, terdiri dari itik, ayam, peselan (injin, ketan,
pinang gebengan, uang kertas) pisang, pohon dapdap, dan tebu.
18) Tigasan Putih Kuning atau rantasan, terdiri dari kampuh
putih kuning, kojong buah besikan, canang kojong dan sesari.
19) Penyejeg terdiri dari tumpeng 11, bantal – bantalan 11
pesel, kojong buah besikan gampel, kuangen, pucuk dapdap,nasi oraan, ceper 2
buah, uang kepeng 11, bawang merah, bawang putih dsb.
2.
Upakara di Palinggih – palinggih
Upakara
yang dihaturkan pada palinggih – palinggih adalah (1) Suci aturun yang terdiri
dari daksina, bebek guling seekor, (2) Tebasan Tumpeng 22 canang gede mebaah,
ambungan (terdiri dari kaputan base, buah dan tebu), terkecuali pada palinggih
padmasana atau surya upakara yang dihaturkan adalah tebasan tumpeng 9 ditambah
ajengan putih kuning dan lantasan putih kuning. Upakara yang dihaturkan pada palinggih
kayu selem pokok – pokok banten atau upakara yang digunakan berwarna hitam yang
terbuat dari injin. Serta Palinggih Taksu menghaturkan banten peras Pejati,
Pajegan satak selae.
Dari sekian banyak
jenis upakara yang dipersembahkan pada hari piodalan masih banyak lagi yang
tidak bisa disebutkan. Pada hari piodalan awalnya upakara dipersembahkan ke
palinggih Padmasana atau Surya lanjut ke upacara Palinggih – palinggih lain
yang ada di Jeroan atau utama mandala selanjutnya menghaturkan upakara di Balai
Pelik atau Peparuman. Dalam upacara piodalan di Sanggah Dadia Banjar Let
pemuput upakara ini adalah Jro Kubayan Putus atau Pinandita dengan menggunakan
mantra yang disebut pujasana. Pujasana
adalah bahasa komunikasi yang berupa saha
atau sontengan yang diujarkan
oleh pendeta kepada Tuhan mengenai jenis upakara yang dihaturkan saja dari sang
yajamana. Hal ini merupakan ciri khas
pemujaan Bali Mula.
Dilihat dari pemuput
upacara yadnya oleh Jro Kubayan Pucuk adalah nama lain Sulinggih yang pada masa
pemerintahan Bali Mula. Dimana di Desa Sukawana begitu kental dengan pengaruh Siwa-Buddha. Siwa dilihat dari kedudukan
sulinggih atau Jro Kubayan dan Buddha dilihat dari kedudukan Mangku Alit yang memeliki kedudukan yang sama sekalipun
berbeda wewenangnya. Inilah salah satu pokok keputusan dari pasamuan tiga atau samuan
telu atas paham Tri Murti serta paham Siwa-Buddha yang disenyawakan atas
dalil :
Ndatan len kita Siwa rupa Buddha, maka pati urip
ikang tri mandala, sang sangkan paraning sarat ganal alit kita alaayu kojaring
aji. Upetiti, sthiti, linaning dadi kita karanani praramartha Sogatha...
Terjemahannya
kurang lebih :
Tiada lain Siwa berupa Buddha
berkuasa menghidupkan sekalian mahkluk penghuni Tiga Alam semesta, menciptakan
besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka engkau yang mengdakan ajaran
agama yang berdasarkan nilai – nilai kelahiran, kehidupan dan akhirnya kematian
(dikenal dengan Tri kona) jadi engkaulah penyebab tertinggi hai Buddha....
Adapun pengaruh sekte
Brahmana yang kemudian luluh kedalam sekte Siwa Sidhanta jika ditinjau dari
penggunaan Jro Kubayan sebagai pemuput upacara. Dilihat dari jenis – jenis
upakara yang dipersembahkan, penggunaan tipat, tumpeng yang terbuat dari beras,
beras yang ada dalam daksina. Beras merupakan simbul kemakmuran yang
dianugrahkan oleh Dewi Sri sebagai sakti Wisnu. Sehingga keberadaan tumpeng,
tipat yang terbuat dari beras merupakan pengaruh dari sekte Waisnawa. Begitu
pula penggunaan caratan yang merupakan tempat air adalah pengaruh dari sekte
Waisnawa karena diyakini Dewa Wisnu sebagai Dewa hujan. Bebangkit celeng adalah
salah satu upakara yang mengunakan babi, pada upakara tebasan menggunakan ayam,
dalam suci aturun menggunakan bebek guling, dsb hal ini merupakan salah satu
pengaruh sekte Bhairawa. Penggunaan pasepan, dupa, api takep dalam prosesi
upacara adalah salah satu ciri pemujaan terhadap Brahma atau adanya pengaruh
dari sekte Brahma. Pengunaan uang kepeng dalam jenis – jenis banten adalah
salah satu ciri pengaruh dari sekte Boddha. Kojong buah besikan dan canang sila
metajuh yang terdapat di masing – masing banten yang terbuat dari 3 helai daun
sirih, sebutir buah pinang dan kapur. Pinang simbul Brahma, sirih lambang Wisnu
dan kapur lambang Siwa merupakan Dewa Trimurti sebagai bukti paham Trimurti.
Inilah hasil dari sebuah penyatuan dari berbagai sekte.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan,
Pasek I Ketut. 2012. Pengantar Bahan Ajar
Sivasiddhanta I. Singaraja : tp
Jendra,
Wayan. 1998. Cara Mencapai Moksa Zaman
Kali. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha
Sadia,
I Ketut, dkk. 1982. Weda Untuk PGA Hindu
Kelas I. Jakarta : Proyek Pembinaan Mutu Pendidikan Agama Hindu dan Budha
Soebandi,
Ktut. 2008.Riwayat Merajan Di Bali. Denpasar : CV Kayumas Agung
Soebandi,
Ktut. Tt. Pura Kawitan/Pedharman dan
Penyungsungan Jagat. Denpasar : CV. Kayumas Agung
Sudarsana,
I.B. Putu. 1998. Ajaran Agama Hindu
Manifestasi Sang Hyang Widhi. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandara
Sastra
Suhardana,
K.M. 2006. Dasar – dasar Kepemangkuan.
Surabaya : Paramita
Titib,
I Made. 2003. Teologis & Simbol –
simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya :Paramita
Wiana,
I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu
Menghayati Tuhan.
Yasa,
I Wayan Suka, dkk. 2006. Yoga Marga
Rahayu. Denpasar : Widya Dharma dengan Fakultas Ilmu Agama Universitas
Hindu Indonesia